Oleh: Imam Nawawi*
PEMERINTAH Provinsi DKI Jakarta bersama Ditlantas Polda Metro Jaya dan Ikatan Motor Indonesia (IMI) mengkaji untuk melegalkan balap liar. Hal ini dimaksudkan untuk mewadahi potensi anak muda yang memiliki bakat membalap. Bahkan, Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, menilai, pelegalan balap liar akan berdampak positif (Republika, 14/01/2016).
Kepala Dinas Perhubungan dan Transportasi (Dishutrans) DKI, Andri Yansyah, pun menyatakan siap mendukung rencana pelegalan balap liar itu, dengan menutup jalan jika memang pelegalan benar dilakukan (Republika, 15/01/2016).
Pelegalan balap liar dengan dalih mewadahi bakat anak muda yang hobi membalap sebenarnya perlu didukung, tetapi tidak dengan cara yang kurang terprogram secara sistematis dan berkesinambungan. Terlebih, dengan cara menutup jalan umum yang merupakan hak dasar warga masyarakat secara umum, yang pada praktiknya nanti boleh jadi akan menimbulkan masalah baru di lapangan.
Setidaknya, legalisasi balap liar ini akan menyita pekerjaan polisi yang semestinya bisa dimaksimalkan pada problem inti masyarakat. Yuke Yurike misalnya, anggota Komisi B DPRD DKI Jakarta itu menyatakan bahwa balap liar mesti dilaksanakan dengan harus diawasi secara ketat.
Pertanyaannya, siapa lagi yang akan mengawasi jika bukan polisi? Sementara angka kriminalitas di DKI saja belum sepenuhnya bisa diatasi dengan baik oleh pihak kepolisian.
Pemprov DKI Jakarta semestinya menilai masalah ini secara adil dan bijaksana. Adil dalam pengertian, betapa masih banyaknya hal mendasar yang perlu dipikirkan solusinya. Seperti pelayanan kesehatan, pendidikan, dan keamanan warga Ibu Kota dalam beraktivitas.
Terjadinya tragedi Sarinah sebetulnya bisa menjadi momentum bagi pemerintah untuk menjamin keamanan di Ibu Kota.
Kemudian, secara bijaksana, Pemprov DKI semestinya tidak serta merta mengambil tindakan cepat dalam mengakomodir aspirasi balap liar dengan segera melegalkannya, tanpa ada perencanaan strategis.
Ada beberapa aspek mendasar yang perlu dipertimbangkan. Mulai dari memikirkan dampak polusi, BBM yang terbuang, kemudian munculnya potensi perjudian, budaya urakan, narkoba, dan perilaku hidup bebas. Termasuk, tidak tepatnya (baca: terbuangnya) anggaran kesehatan untuk menangani pembalap yang mengalami kecelakaan.
Jika pelegalan balap liar ini dipaksakan, dengan tidak mempertimbangkan banyak hal, mungkin sepintas seperti program yang bagus. Tetapi pada hakikatnya pelegalan tersebut tidak lebih dari program prematur yang menggunakan prinsip taking the good from the worst.
Solusi Menyeluruh
Jika memang niat Pemprov DKI mewadahi bakat kaum muda dalam adu balap, mengapa tidak langsung disusun rencana strategis yang menyeluruh. Bukan dengan melegalkan balap liar, sehingga sifat akomodatif ini bisa memberikan nilai tambah bagi pemerintah dan masyarakat secara umum dari berbagai aspek.
Apatah lagi, legalisasi balap liar juga menghendaki ketertiban, mulai dari pendaftaran dan kelengkapan surat izin mengemudi. Artinya, daripada sekadar legalisasi, lebih baik langsung kompetisi dalam bentuk profesi. Mungkin mahal, perlu waktu, tetapi itu jauh lebih solutif ketimbang sekadar ada dan apa adanya.
Acuannya tentu saja pada penyelenggaraan balap motor nomer wahid di dunia, yakni Grand Prix, yang nyata tidak dimulai dari pelegalan balapan liar. Tetapi betul-betul profesi.
Sehingga ke depan, kawula muda yang tergabung dalam program adu balap ini adalah mereka yang profesional, konsisten dan kontinu dalam menjaga kondisi tubuh dan pikiran. Pun mereka bisa terasah dalam menyusun strategi, serta kesiapan dan keahlian dalam membangun team work. Jadi, tidak asal tancap gas dengan keterampilan yang apa adanya. Dengan menerapkan langkah tersebut, dunia otomotif pun akan turut berkembang.
Jika strategi tersebut diambil oleh Pemprov DKI, tentu akselerasi pembangunan manusia dan otomotif semakin nyata dan kian dinamis. Kalau mesti belajar, kita mesti menengok kemampuan Inggris dalam mengelola dan mengemas Barclays Premier League, dimana liga di negeri Ratu Elizabeth itu menjadi tontonan nomor satu di dunia.
Dengan kata lain, jika balap motor di DKI Jakarta dikelola secara sistematis dan berkesinambungan, maka banyak hal yang akan semakin baik; mulai dari adanya wahana baru masyarakat mendapatkan hiburan, hingga pada terbukanya potensi pendapatan luar biasa Pemprov DKI. Karena, balapan yang diselenggarakan mengundang banyak sponsor dan tentu saja berpotensi mengundang tumbuhnya dunia pariwisata.
Tentu akan banyak argumentasi mengemuka. Tetapi, sebagai bangsa yang memiliki cita-cita luhur dan semangat untuk menjadi negeri yang besar dan berpengaruh di dunia, mengapa kita tidak optimis dan bersemangat. Yaitu untuk mewujudkan ide-ide brilian yang dibutuhkan bagi kelangsungan hidup bangsa dan negara, terutama di era Masyarakat Ekonomi ASEAN.
Logikanya, jangan karena mahal dan memakan waktu yang tidak sebentar, maka berjalan apa adanya. Tetapi berpikir secara ideal, berupaya secara maksimal dan terus berbenah untuk menjadi profesional. Sehingga ke depan generasi muda tidak lagi mengenal istilah balap liar.
Pepatah Barat mengatakan, “Siapa yang naik tanpa kelelahan akan turun tanpa kehormatan.” Artinya, program yang dijalankan secara asal-asalan akan berakhir dengan banyak persoalan dan penyesalan. Semoga tidak! Wallahu a’lam.*
Penulis adalah Pemimpin Redaksi Majalah Mulia