Oleh: Lutfi Subagyo
BAPAK masih belum kelihatan sosoknya, namun bau anyir itu sudah sangat dikenal ibuku. “Bapakmu datang,” kata ibu. Kakakku kemudian mengendap di balik dinding sesek (bambu) dan melihat bapak datang dengan sesuatu di tangannya.
Ya pedang itu, ditutup dengan daun pisang lalu dibersihkan di sumur dan diasah lagi, selalu begitu. Kadang menjelang pagi bapak baru datang atau saat surup menjelang Magrib. Itulah fragmen tahun 1965, saat bapak yang dibesarkan di keluarga besar Muhammadiyah turut serta ‘membersihkan’ orang-orang Partai Komunis Indonesia (PKI).
Aku pernah bertanya soal ini sebelum bapakku meninggal, karena pedang yang kini menghitam itu masih di simpan dengan baik di rumah. Ia menceritakan banyak kisah. “Kalau kita tidak menghabisi mereka, kitalah yang dihabisi,” kata bapak.
Cerita itu masih disambung dengan cerita lain yang lebih ngeri.
Kakakku bahkan bercerita, kala itu, anak-anak muda desa berbondong minta ilmu kebal. “Mbah Guru menyembelih ayam Cemani, lalu kita ngaji dan kemudian satu per satu tes senjata tajam, kedotan, kebal. ” kata kakakku saat itu.
Mbah Guru yang dimaksud adalah kakekku yang saat itu menjadi Kepala Desa Bedingin, sebuah desa terpencil dan kering kerontang di Lamongan Jawa Timur.
“Tiap malam selalu ada suara Asu Ajak (anjing liar lokal, seperti Dingo di Australia) , tiap malam kita takut, sehingga sebelum Magrib kita sudah di rumah,” ceritanya.
“Apalagi semua lelaki selalu bersenjata tajam, entah itu pedang, arit atau keris. Pokoknya ngeri, “ katanya.
PKI tahun 1965 memang telah menjadi fragmen sejarah kemanusiaan yang tragis. Sampai tahun 80-an, saat saya SD, harus mengayuh sepeda angin 30 kilometer hanya untuk nonton bioskop sejarah kelam ini.
Tentu saja cerita tentang penggalangan PKI yang membuat banyak petani tak berdosa ikut menjadi korban juga aku dengar. Hanya karena ulah provokator, lelaki satu desa bisa dihabisi karena dianggap anggota PKI, padahal mereka hanya setuju orasi ‘orang asing’ yang tiba-tiba datang dengan membawa cerita-cerita surga, bagaimana hebatnya kaum proletar bila bersatu.
Garis itu tiba-tiba menjadi amat tipis, garis benar salah, garis teman, saudara akhirnya saling serang. Dan diskursus itu tentu tidak meninggalkan Islam.
Dunia adalah sebuah simbol, gerakan adalah sebuah gambar. Islam babak belur di negeri ini hanya karena ‘ISIS wave’, sebuah organisasi yang mengaku sebagai pasukan ‘the black banner’ yang akan membangkitkan Islam, seperti saat Khalifah Umar menguasai duapertiga dunia.
Sekarang, orang yang memakai kaus bergambar stempel Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wassallam harus berurusan dengan polisi.
Bayangkan, orang Muslim tak bisa seenaknya memuja Nabi nya sendiri, karena takut dinilai terindikasi ISIS. Orang-orang Muslim seperti saya sangat percaya bahwa masa ini memang bukan masa Muslim jaya, namun masa dimana Islam berdarah-darah menderita.
Betapa orang sangat mudah terbunuh hanya karena dicap “teroris” yang difinisinya tidak jelas. Termasuk definisi radikal yang dianggap membahayakan, padahal dalam kamus besar bahasa Indonesia, radikal artinya adalah “mendasar”. Padahal kalau beragama ya memang harus radikal, artinya harus mendasar, agar pemahamannya tidak salah.
Akhirnya, saya cuman ingin ngomong ini; “Bagi Anda yang saat ini teriak-teriak membela demokrasi dengan mengatakan pemerintah berlebihan soal kaos Palu Arit dan kebangkitan Komunis adalah ilusi siang bolong. Minta agar mereka dibiarkan, karena itu melanggar HAM. Sementara saat pemerintah menangkap orang berkaos Muhammad atau tauhid, Anda teriak dan memasang spanduk ada Islam terjangkit ISIS dan teroris. Mungkin saudara kita yang selalu begitu itu kurang piknik”.*
Penulis mantan wartawan, pemerhati media massa