Oleh: Rofi Munawwar
SULIT menjelaskan dengan teori apa menggerakkan massa dalam Aksi Bela Islam II dan III sebanyak ini. Selain sebagai gerakan sosial terbesar sepanjang sejarah Indonesia yang diikuti jutaan manusia secara damai, tertib, rapi, banyak fakta-fakta mengagumkan di lapangan terjadi, banyak di luar nalar.
Seperti dalam teori syarat-syarat terjadinya konflik yang pernah disinggung John W Barton tahun 1990-an tentang “Human Needs Theory”, di mana menurut teori ini, konflik dan kekerasan akan muncul apabila satu pihak merasa ada kelompok lain menghalangi pemenuhan kebutuhannya. Dalam konteks rangkaian Aksi Bela Islam I, II dan III ada kebutuhan untuk “menegakkan keadilan untuk menghukum penista agama”. Tuntutan inilah yang disuarakan para peserta.
Berawal dari Aksi Bela Islam I yang tak membuahkan hasil dilanjutkan Aksi Bela Islam II atau Aksi 411 lalu Aksi Super Damai atau Aksi 212, jika menurut teori konflik dan kekerasan-nya John W Barton, seharusna kekerasan terjadi.
Ketika ratusan ribu atau jutaan massa mendatangi gedung Istana Negara untuk menemui Presidennya. Kemudian bukan saja tidak ditemui untuk menyuarakan tuntutannya, massa yang sedari pagi hingga malam terkuras energi serta emosinya, justru dibalas tembakan gas air mata membabi buta.
Dalam situasi seperti ini, konflik pasti rawan terjadi. Meminjam istilah Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF-MUI), 3 kode aksi panitia yaitu; Aksi damai, melawan dengan bertahan dan menang dengan bersabar, justru meredam terjadinya kericuhan dan konflik. Sekaligus menggagalkan teori konflik dan kekerasan-nya John W Barton.
Banyak yang kecewa, massa yang jauh-jauh datang dari berbagai daerah di Indonesia justru diinstruksikan kembali ke rumah masing-masing. Padahal, sebenarnya banyak hal lebih yang bisa dilakukan ketimbang mengalah pulang. Apalagi bukan saja energi yang terbuang, tapi waktu dan uang juga terkurang.
Mungkin banyak orang –termasuk pakar sosiologi dan politik– dibuat bingung aksi ini. Mari kita lihat.
PAda 2 Desember 2016 jutaan manusia berkumpul di Monumen Nasional (Monas), peserta meluber sampai Bundaran Hotel Indonesia (HI), jalan Jendral Sudirman, Jalan MH Thamrin, Tugu Tani, Kwitang, sampai Cempaka Putih Jakarta Pusat. Boleh jadi ini adalah peristiwa aksi massa terbesar dalam sejarah Indonesia.
Menariknya, suasana persaudaraan benar-benar terasa. Tidak ada lagi sekat antar ormas walaupun atribut-atribut tetap dikenakan. Solidaritas mereka meruntuhkan batas-batas pemisah seperti perbedaan mazhab dan khilafiyah yang biasa menjadi sekat ukhuwah.
Logistik membludak karena para dermawan rebutan untuk saling memberi. Siapapun yang hadir dengan hati, tak akan mampu menyembunyikan sesuatu yang mungkin tak terbahasakan.
Hingga secara mendadak Presiden Joko Widodo (Jokowi) hadir di Monas berhujan-hujan ikut doa bersama-sama. Padahal saat itu kehadirannya tidak diharapkan panitia dan peserta aksi.
Dua hari sebelumnya, KH Bachtiar Nasir sebagai Ketua GNPF-MUI menyatakan, aksi 212 ini bukan untuk mengetuk Pintu Istana tapi untuk mengetuk pintu langit. Ungkapannya jelas menganggap Sang Presiden bukanlah tumpuan harapan mereka. Ini bisa dimaklumi, saat Aksi Bela Islam II (Aksi 411), Sang Presiden yang didatangi jutaan orang justru menghindar dan memilih ke Istana Bogor.
Namun dalam aksi lanjutan, massa hanya diajak berdzikir, diisi taushiah dan doa di tengah kekecewaan mereka terhadap ketidakadilan hukum di Indonesia.
Tapi lihat hasilnya. Aksi 212 yang diistilahkan panitia justru untuk ‘mengetuk pintu langit’ hasilnya justru Gerakan Subuh Berjamaah 1212 yang diikuti lebih dari 200-an masjid di 34 Provinsi di Indonesia. Di beberapa daerah bahkan kegiatan shalat Subuh berjamaah ini melebihi shalat Jumat hingga halaman-halaman masjid. Sesuatu yang belum pernah ada sebelumnya.
Strategi-strategi ini mungkin hanya bisa dipahami dengan iman di hati. Persis strategi Muhammad Al-Fatih yang melayarkan kapal-kapalnya di atas bukit yang dianggap ide gila. Tapi Konstantinopel berhasil ditaklukkan. Mungkinkah gerakan sosial ini sama, apalagi dimulai dengan adanya shalat Jumat berjamaah terbanyak.
Dalam setiap kesempatan, Ketua GNPF-MUI menegaskan inilah Revolusi Putih, sebuah revolusi damai yang dikomandai para ulama, bukan dilakukan dengan kekerasan seperti perlawanan bersenjata. Pusaran gerakan ini jelas ada dan semakin lama semakin besar dan matang.
Lalu dimanakah akhir pusaran ini. Memang terlalu dini menyimpulkan gerakan sosial besar ini bermuara pada kebangkitan umat Islam. Tapi, pusaran ini jelas arahnya, bukan lagi mengarah pada tuntutan keadilan dalam kasus penistaan agama. Boleh jadi, kasus Ahok hanya sebagai pemercik ‘api kebangkitan’ umat Islam, insyaAllah.
Aksi 212 dan 5 Fenomena Lahirnya Generasi Baru Islam Indonesia
Menarik kita dengar pendapat Syeikh Abu Bakr Al ‘Awawidah, Wakil ketua Rabithah Ulama Palestina yang pernah mengatakan, “Sungguh di antara bangsa-bangsa besar yang menerima Islam, bangsa Indonesialah; yang agak pendek, berkulit kecoklatan, lagi berhidung pesek. Yang belum ditunjuk oleh Allah untuk memimpin penzhahiran agamanya ini.”
“Dan bukankah Rasulullah bersabda bahwa pembawa kejayaan akhir zaman akan datang dari arah Timur dengan bendera-bendera hitam mereka? Dulu para ulama mengiranya Khurasan, dan Daulah ‘Abbasiyah sudah menggunakan pemaknaan itu dalam kampanye mereka menggulingkan Daulah ‘Umawiyah. Tapi kini kita tahu; dunia Islam ini ternyata membentang dari Maghrib; dari Maroko, sampai Merauke.” [Islam dan Syiar Dakwah Nusantara, Salim A. Fillah]
Sebelumnya, sinyal momentum awal kebangkitan Islam sudah pernah diakui Barat. Hasil analisis intelijen di 15 negara yang tergabung dalam National Intelligence Council (NIC) yang bermarkas di Kantor Central Intelligence Agency (CIA) di Langley Virginia Amerika Serikat (AS), “akan tiba kehidupan religius berlandaskan syariat Islam secara total pada tahun 2020.”
Pada laporannya yang berjudul “Mapping the Global Future” (Pemetaan Masa Depan Global), Direktur NIC, Robert Hutchings mengungkapkan kondisi masa depan dunia. Dia menyebutkan, “pada tahun 2020 akan bangkit kembali Kekhalifahan Islam (Islamic Caliphate) baru yakni sebuah pemerintahan Islam yang mampu memberi tantangan pada norma-norma dan nilai-nilai Barat.” [Tajuk NIC ini pernah dimuat di USA Today pada 13 Februari 2005, juga dikutip oleh Kompas edisi 16 Februari 2005]
Laporan setebal 123-halaman itu awalnya dipresentasikan kepada Presiden Amerika, anggota Konggres, Kabinet dan para pejabat penting. Tentu saja, laporan itu bukanlah kabar baik bagi mereka. Karena itu, kita paham betapa sibuknya RAND Corporation, memberikan rekomendasi agar kebijakan pemerintah Paman Sam di berbagai belahan dunia tidak memberi tempat kepada penegakan syariat Islam meski dengan istilah yang kelihatan keren “Building Moderate Moslem Networks“.
Jarak rentang menuju 2020 tinggal empat tahun lagi. Apakah kita semua bisa menyiapkan diri kesana dan dengan cara apa kita menuju kesana? Wallahu A’lam.*
Penulis adalah pengasuh Yayasan Muslimin Putra Mulia – Jakarta