Oleh: A.R. Dimyati
PEMUNGUTAN suara Pemilu Legislatif boleh dibilang sudah selesai sejak Rabu, 9 Arpil 2014 lalu. Menurut hasil hitungan cepat (Quick Count) oleh berbagai lembaga, partai yang unggul sementara adalah partai beridiologi nasionalis.
Tercatat PDIP mendapatkan suara antara 19%-20%, Golkar 14%-15%, Gerindra11%-12% dan Demokrat 9%-10%. Sementara partai-partai berbasis Islam berlomba-lomba menempati di urutan tengah. Tercatat PKB meraup suara antara 9%-10%, PAN 7%-7.5%, PKS 6%-7%, PPP 5%-6%. Hanya PBB di antara partai Islam yang diperkirakan tidak lolos Electoral Threshold (ET) atau ambang batas syarat angka perolehan suara. Walaupun hasil hitungan cepat tidak menunjukkan hasil resmi, namun ini bisa jadi menggambarkan hasil Pemilu secara umum. Tidak bisa dipungkiri, jauh hari partai-partai nasionalis mulai mengangkat tokoh sebagai figur pendongkrak suara.
Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) misalnya, sudah sejak lama wajah mantan Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus TNI AD (Kopassus) Prabowo Subianto wajahnya sering muncul di TV dibandingkan dengan partai-partai lain.
Dalam survei Puskaptis yang dilakukan 24-28 Oktober tentang siapa figur presiden yang akan dipilih jika Pemilu dilakukan saat survei dilakukan dari delapan nama yang diajukan Puskaptis, nama Prabowo menduduki peringkat pertama. Menurut Direktur Eksekutif Pusat Kajian Kebijakan dan Pembangunan Strategis (Puskaptis) Husin Yazid, figur Prabowo dianggap contrast dengan figur SBY yang dipersepsikan lambat, peragu, dan penakut.
Namun survey kemudian terbalik di bulan Maret 2013 tatkala PDI-P memunculkan nama Gubernur DKI Joko Widodo (Jokowi) sebagai Capres. Jokowi bersaing ketat dalam survey 10 indeks kepemimpinan yang diselenggarakan Dalam survey yang dilakukan Indo Baromater bekerjasama dengan Laboratorium Psikologi Politik Universitas Indonesia (LPP UI), Jokowi dianggap paling mampu memimpin dan mengendalikan pemerintahan Indonesia dengan skor 7.51. Disusul Prabowo 7.15, kemudian Megawati 6.53. Aburizal Bakrie dan Hatta Rajasa masing-masing sebesar 6.47 dan 6.12, tokoh lainya berada di bawah 6.00.
Survey ini dilakukan terhadap 12 nama tokoh, antara lain Aburizal Bakri, Din Syamsudin, Hatta Rajasa, Joko Widodo, Khofifah Indar Parawansa, Megawati Soekarnoputri, Muhaimin Iskandar, Prabowo Subianto, Said Aqil Siradj, Soekarwo, Suryadharma Ali dan Tri Rismaharini. Hanya saja, ketokohan (figuritas) tak selalu sebanding dengan kenyataan.
Kecilnya perolehan suara yang diraih PDIP (gagal mencapai target di atar 20 persen) dinilai kegagalan Jokowi Effect. Calon Presiden dari PDIP, Joko ‘Jokowi’ Widodo menduga kegagalan ini karena mesin politik partainya kurang maksimal.
Media Massa
Selain soal ketokohan, faktor penting lainnya adalah media massa. Capres-Cawapres pasangan Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), Wiranto–Hary Tanoesoedibjo (WIN-HT) pernah membeberkan strategi partainya yang berupaya memenangkan Pemilu 2014 mendatang. Salah satunya, iklan di lima stasiun TV dalam sehari meski harus mengeluarkan kocek senilai Rp 3 miliar.
Pemilik akun “hantu” @TrioMacan2000, yang kerap menuliskan informasi-informasi soal korupsi tokoh dalam kicauannya hari Kamis (10/04/2014) mengatakan, untuk pencitraan, Jokowi selama 2 tahun penuh telah membayar 87% media massa yang semuanya dikontrak, diarahkan guna mendukung pencitraan Jokowi agar electabilitasnya tinggi.
Jika itu benar, sungguh luar biasa biaya yang digunakan untuk mendongkrak pencitraan dan biaya media massa. Figuritas tentu saja memerlukan pencitraan. Dan pencitraan tentu saja memerlukan media. Dan semua itu memerlukan dana yang tidak sedikit.
Tokoh Jokowi pada PDIP misalnya, pencitraannya sudah mulai dilakukan sejak menjadi walikota Solo dan berlanjut hingga menjadi gubernur DKI Jakarta. Disinyalir, pencitaan Jokowi tidak hanya dilakukan oleh PDIP sendiri tapi oleh kalangan konglomeratyang mengambil untung dari ketokohan Jokowi.
Oleh karena itu wajar kemudian apabila Megawati sempat menyebut ada penumpang gelap di partainya dan sempat mencuat adanya dua kubu di internal PDIP, yaitu PDIP Projo dan PDIP Pro-Mega.
Pencitraan tokoh-tokoh ini tidak bisa dilepaskan dari fungsi media. Terlihat jelas pertarungan media dalam mengangkat tokoh-tokoh ini, baik media massa, internet dan televisi. Di antara partai-partai yang ada, partai nasionalis yang paling nangkring di media internet. Terlihat Gerindra dan PDIP cukup mendominasi. Sementara di antara partai Islam kelihatannya Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang cukup mengimbangi partai-partai nasionalis dalam penggunaan media massa.
Namun demikian untuk membangun cintra seorang tokoh tidaklah cukup dengan media massa maupun media internet belaka. Sebab media itu tidak mampu mengakses ke seluruh lapisan masyarakat, terutama masyarakat bawah yang tertinggal. Padahal jumlah mereka sangat signifikan. Maka di sinilah media televisi mempunyai peranan pentingnya.
Pencitraan Aburizal Bakrie (ARB) melalui TV One-nya, sebagai contoh, tidak bisa dipungkiri lagi. Surya Paloh juga menjadi ikon Nasdem melalui Metro TV-nya atau Wiranto dan Hary Tanoesoedibjo melalui MNC Grup-nya. Tidak bisa dipungkiri bahwa kekuatan media televisi sangat berkontribusi besar terhadap pencitraan seorang tokoh tertentu. Sebab, media ini mampu menyelinap hampir ke seluruh rumah-rumah masyarakat hingga ke pedalaman sekalipun. Semakin intens volume pencitraannya, maka semakin kuat daya tarik sang tokoh.*/bersambung halaman berikutnya