BEBERAPA hari ini, ramai soal pemadaman listrik yang menyelimuti wilayah Jabodetabek, hingga di sebagian Pulau Jawa. Seperti biasa, berbagai analisis dan komentar bermunculan dari warganet.
Mulai dari yang serius, memberi solusi, hingga yang sekadar guyonan atau nyinyiran belaka. Ia nyaris menjadi topik yang paling banyak dibicarakan orang saat ini.
Tulisan ini bukan hendak menambah viral berita padamnya listrik di atas. Namun dalam kehidupan manusia, tidak hanya listrik yang kadang bermasalah dengan transmisi alias pengiriman atau penyebaran arus.
Bicara ilmu pun demikian. Ilmu juga punya jaringan, yang terkoneksi dengan perangkat lainnya. Jika ada error di ketersambungan tersebut, maka dijamin ada yang terganggu dan tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Ilustrasi sederhana bisa dilihat pada seutas kabel yang ada di sekelling. Terkadang ada orang yang terkejut hingga melompat kaget gara-gara tersengat arus listrik walau sekejap. Penyebabnya, ia tak menyangka ada aliran listrik pada kabel yang dianggapnya tampak halus dan kecil.
Di tempat berbeda, ada gulungan kabel yang teronggok di pinggir jalan. Meski besar ternyata tak terjadi apa-apa. Sengaja disentuhpun, kabel besar itu tak memberi respon sedikitpun. Akhirnya, kadang gulungan kabel itu jadi wahana bermain anak-anak saja. Kadang dinaiki, diduduki, sampai dilompati kesana kemari.
Sampai di sini, apa yang berbeda di antara keduanya? Jawabnya, ini adalah soal ketersambungan tersebut. Meski kecil atau cuma serabut, tapi saat punya koneksi, maka seutas kabel itu seketika punya power dan berdaya. Namun meski bodinya besar dan punya lilitan panjang kalau terjadi miss connecting, hasilnya tak ada apa-apa.
Lihat saja yang terjadi pada pemadaman listrik. Semua perangkat sudah lengkap namun saat kehilangan transmisi atau aliran arus, nyaris yang dikata perangkat hebat dan canggih itu tak berarti apa-apa tanpa ketersambungan.
Bagaimana dengan ilmu? Iya, jawabnya sama juga. Ilmu tanpa koneksi adab adalah nirmanfaat. Dari yang seharusnya mendatangkan maslahat dan kegunaan bagi orang banyak, bisa berubah menjadi petaka yang dahsyat untuk lingkungan dan orang-orang di sekitarnya.
Ilmu tanpa ketersambungan dengan amal atau amal tanpa terhubung dengan ilmu juga demikian. Apa-apa jadi melenceng akhirnya.
Ibarat anak panah yang melesat. Cepat tapi tidak tepat sasaran. Atau malah bisa jadi anak panah dan busurnya itu hanya jadi hiasan yang dipajang. Keduanya tak berarti apa-apa.
Bagaimana dengan ilmu? Apalagi. Ruh ilmu dalam agama adalah sanad yang jelas. Ilmu yang loss koneksi dengan wahyu sudah pasti loss adab.
Sebab adab adalah kebaikan dan kesantunan yang bersumber dari wahyu. Bukan sekadar slogan sopan, moderat, atau tepo seliro seperti yang biasa digaungkan media-media sekular.
Ilmu juga bukan hanya bermodal kecerdasan akal manusia. Ilmu tidak juga asal akal-akalan manusia atau yang biasa disebut cocoklogi.
Namun ilmu yang benar adalah yang senantiasa tersambung dengan adab dan amal shaleh. Ilmu adalah dorongan iman yang produktif. Ilmu adalah wahyu yang bekerja untuk rahmatan lil alamin dan kaffatan linnas.*
Masykur | Pengajar di Balikpapan