Oleh: Alimin Mukhtar
Gadget, sekarang seolah sudah jadi barang wajib. Selain harga yang semakin murah dan terjangkau, merek dan spesifikasinya pun semakin variatif. Meski demikian, ada satu hal yang sama: perilaku penggunanya.
Akhir bulan lalu, sepanjang perjalanan menuju ke maupun kembali dari Tanah Suci, juga saat di Makkah dan Madinah, kami menyaksikan hal-hal yang nyaris seragam.
Di Bandara Cengkareng, Abu Dhabi, maupun Jeddah saya melihat banyak orang sibuk mencari colokan listrik untuk men-charge baterai gadget. Jika sudah ketemu, tidak sedikit yang kemudian berdiri di situ seraya seirus memandangi layar, mengetik, atau menggeser-geser sesuatu di sana. Berjam-jam mereka seperti itu, tanpa bicara sepatah kata pun dengan orang lain yang berada tepat di sebelahnya dan punya kepentingan sama. Saya lihat, sebagian mereka memang tidak saling kenal dan mungkin berbeda kewarganegaraan.
Di ruang tunggu bandara, hampir semua orang sibuk memainkan gadget mereka masing-masing. Sebagian ada yang selfie, atau minta tolong difotokan, atau menelepon seseorang. Tidak sedikit yang terlihat menyambungkan gadget mereka dengan powerbank. Jelas, dalam situasi ini, wifi menjadi kebutuhan primer. Maklum, banyak yang cuma lewat untuk transit dan tidak punya nomer seluler setempat, atau paket datanya terbatas. Kuasa bandara paham betul hal ini, sehingga akses sinyal wifi gratis dan kuat mudah didapat di setiap bandara.
Bahkan, di Masjid Nabawi dan Masjidil Haram, perilaku pengguna gadget juga nyaris tidak berubah. Jangan heran mendengar ringtone yang sama dengan yang biasa kita dapati di Indonesia, tapi keluar dari gadget seseorang berkulit hitam asli Afrika atau berwajah khas India. Di saat thowaf, saya sering melihat orang menggenggam smartphone yang sama dan setipe, padahal mereka jelas berbeda asal negaranya. Mereka pun selfie dengan perangkat itu, atau potret sana potret sini.
Beberapa kali saya kaget, sebab tiba-tiba terdengar ringtone yang sama persis dengan yang terpasang di handpone. Kaget, sebab handpone berdering di saat shalat berjamaah di dalam dua masjid suci. Tapi, saya kemudian sadar, itu bukan dari hape saya sebab selama di sana nomer hape saya nonaktif. Ternyata, ada orang sebelah yang punya gadget sama dengan milik saya, atau dari tipe yang tidak jauh berbeda. Raut mukanya menunjukkan dia berasal dari salah satu negara di Timur Tengah.
Saya termenung melihat fenomena ini. Seorang kawan berbisik di bandara Abu Dhabi, seraya menunjuk orang-orang dan perilaku mereka bersama gadget-nya, “Ini hebatnya revolusi perangkat komunikasi. Cukup diberi perangkatnya, semua orang di seluruh dunia tiba-tiba mengubah perilakunya. Tanpa paksaan, tanpa retorika, tanpa keributan.”
Saya kemudian berpikir, bagaimana kita bisa mengambil pelajaran dari revolusi gadget ini ke dalam dunia pendidikan dan dakwah? Dapatkah kita menciptakan sesuatu terobosan yang membuat peserta didik dan mad’u (obyek dakwah) sukarela mengubah perilakunya, tanpa keributan dan retorika berlebih?
Saya belum mendapati sesuatu yang seperti ini, di masa sebelumnya. Jutaan orang bisa diubah perilakunya bukan lewat hipnotis maupun tipuan. Semua dalam keadaan sadar dan tetap menjalankan aktivitasnya secara terkendali, namun “bersedia” menuruti suatu life style baru yang “memaksa” mereka berperilaku sama di seluruh dunia. Dua kata dalam tanda kutip ini mungkin juga bisa ditukar tempatnya, namun dengan fakta yang tetap sama.
Kira-kira, apa yang bisa kita lakukan untuk meniru revolusi ala gadget ini, yang memberi sumbangsih signifikan dan terobosan kreatif bagi dunia dakwah dan pendidikan? Saya sedang memikirkannya. Semoga Anda pun demikian.
Saya harap, suatu saat kita bertemu di titik yang sama, atau masing-masing kita diberi ilham berbeda namun sama-sama efektif-efisien dalam rangka memenangkan agama Allah ini. Amin.Wallahu a’lam.*
Penulis pengasuh PP Arahmah-Malang