MANUVER politisi senior negeri, Prabowo Subianto belakangan memang menyita perhatian, pasalnya mantan Danjen Kopassus itu terlihat “mesra” dengan Joko Widodo sebagai pemenang Pilpres 2019. Tidak berhenti di situ, Prabowo juga sowan ke beberapa partai koalisi pemenangan Jokowi-Ma’ruf.
Respons pengamat pun beragam, ada yang menilai biasa, ada yang menilai serius, bahkan ada juga yang menilai tidak etis. Terutama kala mengacu pada konsep demokrasi yang sebenarnya, dimana dalam sebuah negara, diperlukan kehadiran yang namanya oposisi.
Rocky Gerung termasuk yang menilai langkah Prabowo tidak tepat dan dengan gaya khasnya ia mengucapkan sebuah kalimat yang mendorong agar para pendukung Jokowi selama ini mengusir Prabowo yang beroposisi terhadap pemerintahan Jokowi.
Pengamat lainnya bahkan menyatakan jika Gerindra masuk pemerintahan maka demokrasi di negeri ini masuk dalam bahaya.
Pandangan demikian memang ada benarnya, terutama jika mengacu pada sistem demokrasi itu sendiri yang menghendaki oposisi dalam berlangsungnya sebuah pemerintahan, guna tetap terwujudnya check and balance.
Namun demikian, benarkah manuver yang dilakukan Prabowo akan menjadikan pemerintahan Jokowi-Ma’ruf lima tahun mendatang semakin buruk karena asumsi dan konsistensi sistem demokrasi tidak diterapkan sebab Prabowo tidak memilih menjadi oposisi?
Atau, justru manuver ini merupakan bentuk pertaruhan reputasi yang cukup berani dilakukan oleh seorang Prabowo yang sempat dekat dan hormat kepada para habaib dan ulama?
Benarkah pria yang dikenal dengan kalimat akan timbul dan tenggelam dengan rakyat itu telah kehilangan idealisme dan kecintaannya kepada negeri?
Secara umum, logika manusia bisa memahami bahwa untuk sebuah kemajuan bangsa dan negara serta rakyat Indonesia, maka semua elemen, termasuk individu, lebih-lebih partai politik dapat berkiprah secara langsung dengan kapasitas dan keahliannya. Dalam hal ini, apakah harus melalui sistem demokrasi itu sendiri atau melalui inisiatif pribadi sepenuhnya dapat dilakukan sejauh memang didasari niat mulia dan demi kemajuan bangsa dan negara.
Dalam kata yang lain, tidak patut rasanya, Prabowo dengan sikap politiknya yang belakangan diambil, dinilai serta-merta negatif dan (pasti) destruktif hanya karena tidak mengambil posisi oposisi. Fungsi check and balance sebenarnya bisa hadir di dalam kubu pemerintahan sendiri jika memang komposisi kabinet yang ada tidak semata-mata didasari oleh kepentingan pragmatis, melainkan juga pemikiran jangka panjang untuk kemajuan Indonesia.
Jika ditimbang secara sederhana, tentu saja memajukan bangsa Indonesia lebih mudah dilakukan jika berada di dalam pemerintahan daripada berada di luar pemerintahan (menjadi oposisi). Sekalipun, hal ini juga tidak bisa digeneralisir. Tetapi, jika melihat sejarah partai oposisi selama ini di Indonesia, umumnya hanya mampu melakukan kritik tajam, namun saat mendapat giliran berkuasa, ternyata tak mampu juga konsisten dengan sikap-sikap politiknya selama menjadi oposisi.
Sisi berikutnya, benarkah Prabowo tidak melakukan perhitungan matang dengan manuver politiknya belakangan ini? Tentu saja Prabowo menyadari bahwa pilihan politiknya belakangan ini akan mengundang beragam reaksi dari publik. Akan tetapi, mengapa hal itu justru tetap dipilihnya, tentu bukan tanpa latar belakang dan tujuan yang jelas. Terlebih andai pun dirinya benar-benar masuk dalam koalisi pemerintahan konsistensinya semakin dinantikan oleh rakyat.
Mengacu pada hal tersebut, maka terobosan Prabowo tidak sepenuhnya negatif, justru pada sebagian pihak langkah tersebut memberikan nuansa baru dan tentu saja harapan akan kontribusi Prabowo secara lebih konkret bagi rakyat Indonesia. Sekalipun, tidak sedikit yang atas itu semua menjadi distrust kepada Prabowo.
Sekarang, bola sudah di tangan Prabowo, akankah dia konsisten dengan kepribadiannya, sehingga terjawablah teka-teki yang berkeliaran. Atau sebaliknya, Prabowo benar-benar telah kehilangan jati dirinya.
Mengkritisi Demokrasi
Prabowo yang berhasil menyita perhatian publik dan mengundang teka-teki luas banyak kalangan secara tidak langsung membuka ruang bagi semua pihak untuk memandang demokrasi secara lebih kritis.
Mungkin tidak sampai pada tahap demokrasi harus dibatalkan, tetapi apakah demokrasi di Indonesia harus ideal atau mungkin sama persis dengan di Amerika Serikat yang konsisten dengan konsep oposisi. Kalau pun dikritisi secara lebih mendalam, maka itu sah-sah saja sebagai inisiatif bersama untuk sampai pada tujuan utamanya kita berbangsa dan bernegara, yakni kesejahteraan rakyat.
Kini, mungkin saatnya kita melihat secara cermat, apa sebenarnya yang akan dilakukan oleh para wakil rakyat, politis, elite, dan tentu saja apa yang akan jadi pilihan kebijakan Prabowo ke depan.
Jika memang mengarah pada kesejahteraan rakyat, maka itu jauh lebih penting daripada sekadar konsisten dengan komposisi koalisi pemerintahan dan oposisi. Sebab, baik partai yang di pemerintahan dan oposisi semua dipilih oleh rakyat, maka sudah sepatutnya mereka bersatu mengabdikan diri untuk kepentingan rakyat. Titik.*
Imam Nawawi | Sekjen Syabab Hidayatullah