Sambungan artikel PERTAMA
Oleh: Dr. Slamet Muliono
Di sisi lain perlakukan media massa. Lihatlah ketika terjadi kasus kerusuhan yang bernuansa agama, maka bahasa di media nasional akan berbeda, dan senantiasa menonjok umat Islam sebagai sasaran kesalahan.
Laman milik CNN Indonesia, misalnya, mencari pendapat tokoh PBNU dan mengaitkan kasus pembakaran di Aceh Singkil dengan syariat Islam. “PBNU: Pembakaran Gereja di Aceh Singkil Bukan Syariat”, demikian judul yang dipilih CNN.
Laman milik Kompas bahkan memuat judul “GP Ansor Minta Perusakan Tempat Ibadah di Aceh Diusut Tuntas”.
Dalam pernyataannya, Ketua Umum Gerakan Pemuda Ansor (GP Ansor) Nusron Wahid mengecam dan mendesak aparat penegak hukum segera mengusut tuntas kasus pembakaran gereja di Aceh Singkil.
Di berbahai media, Nusron bahkan terlihat paling bersemangat mempermasahkan perizinan pembangunan tempat ibadah.
“Para pengambil kebijakan jangan terjebak pada level kesadaran administratif seperti IMB, itu bukan persoalan substantif. Wong tempat ketemu Tuhan saja kok pakai izin dan dipersulit manusia, sementara Tuhannya tidak pernah mempersulit,” ucap Nusron pada Kompas.
Dalam banyak penyataaan, Nusron terlihat menyederhanakan masalah perizinan pendirian rumah ibadah bahkan menyerang keberadaan masjid-masjid di daerah yang katanya banyak berdiri tanpa IMB.
Nusron mengkritik Surat Keputusan Bersama (SKB) dua menteri tentang pendirian rumah ibadah, yang akatanya perlu direvisi untuk memudahkan kelompok minoritas. [GP Ansor: Izin Bangun Rumah Ibadah Harus Direvisi, sindonews.com, Kamis, 15 Oktober 2015]
Nusron berpendapat, mestinya upaya umat untuk beribadah tidak dipersulit. “Wong tempat ketemu Tuhan saja kok pakai izin dan dipersulit manusia. Sementara Tuhannya tidak pernah mempersulit,” kata Nusron.” [Wong Tempat Ketemu Tuhan Saja Kok Pakai Izin, JPNN.com, 14 Oktober 2015]
Jika pemikiran Nusron ini dipakai, maka, rusaklah tatanan bernegara. Argumen seperti ini kelihatan indah, tapi sebetulnya menyesatkan.
Jangankan terhadap pendirian rumah ibadah, dalam urusan privat saja kita harus diatur Negara. Padahal apa hubungannya Negara dengan urusan rumah-tangga kita?
Contoh sederhana, saya menikah dengan orang yang saya cintai. Seharusnya urusannya terserah saya, calon mempelai dan kedua orangtua. Selama kedua pihak setuju, sudah selesai. Faktanya tidak. Negara ikut campur bahkan bisa menerapkan sanksi hukum dan bisa dianggal melanggar UU Perkawinan Tahun 1974 – KUHP.
Logikanya sederhanya, yang maksiat di hotel-hotel saja bisa aman, mengapa yang kedua belah pihak sepakat Negara ikut campur? Logikanya, kita yang menikah, mengapa Negara ikut ribut?
Ini belum menyakut hubungan kekayaan antara suami-istri, hubungan orangtua, perwalian, urusan waris, yang seharusnya itu urusan pribadi.
Contoh kedua, ketika seseorang memiliki kendaraan pribadi. Sebutlah motor, misalnya. Seharusnya orang menggunakan motor kemana saja suka-suka dia, bukan urusan Negara. Tapi faktanya tidak juga.
Buktinya, Negara menyiapkan pasal ‘Kewajiban menggunakan helm standar nasional Indonesia’ bagi pengendara sepeda motor diatur dalam Pasal 57 ayat (1) jo ayat (2) UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (“UU No. 22/2009”).
Jadi bagaimana tokoh sebuah organisasi yang di belakangnya ada Nahdhatul Ulama (NU) bisa mengucapkan “Wong Tempat Ketemu Tuhan Saja Kok Pakai Izin?“
Syiah dan Aliran Sesat
Kasus Aceh Singkil sama dengan kasus Syiah dan aliran sesat di Indonesia. Hampir semua media massa nasional dan TV justru menjadi pihak yang tidak bisa adil, menempaktan dan mendudukan kelompok mayoritas.
Mayoritas media massa nasional tidak melindungi hak kaum mayoritas, sebaliknya banyak memojokkan kelompok mayoritas ketika mereka bereaksi terhadap sebua peristiwa dengan dalih ‘melindungi minoritas’.
Bandingkan dengan media massa di Barat dan Eropa. Ketika minoritas Muslimah bercadar mendapat denda sebesar 120 euro (Rp1,9 juta) di Paris akibat keyakinannya menggunakan cadar, tak satupun media Eropa sibuk membela minoritas Muslim. Alasanya, ya demokrasi. Karena demokrasi menempatkan suara terbanyak yang sering mereka sebut ’majority rule’.
Dalam prinsip demokrasi, ‘majority rule’ (suara terbanyak) ditentukan melalui pengambilan suara. Baik Pemilu atau pembuatan undang-undang. Meski dalam prinsip ‘majority rule’ mayoritas berhak menentukan suara, namun ‘majority rule’ juga berhak melindungi dan mengapresiasi suara minoritas. Sayangnya ini tak terjadi di Indonesia. Alih-alih melindungi minoritas, tapi seringnya, mengabaikan suara mayoritas.
Ketika kasus Syiah di Sampang atau di mana saja, bukan hukum menghormati kehendak ‘majority rule’, yang terjadi malah sebaliknya. Kelompok mayoritas menjadi sasaran.
Jika ada reaksi akibat dari kelompok minoritas yang melawan hukum, melanggar prinsip kaidah ‘majority rule’, melawan tata-krama, adab dan adat yang sudah dianut mayoritas, maka, kata yang muncul justru “intoleransi”. Inilah dilema mayoritas umat Islam di Indonesia.*
Penulis adalah dosen UIN Sunan Ampel Surabaya