Oleh: Beggy Rizkiyansyah
DUNIA dikejutkan dan dipantik kemarahannya dengan keputusan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump yang memindahkan kedutaan besar AS dari Tel Aviv ke Yerusalem. Akhirnya Trump-lah yang nekad mengambil keputusan yang dihindari presiden-presiden AS sebelumnya. Kebijakan luar negeri AS memang seringkali menyokong Israel. Namun keputusan kali ini dianggap banyak pihak tak dapat diterima, termasuk berbagai negara barat yang biasanya tak resisten terhadap kebijakan luar negeri AS di Palestina.
Pemindahan kedutaan ini tak ayal merupakan pengakuan lebih luas terhadap perampasan tanah milik Bangsa Palestina oleh Israel. Dampak dari keputusan ini bukan saja berdampak secara politik, tetapi yang lebih mengenaskan adalah penghapusan perlahan terhadap eksistensi dan ingatan tentang “tanah” Palestina dan orang-orangnya. Sebuah upaya yang sesungguhnya telah dilakukan Israel selama puluhan tahun, dan dapat kita sebut sebagai Israelisasi Palestina.
Proses genosida senyap terhadap identitas, ingatan dan budaya bangsa Palestina berlangsung selama berpuluh-puluh tahun. Sejak awal pemerintah Israel memang ingin menghilangkan bekas-bekas kehidupan orang-orang Arab di tanah Palestina. Mereka memandang dengan kacamata rasis terhadap orang-orang Arab Palestina. Orang-orang Yahudi yang menginjakkan kakinya di bumi Palestina merasa mereka adalah orang-orang Barat dengan pandangan rasisnya memandang rendah orang-orang Arab sebagai terbelakang, sama seperti ketika orang-orang Spanyol melihat pertama kalinya pribumi Indian di Benua Amerika. Mereka juga menganggap bahwa merekalah yang dijanjikan atas tanah Palestina dan sebaliknya orang-orang Arab Palestina tak punya hak atas tanah Palestina. (Lawrence Davidson: 2012)
Maka tak mengherankan ketika pandangan rasialis ini termanifestasi dalam ideologi negara Zionis. Mereka mulai mengusiri orang-orang Arab Palestina. Melalui pemakaian istilah ‘pemindahan,’ mereka melegitimasi aksi pengusiran, dan genosida orang-orang Arab Palestina.
Israel mengusir orang-orang Palestina dan menggantinya dengan masyarakat Yahudi. Mereka terus mengejar perbandingan jumlah penduduk Palestina dengan Yahudi di sana, dan menciptakan negeri khusus Yahudi. Israel pun mulai menggunakan metode serangan militer yang brutal (pembantaian), diikuti eksodus orang-orang Arab yang ketakutan.
Sejak tahun 1948, Desa-desa yang dahulu dihuni oleh orang-orang Arab segera diganti diganti dengan kota-kota Israel. Di wilayah-wilayah yang tak dihuni oleh orang-orang Israel, rumah-rumah yang ditinggalkan oleh orang-orang Arab dirubuhkan, diganti dengan hutan. Hal ini adalah upaya menghilangkan ingatan bahwa dahulu pernah ada manusia (Palestina) yang pernah tinggal di sana.
Moshe Dayan, seorang jenderal dan politisi Israel pernah mengatakan bahwa, “…desa-desa Yahudi dibangun di atas desa-desa Arab. Kamu bahkan tak tahu nama arab desa-desa tersebut, dan aku tak menyalahkanmu, karena buku-buku geografi (yang menyebutkan nama-nama desa tersebut) tak ada lagi…” (Lawrence Davidson: 2012)
Christine Leuenberger dan Izhak Schnell dalam The Politics of Maps: Constructing National Territories in Israel (2010) menyebutkan bahwa pendidikan geografi dipakai untuk membantu populasi imigran Yahudi ‘menanamkan’ diri mereka ‘di tanah Israel’, membantu mereka untuk mengembangkan ‘rasa memiliki sebuah tempat’ dan ikatan emosional dan loyalitas pada negara.
Untuk mencapainya, mereka melakukan pencaplokan. Bukan saja mengusir orang-orangnya, tetapi juga pada saat yang sama, Israel sejak lama mengklaim wilayah-wilayah yang belum mereka kuasai. Klaim-klaim ini dilakukan melalui pembuatan peta-peta yang secara sepihak mencaplok wilayah-wilayah lain. Israel memiliki persepsi bahwa tanah Palestina adalah tanah yang terabaikan dan hancur di bawah rezim Arab. Oleh karena itu kehadiran Yahudi adalah untuk mengembalikan lahan tersebut menjadi hidup. Hal ini yang mereka bawa pula ke dalam pembentukan peta Israel. (Christine Leuenberger dan Izhak Schnell: 2010)
Peta-peta ini kemudian menjadi alat klaim oleh Israel terhadap tanah di Palestina. Melampaui wilayah “Palestina” seperti Tepi Barat yang seringkali dihilangkan atau diberi tanda daerah berbahaya. Bukan hanya itu, pada peta-peta tersebut juga diterapkan Ibranisasi atau Yudaisasi. Nama-nama wilayah berbahasa Arab atau Kristen diganti dengan bahasa Ibrani. (Christine Leuenberger dan Izhak Schnell: 2010)
Ibranisasi ini tak lain merupakan politik bahasa oleh Israel. Ibranisasi artinya tidak ada lagi bahasa Arab di sana. Budaya Arab dicabut dari tanahnya. Mereka telah memulai ‘Ibranisasi’ ini sejak tahun 1920-an ketika Jewish National Fund (JNF) membeli tanah-tanah dari orang Palestina dan mulai mengganti nama-nama wilayahnya dalam bahasa Ibrani. Proses ini bahkan terus berlangsung hingga belakangan ini.
Pada tahun 2009, Menteri Transportasi Israel menyatakan nama-nama jalan di Israel akan sepenuhnya memakai huruf Ibrani (sebelumnya memakai huruf arab, ibrani dan latin). Memakai tiga aksara berarti mendorong “Jerusalem yang Yahudi menjadi Alquds Palestina.” (Lawrence Davidson: 2012)
Israel berusaha memutus ingatan tentang Palestina dengan menulis ulang sejarahnya di sana. Sejarah itu ditulis ulang dengan menyatakan bahwa ketika orang-orang Israel tiba tanah Palestina dihuni oleh orang-orang Arab yang nomadis, berbahaya dan terbelakang. Tak hanya sampai disitu, Di buku-buku sekolah, orang-orang Arab diberi label sebagai “pembunuh” dan “perampok.” Buku-buku ajar berbahasa Arab untuk anak-anak Palestina disusun bukan oleh orang Palestina.
Artefak-artefak yang menjadi penanda sejarah bangsa Palestina, khususnya sejarah Islam dihapus dengan melakukan penghancuran dan penjarahan. Sejak tahun 1950-an Israel membiarkan penjarahan terhadap museum Palestina oleh serdadu mereka dan mulai menghancurkannya. Para serdadu Israel juga menghancurkan perpustakaan, beserta buku-buku dan arsip Palestina. Situs-situs arkeologi Palestina, artefak-artefaknya, bangunan kuno dan rumah bersejarah dihancurkan. UNESCO menyebut aksi ini sebagai “Kejahatan terhadap budaya umat manusia.”(Lawrence Davidson: 2012)
Satu hal yang paling berbahaya dan menyakitkan adalah masih terus dilakukannya penggalian di bawah pondasi Masjid Al-Aqsa. Masjid yang menjadi tempat suci ke tiga umat Islam. Menurut Ramzy Baroud, doktor dari Exeter University, ancaman runtuhnya Masjid Al-Aqsa sangat nyata, dan merepresentasikan mental yang menguasai Israel: Salah satu bentuk aneksasi dan pendudukan militer, tanpa mempedulikan tempat yang dianggap suci oleh 1,6 triliun muslim di seluruh dunia. (Ramzy Baroud: 2014)
Ingatan kolektif bangsa Palestina tentu saja merupakan ancaman bagi Israel. Mereka berupaya mencabut ingatan tersebut dengan melarang kegiatan budaya orang-orang Arab di Yerusalem. Ketika UNESCO pada tahun 2009 memutuskan Yerusalem Timur sebagai Ibukota Budaya Arab, Israel dengan segera menolaknya. Mereka menolak acara-acara UNESCO bukan saja di Yerusalem, tetapi juga di kota-kota lain. Acara-acara olahraga orang Palestina, festival sastra dan perempuan juga dilarang. (Lawrence Davidson: 2012)
Langkah-langkah Israel terhadap bangsa Palestina dianggap Lawrence Davidson sebagai bentuk genosida kultural. Genosida kultural,seperti dikutip dalam The Concept of Cultural Genocide: An International Law Perspective, adalah “Penghancuran oleh negara atau organ negara terhadap budaya (kultur) sebuah komunitas dalam maknanya yang luas, termasuk ‘material spiritual tertentu, intelektual, dan emosional yang terdapat dalam sebuah masyarakat atau kelompok sosial’, mencakup ‘seni dan sastra, gaya hidup, cara hidup bersama, sistem nilai, tradisi dan kepercayaan.’ “(Elisa Novic: 2016)
Pengakuan Amerika Serikat atas Yerusalem sebagai ibukota Israel hanya akan semakin mendorong Israel untuk menambah panjang kisah buram genosida kultural terhadap bangsa Palestina. Sebuah upaya yang dibutuhkan Israel untuk menghilangkan ingatan dunia akan keberadaan bangsa Palestina, budaya, dan tanah airnya.*
Pegiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB)