Oleh: Kholili Hasib
JURNALIS senior harian The Jakarta Post, Edy Bayuni baru-baru ini berpendapat, bahwa untuk menjadi jurnalis yang baik, seorang jurnalis harus melepaskan keimanan dan identitas agama yang dianut ketika hendak menggali dan menulis sebuah berita.
Pernyataan ini disampaikan pada kuliah umum dalam rangka peluncuran buku “Jurnalisme Keberagamaan: Sebuah Panduan Pelibutan” yang diterbitkan oleh Serikat Jurnalis Keberagaman (Sejuk) di Jakarta pada Rabu (08/05/2013) lalu.
“Jurnalis harus mengabaikan imannya sendiri ketika menulis. Namun sayangnya kesadaran tersebut baru tertanam dalam diri sebagaian kecil jurnalis saja, dan belum sampai pada level lembaga atau media”, ujarnya (Indonesia.ucanews.com 9/5).
Menurutnya, menjadi jurnalis yang adil dan proporsional dalam menulis, disyaratkan harus melepas agama dan keimanan. Singkatnya, jurnalis yang baik adalah jurnalis yang Atheis. Dan jurnalis yang buruk adalah jurnalis yang religious.
Namun beberapa hari kemudian, pernyataan itu diralat lagi. ”Ada perbedaan besar antara menanggalkan identitas dan melepaskan iman. Saya sendiri yakin tidak ada satu orang pun yang bisa melepaskan imannya, satu detik pun dalam hidupnya, bahkan dalam tidurnya. Jadi tidak mungkin saya menganjurkan jurnalis harus meninggalkan atau mengabaikan imannya,” ujar Endy dalam pernyataan yang dikirim ke hidayatullah.com, Sabtu (11/05/2013).
Mudah-mudahan dia benar-benar bersungguh-sungguh dengan pernyataan ralatnya. Hanya saja, urusan lepas-melepas iman ini bukan hal baru di kalangan penganut liberal di Indonesia. Setahu saya, pendirian Serikat Jurnalis Keberagaman (Sejuk) tidak lepas dari gerakan kalangan liberalis dan Jaringan Islam Liberal (JIL) di dalamnya. Memang tidak ada hubungan, tetapi pasti ada irisan. Apalagi, para pentolan JIL, sebut saja Ulil Abshar Abdalah kemana-mana menjadi ikon Sejuk untuk pelatihan para wartawan masalah agama.
Netral-Agama=Tidak Netral
Pendapat melepas iman, sudah sering kali disampaikan kalangan liberal. Mereka sering berpendapat, untuk kritis terhadap sebuah agama, seseorang harus melepaskan sementara identitas agama yang dianutnya. Dengan kata lain, jika ini dibawah di dunia jurnalistik, agar seseorang bisa netral dan tidak memihak dalam liputan agama atau bisa fair, untuk ‘keluar’ dari identitas keagamannya sementara agar tanpa dipengaruhi oleh keyakinan yang ia miliki.
Dengan harapan, para jurnalis menulis bisa secara fair dan adil.
Padahal, harus dipahami, bahwa netral-agama itu juga sebuah keyakinan. Atheisme dan sekularisme merupakan paradigma keyakinan yang ada dalam diri seseorang. Sebagaimana sebuah agama menjadi paradigma keyakinan seseorang. Artinya, jika seseorang tidak berpihak kepada keyakinan agama tertentu, dengan sendirinya akan beralih kepada keyakinan lain, yaitu keyakinan netral-agama. Menjadi benar-benar netral, sesungguhnya tidak mungkin. Hanya, orang mati (mayit) atau hilang akal yang benar-benar netral. Sebab, otaknya telah kosong dari aktifitas berkeyakinan.
Selama di dalam otaknya memiliki sebuah paradigma – baik paradigma agama ataupun paradigma anti-agama – maka seseorang tidak dapat menjadi netral. Seperti dikatakan oleh Ninian Smart, ahli perbandingan agama, bahwa kepercayaan, perasaan dan apa-apa yang ada dalam pikiran orang berfungsi sebagai motor bagi keberlangsungan sosial dan moral (Ninian Smart, Worldview, Crossculture Explorations of Human Belief, hal.2).
Alparslan Acikgenc, pakar pemikiran Islam asal Turki mengatakan, pikiran itu menjadi motor perbuatan (Alparslan, Islamic Science Towards A Definition, hal. 29). Menurut Alparslan, paradigma merupakan asas bagi setiap perliku manusia termasuk aktifitas ilmiah dan teknologi. Jadi, selama manusia itu berpikir, beraktifitas, menulis dan berbicara pasti tidak lepas dari paradigma yang ada dalam otak dan hatinya.
Worldview Jurnalis
Dengan demikian, corak berpikir, gaya menulis sesorang, dan perilaku merupakan gambaran dari keyakinannya terhadap sesuatu. Oleh karena itu, seseorang yang memiliki pandangan hidup agama, akan berbeda dengan seseorang yang tidak memiliki pandangan hidup agama. Seseorang yang religius akan berbeda sikap dengan orang netral agama ketika sama-sama melihat babi. Meskipun babi misalnya lezat, seorang Muslim akan tetap menghindarinya sebab dalam otaknya mengatakan bahwa babi itu haram. Bagi seseorang yang netral agama, babi adalah babi, binatang seperti binatang lainnya. Tidak ada kamus halal dan haram.
Sebagaimana disitir Adian Husaini, bahwa wartawan dengan identitas Muslim pasti tidak memihak koruptor, pembunuh, perampok, pezina, dan penganjur kemunafikan. Sebab, koruptor, pembunuh, perampok, pezina, dan penganjur kemunafikan merupakan orang-orang yang keji, perusak tatanan kehidupan manusia.
Dalam menulis berita korupsi, seorang wartawan dengan paradigma Islam, tidak akan menulis laporan berita dengan membela koruptor, dan menyerang pengadilan yang mengadili koruptor. Sebab, korupsi itu tidak baik, maka harus menulis apa adanya bahwa si koruptor itu telah berlaku tidak baik.
Maka seorang jurnalis yang berparadigma netral-agama, Atheis atau sekularis tidak akan membela nilai-nilai keagamaan. Sehingga seorang pelaku penghinaan agama tidak akan disebut orang yang buruk.
Di samping harus memiliki paradigma yang baik, seorang jurnalis mengemban tugas mulya, yaitu mengedukasi masyarakat. Pemberitaan tentang pembunuhan, harusnya bernilai edukatif. Bahwa membunuh itu dosa besar, dan perbuatan keji yang harus dibuang jauh-jauh. Fakta tentang pembunuhan harus dibeber apa adanya. Dan fakta bahwa membunuh itu perbuatan keji juga harus diungkap. Agar masyarakat paham bahwa membunuh itu dosa, jangan ditiru. Dua fakta tersebut harus ditulis seorang jurnalis untuk mengeduaksi masyarakat. Menulis denganworldview seperti itu bukan menghakimi tapi mengedukasi. Iniliah cover both side yang sebenarnya.
Seorang yang terbukti melakukan penistaan terhadap agama, harus ditulis beritanya bahwa ia memang seorang penoda agama. Adalah keliru, dengan alasan adil dan proporsional, seorang penista agama lalu ditulis sebagai seorang terdzalimi. Jurnalis seperti itu tidak bertanggung jawab, sebab membuat kebohongan atas nama keadilan. Penista ditulis terdzalimi, penoda ditulis pahlawan. Ini tidak tepat. Masyarakat harus diedukasi bahwa perbuatan penistaan agama itu tidak baik, harus dihukum dan dihindari jauh-jauh.
Seorang jurnalis Muslim harus memiliki paradigma akhirat dan berworldview Islam. Bahwa seseorang yang menanggalkan keimannnya akan menjadi murtad. Hukum murtad dalam Islam bukan sesuatu yang ringan.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: “Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam keadaan kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalnya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.” (QS. Al-Baqarah: 217).
Seorang jurnalis Muslim yang bertakwa kepada Allah akan menilai bahwa tugas kewartawanannya adalah amanah yang harus dipertanggungjawabkan kelak. Ia akan menjalankan amanah itu sebaik-baiknya sesuai petunjuk yang baik dari Allah. Ia tidak akan menjadi Atheis, atau sekularis.
Selama ini, yang kita saksikan tidaklah demikian. Dengan alas an netral, para jurnalis menyebut penoda dan penista agama Islam justru dianggap pihak terdzolimi. Padahal ketika itu sejujurnya dia tidaklah netral, sebab dia sudah memihak.*
Penulis adalah peneliti di InPAS Surabaya