Sambungan artikel PERTAMA
Oleh: Bambang Galih Setiawan
Perhatian HAMKA yang serius pada bahasa Melayu, tidak dipungkiri ialah karena ia memiliki alasan yang kuat untuk mempertahankannya. Bagi HAMKA, bahasa Melayu merupakan bahasa pokok dari bahasa Indonesia, dan bahasa Melayu merupakan bahasa yang memiliki pengaruh Islam yang sangat dominan dalam kehidupan dan sastra Melayu. Lidah melayu yang telah menerima Islam sejak abad-abad pertama tahun hijriyah, tidak asing dengan istilah-istilah Arab yang merupakan bahasa agamanya. Sehingga bahasa Arab ini telah memperkaya istilah-istilah dan makna bahasa Indonesia. Yang mana hal ini pernah disampaikan HAMKA pada sidang Konstituante dan juga diterima dalam seminar kebudayaan Indonesia.
Dalam Seminar Kebudayaan Melayu di Kuala Lumpur tahun 1974, HAMKA bahkan menegaskan pemikirannya, bahwa “tak ada Melayu tanpa Islam dan di balik Melayu adalah Islam.” Rusydi HAMKA, Pribadi dan Martabat Buya Prof. Dr. HAMKA, hlm. Demikian pandangannya sebagai seorang ulama yang telah lama melintang dan hidup dalam dua periode sejarah, pada masa kolonial, di mana ia merasakan dan berinterksi langsung menggunakan bahasa dan tulisan Melayu, hingga ia memasuki periode baru masa kemerdekaan yang mulai meninggalkan tradisi keilmuan ini. HAMKA juga merupakan seorang penghulu adat di Minangkabau, yang dahulu pernah menjadi tempat konflik antara kaum agama dan kaum adat, yang akhirnya telah dapat disatukan dengan mendudukkan keduanya secara tepat. Kata HAMKA “Adat bersendiri Syara` dan Syara` bersendi Kitabullah.”
HAMKA juga seringkali mengatakan dalam gurauannya “Melayu tanpa Islam hilang ,,me”nya, dan layulah dia. Minangkabau tanpa Islam hilang ,,minang”nya, jadi kerbaulah dia.” Yang menunjukkan pendirian Melayu tidak bisa dipisahkan oleh Islam. Rumpun Melayu memang memiliki akar yang kuat pada agama Islam dengan bahasa Arabnya dalam membentuk kebudayaan dan intelektualitas masyarakat Tanah Melayu. Dapat ditemukan hingga saat ini, banyaknya kosa kata bahasa Melayu yang merupakan derivasi dari bahasa Arab, seperti musyawarah, adil, adab, akhlak, hikmah, dan serta lainnya. Dan hal yang cukup wajar jika setiap kebudayaan dan komunitas itu bisa terbentuk melalui pengembangan atau pengaruh dari suatu kebudayaan yang lain atau telah ada sebelumnya. Namun yang utama adalah bagaimana ketersambungan makna dan pemahaman seseorang dari bahasa sebelumnya dapat terjaga, sehingga generasi muda tidak kehilangan ruh dan rasionalitasnya terhadap budaya. HAMKA memberikan pembelaan terhadap bahasa Indonesia yang dianggap kearab-araban dengan menyatakan:
“Kalau saudara-saudara kita dari Jawa mengambil istilah-istilah Sansekerta yang ke-Hindu-hinduan, dan orang-orang didikan Barat mengambil bahasa Belanda atau Inggris, kitapun boleh menunjukkan ke-Islaman kita. Tak perlu takut dan merasa rendah diri dikatakan ke-Arab-araban.” [Hamka, Sejarah Umat Islam Pertama, Jakarta: Bulan Bintang, 1975, hlm. 103]
Besarnya peran bahasa Melayu, HAMKA sampai membaca strategi liberalisasi pendidikan yang pertama kali dilakukan oleh Belanda pada masa “Politik Etis”. Yakni dimulai dengan memberikan pengajaran dan penanaman kebanggaan kepada bahasa kaum kolonial yang sedang berkuasa, dan melakukan pelemahan kepada bahasa asli. Kaum pribumi yang mempelajari dan menguasai bahasa kaum kolonial pun, akhirnya dianggap lebih dekat, dihargai dan meningkat menjadi seperti kaum kolonial yang lebih maju dan tinggi, sebagai bangsa yang dipertuankan. Sedangkan bahasa Melayu, bahasa Islam, mulai ditinggalkan dan hilang. HAMKA kemudian menyatakan “Mereka tidak mengerti lagi memakai bahasa asli bangsa dan kaum seagamanya. Cara mereka berpikir pun, bahkan cara mereka bermimpi, sudah cara Belanda! “
Pada tahun 1960, saat HAMKA menerjemahkan tulisan ayahnya Dr. Abdul Karim Amrullah “Sullamul Ushul Yurqa` Bihi Samau `Ilmil Ushul” dari huruf Jawi ke huruf latin. Ia berkomentar, bahwa tulisan ayahnya tersebut 45 tahun lalu masih menggunakan bahasa Melayu yang sangat terpengaruh dengan pandangan hidupnya yang condong ke bahasa Arab, yang merupakan bahasa agamanya, sebagaimana juga orang berpendidikan Barat yang condong ke bahasa Belanda dan Inggris. Dahulu bahasa Melayu ditulis dengan huruf Arab-Melayu atau huruf Jawi, sekarang ditulis dengan huruf latin. Maka untuk dapat kembali menggali dan menemukan ketersambungan sanad keilmuan dan pandangan hidup dari para leluhur bangsanya, tidak bisa tidak, harus dapat menggunakan dan melestarikan bahasa ini. HAMKA menyindir kepada angkatan muda saat ini:
“Bagaimana akan dapat menumpahkan fikiran, kalau bahasa sendiri tidak dapat dikuasai? Cobalah baca kitab-kitab karangan ahli agama 40 atau 50 tahun yang lalu. Tidakkah kita tertawa geli melihat susunan karangan itu? Tapi itu jauh lebih baik daripada kaum intelektual yang tidak ada sama sekali hubungannya dengan bahasa dan jiwa bangsanya.” [Hamka, Sejarah Umat Islam Pertama, Jakarta: Bulan Bintang, 1975, hlm. 103]
HAMKA menyebutkan akibat buruk yang akan terjadi dari penukaran huruf Melayu dengan huruf latin. Pertama yaitu keterputusan hubungan generasi muda yang datang selanjutnya terhadap perbendaharaan pemikiran nenek moyangnya. Sehingga mereka kehilangan jiwa dan intelektualitas yang telah lama tumbuh dan hidup dalam kebudayaan leluhurnya, kemudian mereka menggantungkan diri kepada kalangan asing yang dianggap mengetahui tentang jati diri kebudayaannya. HAMKA menyinggung akan hal ini:
“Kalau mereka hendak mencarinya juga terpaksa dengan perantaraan orang lain. Hendak tahu perbendaharaan fikiran di Malaysia, terpaksa bertanya kepada buku-buku Wensted. Hendak mengetahui Aceh, terpaksa menuruti fikiran Hurgronje. Hendak tahu siapa Hamzah Fansuri, terpaksa bertanya kepada buku Doorenbos, dan seterusnya, karena awak sendiri tidak dapat mengetahui sumber aslinya yang ditulis dengan huruf Melayu itu.” [Kenang-Kenangan Hidup Jilid II, Jakarta: Bulan Bintang, 1974, hlm. 166]
Kedua ialah ditinggalkannya pemakaian bahasa Arab, setelah digantikan kepada bahasa para penjajah, yang akan memperkaya bahasa Melayu. Di Malaysia sebelum huruf Jawi ditinggalkan, para pengarang jika ingin memperkaya bahasa Melayu, mereka dahulukan mencari dari bahasa Arab. Mereka menemukan kata-kata iktisad untuk ekonomi. Siasat untuk politik, Tahniah untuk ucapan selamat, Ta`ziah untuk melayat kematian. Namun sejak diganti dengan huruf latin (Rumi) perkembangan ini tidak lagi, iktisad dihilangkan dan ekonomi jadi gantinya. Politik digunakan, dan siasat dihilangkan. Sedangkan di Indonesia sendiri, usaha ini secara halus digantikan, baik yang bahasa Melayu asli, atau yang dari bahasa Arab, dengan bahasa Jawa. Singkatnya, hal ini menurut HAMKA merupakan “politik bahasa” yang coba dimainkan oleh kolonial secara sistematis sebagai upaya memisahkan nilai-nilai dalam bahasa mereka, kemudian digantikan dengan bahasa dan kebudayaan baru dari kolonial. Awalnya dengan melakukan pengantian huruf, selanjutnya adalah penyingkiran pengaruh Arab atau keyakinan agamanya melalui bahasa tersebut. Disebutkan oleh HAMKA ada orang-orang yang hingga secara berani mengatakan ”Buang itu huruf Arab dan pengaruh Arab! Tukar dengan huruf “nasional” kita! Yaitu huruf Latin!
Sangat pentingnya pengaruh dan peran bahasa, HAMKA sampai menaruh kecurigaan kepada sarjana-sarjana Kristen yang mempelajari bahasa Indonesia dan kebudayaan daerah, terutama kepada kebudayaan Jawa. Ia mengatakan “Usaha mereka itu pasti tak lepas dari tujuan mengkristenkan bangsa Indonesia.” Menurut HAMKA latar belakang Kristen menghidupkan kembali Kejawen tidak terlepas dari upaya kristenisasi, dan hal itu terbukti sampai saat ini. Oleh sebab itu, ia mengingatkan kepada kawannya di Yogya (Pimpinan Muhammadiyah Yogya) saat itu, agar lebih giat untuk menekuni dan menggali nilai-nilai Islam dalam kebudayaan Jawa.
Dalam sebuah kasus, HAMKA misalnya pernah mempertahankan argumentasinya ketika menafsirkan Pancasila yang merupakan konsensus para ulama dan tokoh-tokoh Islam di Indonesia. HAMKA melandaskan bahasanya pada kesepakatan Kongres Bahasa Indonesia di Medan tahun 1954, yang dijelaskan oleh sarjana-sarjana dan ahli bahasa, bahwa bahasa Indonesia yang menjadi bahasa negara, berasal dan berdasar kepada bahasa Melayu. Sehingga sampai sekarang tata bahasa Indonesia masih tetap bahasa Melayu. Dituliskan oleh HAMKA dua poin utamanya:
- Telah sama pendapat ahli-ahli bahasa sejak dari Melayu Lama (Klasik) sampai kepada zaman kita sekarang ini, terutama di sumber-sumber asli bahasa Melayu sebagai Riau dan Johor bahwa “Kepercayaan” dalam bahasa Melayu adalah terjemahan daripada “Iman” dalam bahasa Arab.
- Di dalam naskah-naskah asli Undang-undang Dasar 1945 dengan jelas dituliskan di ujung pasal 29 ayat 2 “Menurut agama dan kepercayaan itu.”
HAMKA kemudian berkomentar bahwa, kata-kata “itu” di belakang kalimat “Menurut agama dan kepercayaan itu” adalah merujuk pada pemahaman bahasa Melayu, yang menjadi Bahasa Negara Republik Indonesia. Bahwa diantara Agama dan Kepercayaan, bukanlah dua hal, melainkan satu.
Menjelaskan tentang maksud kebudayaan, HAMKA mengutip pidato Dr. Mohammad Hatta ketika masih menjadi wakil presiden pada Kogres Kebudayaan di Bandung, bahwa kebudayaan adalah pertalian di antara kejadian alam (Natur) dengan usaha manusia menyesuaikan hidupnya dengan alam yang terbentang. Beliau jelaskan bahwa air yang turun berlimpah dari gunung karena adanya hujan (Natur), kemudian manusia mengambil lahan dan manfaat di bawahnya, untuk membuat sawah, menyemaikan benih padi untuk dimakan, mendirikan rumah, itulah kebudayaan (Culture). Termasuk dalam budaya keagamaan di Indonesia, adalah kekhasan ukiran dan arsitektur bangun Masjid serta rumah adat yang memiliki nilai Islam dan kebudayaan Melayu. Juga seperti penggunaan songkok dan sarung yang mencirikan identitas Muslim di Indonesia.
Menurut HAMKA pada Symposium Kebudayaan Islam di Taman Ismail Marzuki (TIM) pada 4 Desember 1979, setiap manusia pasti memiliki kebudayaan dan kebudayaan tidak bisa kosong dari kehidupan manusia. Baik manusia dan bangsa-bangsa yang masih primitif hingga yang telah modern, memiliki kebudayaannya masing-masing. HAMKA kemudian menyebutkan bahwa kebudayaan yang kita anut, yaitu Kebudayaan Indonesia, yang sebagian besarnya timbul secara wajar dari Islam. Sehingga wajar pula ketika akan mengkajinya, harus melalui dasar Islam. Karena golongan terbesar dari bangsa Indonesia dan pelaku kebudayaan adalah orang-orang Islam.
Agama Islam menciptakan budaya, namun agama Islam bukan agama budaya. Hamka pernah menolak, ketika Islam ingin dimasukkan sebagai kebudayaan oleh para budayawan komunis. Allah telah memberikan inspirasi dan ilham bagi manusia untuk menimbulkan suatu amal budaya yang penting untuk meresapi dan menyesuaikan diri dengan lingkungan hidupnya.
Menurut Hamka, bahwa hasil wahyu merupakan kebudayaan yang setinggi-tingginya, dan kebudayaan Islam ialah kebudayaan Tauhid. Sebagaimana pernyataan Hamka, bahwa “Adat hendaklah bersendi syara` dan syara` bersendi Kitabullah.” Sedangkan orang materialis akan berkata bahwa wahyu bukan budaya, sebab mereka tidak percaya akan adanya Allah yang memberikan wahyu.
HAMKA menyimpulkan bahwasanya kebudayaan meliputi seluruh kegiatan hidup. Sehingga kata “Tamaddun” dan “Hadlarah” dalam bahasa Arab atau “Civilization” dalam bahasa Inggris telah termasuk ke dalamnya. Kemudian dibuatlah bagian-bagiannya untuk memudahkan pemikiran. Yaitu kebudayaan meliputi ilmu pengetahuan, filsafat dan seni. (BERSAMBUNG)
Penulis, Mahasantri Ma`had `Aly Imam al Ghazally, Solo