Sepertinya, zaman ini masih menunjukkan zaman penokohan. Di Turki saja, misalnya, AKP merupakan partai pemenang Pemilu tiga kali berturut-turut adalah karena ketokohan seorang Recep Tayyip Erdogan. Seandainya tidak ada tokoh ini barangkali persoalanya jadi lain.
Mengevaluasi Partai berbasis Islam
Di sisi lain, figuritas dan penokohan dalam partai-partai Islam tergolong lambat. Hal itu bisa dimaklumi karena beberapa kemungkinan.
Pertama, pemilihan tokoh yang cukup ketat, bahkan selalu harus dari kelompoknya. Sementara keunggulan partai nasionalis mereka tidak pandang dari mana ia berasal, bahkan dari agama lain-pun bisa dijadikan tokoh atau ikon.
Hingga saat ini, ego partai Islam masih tinggi. Semestinya bila terdapat tokoh yang sudah sesuai dengan visi dan misi yang diusung, maka segera saja ditokohkan oleh partai tersebut.
Sungguh tidak bisa dinalar orang baik seperti Tri Rismaharini, Wali Kota Surabaya justru ditemukan oleh PDI-P. Mengapa orang seperti Risma bukan dilahirkan oleh PPP, PKB atau bahkan PKS? Kemana saja kader-kader mereka yang seharunya kening mereka dekat dengan lantai masjid?
Kedua, partai Islam atau partai berbasis Islam tak memiliki TV. Sebagaimana telah disinggung di atas, media paling cukup significan menyumbang banyak pencitraan. Oleh karena itu, sangat disayangkan kalau partai-partai yang mewakili aspirasi Islam tidak mempunyai televisi. Sebab di televisi bisa mencitrakan apa saja, hatta untuk kebaikan. Bukankah musibah kampanye negative yang diderita PKS (atas kasus yang menimpa LHI) justru sangat massif dibesarkan media massa?
Ketiga, partai Islam masih tergolong partai miskin. Seperti diketahui, dana kampanye yang memadai sangat menentukan memilih tidaknya konsetuen terhadap partai. Sudah menjadi pemandangan yang jamak, uang di mana-mana berlaku dalam politik. Tidak ada satu partai pun yang bersih dari jual beli suara ini.
Hanya saja, bagi partai berbasis Islam (apalagi berasas Islam), sebaiknya tidak menjadikan uang sebagai “berhala” layaknya partai sekuler. Meski uang sering menjadi kata kunci pemenangan, faktanya, uang hanya cukup memberi kepuasan sesaat kepada masyarakat agar memilih partai tertentu.
Lagi pula, menjadikan uang sebagai “berhala” kemenangan hanya akan mengantarkan kita pada nafsu serakah, yang ujungnya tetap korupsi. Silaturahmi dan ukhuwah Islam yang tulus kepada semua gerakan dan kelompok Islam, sesungguhnya modal kuat partai-partai Islam melawan kecilnya dana dan meraih kepercayaan masyarakat, terlebih saudara-saudaranya sesama Muslim.
Ingatlah, di masa kejayaan Partai Masyumi, masyarakatlah yang berperan besar mensukseskan kemenangan partai Islam tersebut. Bukan karena Masyumi banyak uang dan berlimpah dana, tetapi karena masyarakat tulus mencintainya karena profil orang-orang dan tokoh-tokoh Masyumi sungguh layak dicontoh dan ditiru.
Ketokohan Natsir bukan hanya pada tulisan-tulisannya, tapi juga sejarah hidup dan perjuangan dakwahnya. Mulai remaja, dewasa sampai dengan tuanya, kehidupan Natsir penuh dengan keteladanan.
Ketika menjadi menteri penerangan, Natsir menunjukkan keteladanannya. Ia tidak memanfaatkan jabatannya untuk menumpuk kekayaan dan bahkan ia tidak memerdulikan pakaiannya baru atau usang. Bandingkanlah dengan pemimpin kita atau tokoh-tokoh partai Islam sendiri. Lihatlah gaya hidup dan kesehariannya.
Di sisi lain, dalam kasus Pemilu 2014, tokoh-tokoh seperti Dr Hamid Fahmy, Dr Adian Husaini (INSISTS), Bachtiar Nasir dan Fahmi Salim (MIUMI), Habib Rizieq Shihab (FPI), Ustad Arifin Ilham, KH Abdullah Gymnastiar, dan banyak lagi dukungan para kiai dan ulama. Hatta, termasuk dukungan organisasi Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), Persis, Hidayatullah, Wahdah Islamiyah yang secara tersirat sudah sangat jelas memberi support kepada umat untuk mendukung caleg yang mendukung Islam atau partai-partai Islam. Hal ini bisa kita lihat dari semua pernyataan baik resmi atau tidak resmi mereka di media massa.
Semua dukungan ini hanya akan sia-sia belaka tanpa ada keinginan tulus dari partai-partai Islam saling menyambungkan hati pada semua komponen umat. Sebab silaturrahmi dan ukhuwah yang tulus (bukan karena kepentingan), insyaAllah akan menghasilkan kekuatan umat jauh lebih besar pada 5-10 tahun mendatang.
Pertanyaannya, sudah berapa kali tokoh partai-partai Islam bersilaturrahmi pada simpul-simpul umat ini?
Bersatu atau Bercerai?
Tujuan politik sebenarnya bagaimana membangun negara. Sedangkan yang membangun negara adalah manusia. Oleh karena itu, hasil Pemilu 2014 ini justru menggambarkan keadaan umat Islam saat ini.
Kalau masyarakat masih lebih memilih hal-hal yang bersifat materiil dan sesaat dalam Pemilu, bisa menandakan wajah masyarakat kita adalah demikian.
Dalam konteks ini layak kita melirik pandangan Imam al-Ghazali mengenai gambaran mausia. Menurutnya, dalam kitab Kimiya’ al-Saadah-nya, manusia itu seperti negara. Negara dipimpin oleh seorang presiden yang mempunyai banyak bawahan. Di antaranya menteri, punggawa dan tentara. Tidak hanya itu, seorang presiden mempunyai produk Undang-undang (sistem) yang ia jalankan dalam pemerintahannya. Oleh karena itu ia juga mempunyai visi dan misi untuk keberlangsungan dan kemajuan negaranya, baik jangka pendek (dunia) maupun jangka panjang (akherat).
Pada diri setiap manusia, menurut Al Ghazali, dipimpin oleh hati (qalb). Hati mempunyai banyak bawahan: menterinya adalah akal (‘aql), pembantunya adalah badan, alat transportasinya adalah nafsu, mata-matanya adalah panca-indera, pekerjanya adalah syahwat, pengawalnya adalah amarahnya serta dunia menjadi tempat tinggalnya sementara. Dan tujuan terakhirnya adalah akhirat.
Karena itu, kesempatan mengelola negara hanya di dunia, walaupun perjalanannya masih panjang sampai nanti di akherat.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Menurut beliau, individu yang sudah sukses memenej dirinya melalui ruhnya dialah orang sholeh sebenarya. Hanya orang sholeh-lah yang semestinya menjadi tokoh dan orang-orang sholeh inilah semestinya mengisi ruang-ruang legislatif, eksekutif dan yudikatif. Karena posisi-posisi itu adalah posisi leader (pemimpin) dan itulah posisi ruh dalam konsep kemanusianya Imam al-Ghazali.
Nah, jika ternyata dalam Pemilu kemarin masyarakat lebih memilih tokoh-tokoh yang tidak sholeh, terbukti dengan lebih tertariknya kepada mereka yang memberi uang atau tokoh yang sering nangkring di media, berarti memang begitulah kualitas masyarakat kita saat ini. Oleh karena itu, pekerjaan besar partai Islam termasuk pencerdasan dan pen-sholehan masyarakat perlu lebih digalakkan lagi, terutama di tempat-tempat yang hampa nilai-nilai keislaman.
Dari individu-individu sholeh itu mari kita bergandengan tangan munculkan masyarakat yang tangguh dan sholeh. Dari masyarakat yang sholeh itu mari kita bergandengan tangan membangun media yang kuat.Selanjutnya kita bergandengan tangan mencari pemimpin yang sholeh, berilmu, kreatif dan kompetitif.
Sebagai sebagaimana kutipan Dr Hamid Fahmi Zarkasyi, putra pendiri PP Darussalam Gontor yang menganjurkan partai Islam sebaiknya bersatu dan berkoalisi dan mencari pemimpin. “Kalau niat berpolitik itu demi Islam, memperjuangkan kepentingan umat Islam agar menjadi rahmat bagi semua orang, mestinya partai-partai Islam berkoalisi mau bersatu dan menawarkan kepada bangsa ini seorang calon Pemimpin (Presiden) terbaik,” demikian ujarnya. Wallahua’lam.*
Penulis adalah Kadidat doktor filsafat Islam di Suleyman Demirel Universitesi, Isparta, Turkiye dan peneliti pada Islamic Circle Studies for Indonesian Society in Turkiye (ICSIST)