oleh: Kholili Hasib
Tujuh, berkhusnudzon pada Jokowi
Kini, amanah di pundak Jokowi. Sebagai seorang Muslim, Jokowi, sudah sepatutnya juga mendengarkan nasihat santri, ulama dan keraguan umat Islam selama ini atasnya. Amanahnya adalah, dirikan negeri ini berdasarkan atas iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Bukankah ketika menjadi Wali Kota Solo, Jokowi sempat merapat juga ke ulama?
Kepada presiden baru, kami menitipkan, bahwa negara ini lebih beradab jika pemimpin memerikan prioritas dan penghargaan yang tinggi kepada ulama, ilmuan dan orang-orang yang berjasa dalam pengembangan ilmu pengetahuan.
Dalam negara yang beradab, maka pengaturan anggaran harus diproritaskan untuk membangun kemandirian bangsa, sehingga bangsa ini tidak tergantung kepada bangsa lain, agar tidak menjadi bangsa yang hina dan gambang didekte oleh bangsa asing.
Rakyat yang mayoritas Muslim ini wajib didorong untuk dapat melaksanakan ajaran agamanya dengan baik, agar mereka menjadi manusia yang jujur dalam keimanannya kepada Allah, tidak mengikuti prilaku iblis.
Agar semua terlaksana dengan baik, seorang pemimpin harus menempatkan Allah sebagai Tuhan satu-satunya yang berhak disembah dan ditaati. Karena itu sangat tepat keputusan Mahkamah Konstitusi RI tahun 2010, yang mempertahankan UU No. 1/PNPS/1965 yang melarang berkembangnya aliran atau paham yang merusak bangsa dan agama yang tidak diakui di Inonesia.
Mari camkan pesan Imam al-Gazali: “Sesungguhnya, kerusakan rakyat disebabkan oleh kerusakan para penguasanya, dan kerusakan penguasa disebabkan oleh kerusakan ulama, dan kerusakan ulama disebabkan oleh cinta harta dan kedudukan, dan barang siapa dikuasai oleh ambisi duniawi ia tidak akan mampu mengurus rakyat kecil, apalagi penguasanya. Allah-lah tempat meminta segala persoalan.” (Ihya’ Ulumuddin II hal. 381).
Karena itu sudah wajar jika umat Islam menginginkan Jokowi ikut menjaga akidah umat Islam, memberantas kezaliman dan nahi munkar, serta mengawal umat Islam agar bisa melaksanakan syariatnya.
Delapan, itulah Takdir
Tauhid kita mengajarkan ada takdir Allah di setiap kejadian, bahkan termasuk jarum jatuh ke bumi atau debu-debu yang beterbangan. Kekuasaan itu milik Allah dan akan selalu dipergilirkan oleh Allah. Kejadian ini bukan semata-mata kemenangan media atau tim sukses, tapi memang Allah yang berkendak.
Sebagaimana firman Allah :
قُلِ اللَّهُمَّ مَالِكَ الْمُلْكِ تُؤْتِي الْمُلْكَ مَن تَشَاء وَتَنزِعُ الْمُلْكَ مِمَّن تَشَاء وَتُعِزُّ مَن تَشَاء وَتُذِلُّ مَن تَشَاء بِيَدِكَ الْخَيْرُ إِنَّكَ عَلَىَ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
“Katakanlah : Wahai Tuhan Yang mempunyai kekuasaan, Engkau berikan kekuasaan kepada yang Kau hendaki, Engkau cabut kekuasaan kepada yang Kau hendaki, Engkau muliakan orang melalui kekuasaan kepada yang Kau hendaki, dan Engkau hinakan melalui kekuasaan kepada Yang Kau hendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS Ali Imran : 26).
Jikapun ada yang merasa kalah, tetaplah gembira, setidaknya yang kalan telah ikut bersama barisan ulama, meski Allah tidak mentakdirkannya.*