Oleh: Ahmad Kholili Hasib
Upaya menciptakan kehidupan saling toleransi antara umat Ahlus Sunnah (Sunni) dengan umat Syiah (Syi’i) merupakan harapan kita semua. Sebagaimana umat Muslim bisa hidup bertoleransi dan berdampingan baik dengan orang Kristen, Hindu dan Budha.
Perbedaan Tuhan, kitab suci dan hal-hal pokok lainnya bukan lah halangan antar umat untuk saling hormat-menghormati. Nabi Muhammad Saw itu orang yang paling toleran dengan Yahudi dan Kristen. Tetapi Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassallam tidak pernah mengeluarkan statemen; Islam dengan Yahudi-Kristen itu sama, beda sedikit dalam perkara cabang agama. Sama sekali Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassallam tidak pernah bersabda demikian. Justru Nabi sering menyampaikan kesesatan dua agama ini.
Dalam isu Sunni-Syiah, sampai hari ini masih ada orang yang ‘takut’ membicarakan perbedaan ushūl (pilar-pilar agama) antara keduanya karena dianggapnya menyatakan perbedaan I’tiqad (keyakinan) adalah sumber perkelahian fisik. Padahal, antara ushūl dengan perang fisik tidak relasi sebab-akibat.
Akibatnya, perbedaan Sunni-Syiah diturunkan kepada perbedaan furuiyah (cabang agama) dan ijtihadi. Seperti baru-baru ini artikel di Harian Republika berjudul “Sunni dan Syiah Bersatu, Mungkinkah? Mengutip tulisan Prof. Dr. Musthafa al-Rifa’I Islamuna fi at-Taufiq Baina as-Sunni wa asy-Syiah yang menyatakan: “Ar-Rifa’I menegaskan, mempertemukan kedua kubu itu bukanlah hal yang mustahil. Perbedaan yang selama ini mencuat, kata dia, pada hakikatnya bukan persoalan prinsip, melainkan masalah khilafiah yang dapat ditoleransi. Pada tataran ijtihad dan tradisi ilmiah lain, misalnya, terbuka peluang Sunni-Syiah bertemu.
Sepertinya, penulis artikel dan Prof. al-Rifa’i enggan membicarakan perbedaan besar yang sebenarnya. Setidaknya dua kemungkinan.
Pertama, tidak tahu fakta kitab induk Syiah. Kedua, tahu dan faham penyimpangan Syiah tapi menutup-nutupi demi menjaga kerukunan dan toleransi.
Kemungkinan pertama yaitu Prof. al-Rifai dan penulis artikel tidak tahu penyimpangan bidang ushūl aliran Syiah rasanya tidak masuk akal. Seorang professor yang menulis tentang Ahlus Sunnah dan Syiah tanpa merambah fatwa-fatwa ulama Syiah serta kitab-kitabnya, tentunya sulit saya terima.
Terlebih, buku-buku yang membuka perbedaan akidah Syiah dengan Ahlus Sunnah sudah terlampau menumpuk.
Saya masih percaya Prof. al-Rifai memegang tradisi ilmiah. Rasanya aspek-aspek penyimpangan akidah Syiah tidak perlu ditulis di ruang yang terbatas ini, sebab cukup banyak dan sering diulas di media.
Buku-buku induk Syiah juga banyak yang bisa didownload secara gratis. Pembicaraan Syiah selama ini sudah pada tingkat akidah yang paling prinsip. Syiah istna asyariyah –Syiah yang mayoritas — meyakini imamah sebagai rukun iman. Siapa pun umat Muslim yang pernah belajar dasar-dasar Islam, pasti menilai aneh imamah menjadi rukun iman. Tidak ada seorang ulama Sunni pun yang meyakini rukun iman itu bagian perkara ijtihad, khilafiyah dan furuiyyah.
Artinya, isu Syiah ini sudah bukan barang baru, tapi sudah ribuan tahun dikaji, diteliti dan dikupas oleh para ulama, cendekiawan dan sarjana Muslim. Para ulama ketika membicara Syiah, tidak lagi berbicara dalam konteks furuiyyah tapi ushuliyah. Kesalahan dalam ijtihad fikih berpahala satu, tetapi kesalahan dalam bidang ushuliyah tidak ada pahalanya bahkan bisa menjerumuskan pada status sesat.
Karena itu, saya memperkirakan beliau ada dikemungkinan kedua. Dan kemungkinan kedua ini cukup banyak ditemui. Tutup mulut atau menutup mata terhadap kelainan Syiah, karena takut terjadi konflik terbuka, perang fisik dan lain sebagainya. Sikap demikian bukanlah sikap ilmiah. Tradisi ilmiah itu apa adanya, tidak menutup-nutupi fakta dan kebenaran.
Inilah logika yang keliru. Bicara perbedaan adalah sumber konflik sosial. Pertikaian fisik bersumber dari pembicaraan tentang beda keyakinan. Logika ini sepertinya mirip pikiran Charles Kimball, penulis buku When Religion Became Evil (edisi Indonesia berjudul Kala Agama Jadi Bencana diterbitkan Mizan Bandung tahun 2003) bahwa menyatakan agama itu sumber perang sosial antar pemeluk agama.
Justru seharusnya, kita perlu menempatkan Syiah secara ilmiah dan terbuka. Menempatkan pada ruang ilmiah berarti mengakses kitab-kitab Syiah dan pemahaman pelakunya. Sedangkan menutup-nutupi fakta adalah pengkhianatan terhadap tradisi ilmiah.
Dalam artikel Republika di atas, ada kesengajaan secara jelas untuk melakukan kebohongan publik. Penulis mengatakan bahwa Imam Ja’far al-Shadiq adalah Syiah. Pihak Syiah sendiri pun sampai sekarang kesulitan membuktikan pengakuan Imam Ja’far al-Shadiq bahwa dirinya penganut Syiah. Apalagi menunjukkan mata rantai sanad imam Khomeini dengan Imam Ja’far al-Shadiq.
Jika benar Syiah sekarang ini mengikuti Imam Ja’far, maka kita persilahkan menjunjukkan sanad keilmua yang bersambung sampai kepadanya. Justru sanad itu dimiliki para dai dari tariqah Ba’alawi yang menganut madzhab Sunni Syafi’i. Hal itu bisa dicek dalam kitab Syamsu Dzahirah. Persambungan nasab dan sanad ilmu dikupas di sana.
Di kalangan Sunni, Imam Ja’far ini dikenal sebagai gurunya para ulama madzhab. Tidak pernah dikenal sebagai Syiah. Justru anti Syiah.
Dalam Kitab al-Masyru’ al-Rawi Imam Daruquthni menulis kisah sikap Imam Ja’far al-Shadiq terhadap orang Syiah. Diceritakan bahwa Imam Ja’far al-Shadiq, keturunan Ali keempat, menunjukkan amarahnya kepada pencaci Abu Bakar. Ia mengatakan, “Ali berlepas diri dari orang yang membenci Abu Bakar dan Umar. Jika sekiranya aku berkuasa, maka aku akan mendekatkan diri kepada Allah swt dengan memerangi orang yang membenci keduanya (Abu Bakar dan Umar)” (Al-Masyru’ al-Rawi, I hal. 86).
Imama Ja’far al-Shadiq juga suatu suatu kali berwasiat kepada Salim bin Abdullah bin Umar: “Wahai Salim, cintailah Abu Bakar dan Umar, dan berlepas dirilah dari musuh mereka berdua karena keduanya adalah imam pemberi petunjuk.” (Imam al-Dzahabi, Siyar A’lam al-Nubala’ VI hal. 256).
Wasiat Imam Ja’far al-Shadiq bukan sekedar wasiat. Wasiat beliau mengandung pesan ‘jauhi Syiah, karena mereka mencela Abu Bakar dan Umar r.a’. Syiah sendiri mengklim Imam Ja’far adalah Imam mereka, namun sang Imam sendiri berlepas diri. Imam Ja’far begitu dielukan sebagai Imam para Ahlul Bait.
Ketegangan Sunni-Syiah yang selama ini terjadi ternyata disebabkan oleh gerakan Syiahisasi yang isinya melukai Sunni karena mencaci Sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassallam. Prof. Dr. Mohammad Baharun, menyatakan tawaran untuk mengurangi ketegangan menghadapi masalah Syiah ini, kiranya perlu diupayakan lebih dulu untuk peredaan ketegangan dengan prinsip-prinsip sebagai berikut:
Pertama, diimbau agar Syiah tidak melakukan syiahisasi melalui ceramah dan buku-buku kepada umat yang sudah menganut akidah Aswaja, apalagi isinya dapat melukai keyakinan Sunni.
Kedua, mereka yang melakukan penistaan/penodaan terhadap agama dengan melaknat Shahabat dan istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wassallam berupa buku-buku dan ceramah maupun yang merespon-nya dengan kekerasan harus diselesaikan secara hukum.
Ketiga, karena perbedaannya pada wilayah ushul, maka agar direkomendasikan mereka hanya bekerjasama di bidang mu’amalah saja, bukan di bidang aqidah, ‘ubudiyah dan siyasiyah (Majalah AULA Desember 2012).
Jika prinsip ini bisa dijalankan, maka tidak ada persoalan seorang Syiah tetap jadi Syiah, yang Sunni tetap menjadi Sunni. Keduanya bisa beraktivitas sosial bersama, bahkan berolahraga bersama adalah mungkin. Namun, menyama-nyamakan Ahlus Sunnah dengan Syiah pada tataran akidah adalah mustahil. *
Anggota Majelis Ulama Muda Indonesa (MIUMI) Jawa Timur