Oleh: Muhammad Iswardani Chaniago
DEMOGRAFI Amerika Serikat (AS) dan sifat keagamaan masyarakatnya di sana memang menarik. Tocuqeville penulis Prancis yang mengabadikan fenomena demokrasi di Amerika dalam buku Democracy in America, telah jauh2 hari melihat kaitan agama dan masyarakat AS. Konklusi singkatnya demokrasi Amerika tak bisa lepas dari agama. Di sana, kata Tocqueville, kebebasan dengan agama tak terpisah. Sedangkan di Prancis, negara asal Tocqueville, ia tidak melihat hal demikian.
Namun Amerika yang religius kini mulai mengekor Eropa yang meninggalkan agama. Sejumlah ahli dan data berbicara demikian. Pew Reserch, lembaga di AS yang kerap memberikan data keagamaan, pada tahun 2015 berkesimpulan bahwa AS sekarang lebih less religious dari tahun-tahun sebelumnya. Jumlah yang tidak percaya Tuhan meningkat, meski tipis. Disusul kelompok yang tidak berafiliasi kepada agama (religiously unaffiliated) juga menggambarkan tren menanjak. Kemudian ini berdampak pada kelompok yang berafiliasi pada agama (religiously affiliated) yang cenderung menurun.
Meskipun mereka yang religiously unaffiliated mayoritas masih percaya pada Tuhan, namun persentasenya mengalami penurunan. Dengan data ini apakah masyarakat AS sungguh-sungguh telah menjadi sekular?
Jika ditanyakan pada Clay Routledge, psikolog sosial AS, bisa jadi jawabannya belum tentu. Dalam tulisannya Are Americans Really Becoming Less Religious? (2016), Ia menggambarkan walaupun fakta angka religiously unaffiliated dan ateis meningkat, namun mereka bukanlah nonbeliever. Dengan demikian, kendatipun tidak percaya pada Tuhan agama arus utama, mereka (religiously unaffiliated) tetap percaya pada sesuatu yang “religi”: hantu, supranatural dan lain-lain. Bagi Routledge ini merupakan bukti bahwa masyarakat AS tetap religius.
Apa yang dijelaskan Clay Routledge, secara umum dibenarkan sosiolog Steve Bruce belasan tahun sebelumnya, dalam bukunya God is Dead: Secularization in the West (2000), bahwa terjadi perubahan religiusitas masyarakat AS. Bahkan dalam buku Bruce yang lain Secularization In Defence of an Unfashionable Theory (2011) ia makin memperkuat teorinya tersebut. Tapi, agak sedikit berbeda dengan Routledge yang terkesan ingin mengatakan, “AS tetap religius”, Bruce justru ingin membuktikan AS cenderung ke arah sekularisasi. Bagi Bruce hal itu tampak dari perubahan religiusitas tradisional yang dipraktikkan agama arus utama, menjadi religiusitas New Age.
Religiusitas ini, menurut Bruce, adalah religiusitas yang sangat personal dan psikologis. “Religion was no longer about glorifiying God but about personal growth,” tulis Bruce.
Ajaran agama tidak lagi terformalkan tapi lebih sebagai kondisi spiritual psikologis. Agama tidak lagi direduksi menjadi soal ajaran Tuhan tentang dosa dan pahala, melainkan berubah hanya menjadi baik-buruk dalam konteks psikologi. Buruk adalah kondisi minus kepercayaan diri. Baik adalah berpikir positif. Inilah makna keselamatan dalam religiusitas New Age bukan melulu soal keselamatan akhirat.
Bahkan tidak sampai di situ, Bruce juga menemukan ada gejala transformasi doktrin dari restriktif menuju permisif. Dari truth-claimmenjadi pluralis. Sifat yang lebih “terbuka” ini bisa jadi disebabkan agama yang mem-pribadi dan personal. Sifat yang personal mencegah seseorang melakukan perluasan pengaruh keagamaan, sehingga lahirlah fenomena keagamaan yang makin privat. Pada tingkatan ini, Bruce sampai pada kesimpulan bahwa agama di masyarakat AS menjadi lebih internal, individu dan privat. Jauh dari karakter institusional, eksternal dan publik.
Seperti yang dikatakan sebelumnya, fenomen ini dibaca berbeda oleh sejumlah ilmuwan. Bruce memandangnya sebagai sebuah tren menuju sekularisasi, sedangkan Routledge menilai bahwa fenomena tersebut mengarah pada eksistensi religiusitas masyarakat AS yang masih dipegang kukuh. Karena, religiously unaffiliated tetap mencari makna meaningful life di tengah-tengah modernitas kehidupan. Sementara agama, dalam pandangan Routledge, “has long been empirically linked to the need to perceive life as meaningful.”
Tapi ada irisan yang tampaknya disepakati baik oleh Routledge atau Bruce, yakni terkikisnya eksistensi agama institusional pada masyarakat AS. Fenomena perubahan religiusitas masyarakat AS mengirimkan pesan penting bahwa agama di AS mulai mem-pribadi alias makin mengerucut menjadi sekedar religi bukan ajaran yang terlembagakan. Doktrin-doktrin mapan mulai ditinggalkan dan digantikan dengan karakteristik yang lebih personal. Routledge mengakui bahwa kelompok religiously unaffiliated memiliki kecenderungan untuk mengejar kepentingan spiritual nontradisional dan bersifat kebahagiaan psikologis. Itu yang menyebabkan buku-buku spiritual dan praktik terapi spiritual laris.
Meskipun demikian, agama terlembagakan (institutionalized religion) masih berpengaruh dalam tubuh masyarakat AS, walau diiringi dengan tren yang semakin menurun. Mungkin kesimpulan yang diambil Pippa Noris dan Ronald Inglehart cukup tepat menggambarkan sosiologi keagamaan di AS: “We conclude that the United State remains one of the most religious in the club of rich countries…Nevertheless, there are some indicators that secular tendencies may have strengthened in America,” (Pippa Noris dan Ronald Inglehart, Sacred and Secular, hal, 94)
Kemenangan Trump dan Agama
Pemilu AS yang dimenangkan Donald Trump menyisakan sisi menarik. Salah satunya adalah kaitan agama perpolitikan AS. Apakah kemenangan Trump bisa dikatakan sebagai kembangkitan agama di AS?
Jawabannya bisa iya bisa tidak. Bila dilihat dari sudut demografi, kemenangan Trump memang bisa mencerminkan soliditas kelompok agama religius dalam mendukung Trump. Sehingga sisi religiusitas masyarakat AS masih bisa teraba.
Data Pew Research menunjukkan soliditas kelompok Kristen dalam mendukung Trump, walaupun Trump sendiri dianggap tidak religius. Kelompok Kristen ini memegang porsi 52 persen dari seluruh pemilih pemilu. Mengalami penurunan dari tahun-tahun sebelumnya dibandingkan dengan kelompok religiously unaffiliated yang meningkat menjadi 15 persen. Trump memperoleh kemenangan hampir di semua segmen agama Kristen, baik itu Evangelis, Mormon, Katolik (terutama Katolik kulit putih).
Tapi bila kemenangan Trump dianggap sebagai arus balik dari less religious menjadi more religious, hal itu masih terlalu dini. Sebab, secara popular vote, Hillary Clinton yang didukung kuat kubu liberal diduga kuat memenangi popular vote pada pemilu kali ini. Ditambah lagi dukungan religiously unaffiliated yang kokoh untuk Hillary dan partisipasinya dalam pemilu, menurut Pew Research, semakin meningkat.
Namun kemenangan Trump bisa berimplikasi pada isu-isu keagamaan di perpolitikan AS. Seperti isu LGBT, aborsi dan lain-lain. Menurut sejumlah analis, pendukung Trump dari blok agama di AS berharap Trump bisa memilih kebijakan yang lebih ramah pada keyakinan Kristen, seperti memilih hakim Supreme Court. Ini pula yang diduga sejumlah pengamat sebagai sebab kecenderungan banyak pemilih Kristen religius memilih Trump ketimbang Hillary. Jadi kemungkinan besar kemenangan Trump lebih berdampak politik dan hukum ketimbang berdimensi perubahan sosiologis pada masyarakat AS.
Pelajaran bagi Indonesia
Pelajaran berharga dari fenomena keagamaan di AS bisa diambil Indonesia bahwa terkikisnya agama institusional di AS harus dapat diminimalisasi berkembang di tanah air. Karena Indonesia terlalu sayang bila dibuat mirip dengan Paman Sam. Indonesia dengan pengaruh keislamannya tidak boleh mengekor Amerika yang terdegradasi institusi keagamaannya. Di Indonesia agama diperbolehkan berkontribusi pada negara dan masyarakat sekaligus. Agama bukan semata urusan spiritual minus regulasi. Demikian pula bukan kaya regulasi, tapi miskin ruh.
Kendatipun demikian, gejala New Age ini bisa dirasakan mulai masuk ke dalam kelas-kelas masyarakat tanah air. Terutama masyarakat menengah. Reduksi syariat menjadi hanya sekedar “moral” pribadi; terkikisnya makna eksklusifitas keagamaan; peremehan kesesatan akidah agama adalah sejumlah realitas yang menjadi bagian dari New Age. Indonesia harus mewaspadai pola-pola New Age ini. Karena pola ini memiliki daya pikat tertentu seperti daya pikat menghindari konflik dan daya pikat pilihan konsumen.
Daya pikat menghindari konflik ini terlihat dari pola pluralisme-relativis. Sifat agama yang mengandung truth-claim dianggap tidak menarik lantaran mengajak orang berkompetisi dan berujung konflik. Tentu berbeda dengan pola pluralis-relativis yang telah men-subjektif-kan klaim keagamaan yang dikesankan lebih damai dan toleran. Adapun daya pikat pilihan konsumen menempatkan individu sebagai pemegang otoritas bukan pihak di luar individu, sehingga membuat individu merasa bebas dari kekangan pihak lain. Saat formalitas dan pelembagaan agama terasa kaku, maka individu merasa berhak mencari solusi dengan mem-pribadi-kan agama dan keluar dari formalitas keagamaan. Dan itu tidak dikehendaki Islam. Oleh sebab itu, apa yang dikatakan Bryan Wilson –seperti dikutip Steve Bruce- ada benarnya, “while Europeans secularized by abandoning the churches, Americans secularized their churches.” Jangan sampai fenomena ini terus berjalan di Indonesia. Karena pola ini dapat menunjukkan tingkat sekaligus proses sekularisasi agama yang tengah berjalan. Sampai kapan Indonesia bisa bertahan? Semoga akan terus bertahan. Wallahu a’lam.*
Mahasiswa S2 konsentrasi Agama dan Politik, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta