“ISLAM KTP”. Itulah sebutan yang familiar di masyarakat, untuk mereka yang mengaku Muslim, tapi tak mengamalkan perintah-perintah dalam Islam. Bahan perilakunya sangat jauh dari tuntunan Islam. Menyelisihi. Tapi, kalau ditanya status agama, dengan bangga akan menjawab:
“Saya Muslim!”
Tentu sangat riskan, bila status “Islam KTP” ini terus menyeruak. Bukan saja merugikan pihak yang bersangkutan secara pribadi. Sebagai kekuatan jamaah, umat Islam tidak akan bisa memetik manfaat apapun dari mereka. Bahkan berpotensi merugikan, karena berpeluang mencoreng-moreng keindahan Islam dan umat Islam itu sendiri.
Persis seperti yang dituahkan oleh seorang ‘alim asal Mesir; Syeikh Muhammad Abduh; “al-Islamu mahjubun bil muslimin” (Kemuliaan Islam ditutupi oleh perilaku –oknum- orang Islam itu sendiri).
Nampaknya kondisi inilah yang tengah dialami umat Islam masa kini. Khususnya di Indonesia. Berpenduduk mayoritas Muslim. Bahkan terbesar di dunia. Tapi nilai-nilai Islam nyaris dikesampingkan. Khususnya pada aktivitas perpolitikan, ekonomi, budaya, dan seterusnya.
Minus Kesadaran
Penyebab mendasar munculnya kelompok Islam semisal ini, karena tidak adanya kesadaran dalam berislam. Jadi mereka kurang memahami esensi dari beragama. Pahamnya hanya kulit luaran saja. Tidak masuk ranah nilai-nilai. Akibatnya, mereka melakukan ritual-ritual keislaman. Cuma tidak memiliki dampak dalam kehidupan. Bahkan menyelisihi.
Misal, mereka melaksanakan shalat, zakat, puasa, bahkan haji. Tapi ketika berada di luar rutinitas ibadah itu, akrab pula dengan kemaksiatan. Istilah anak kekinian; STMJ. Yang artinya; Shalat Terus Maksiat Jalan.
Seorang Muslim/Mukmin yang sudah tumbuh kesadaran untuk berislam secara kaffah, sudah barang tentu akan menaati segala tuntunan agama. Dengan segala konsekuensinya. Tidak peduli bila harus menuntut pengorbanan, baik itu tenaga, harta, bahkan nyawa sekalipun.
Kehidupan mereka pun dilatari oleh nilai-nilai keislaman, yang menjunjung tinggi konsep-konsep keluhuran budi. Seperti shiddiq (jujur), amanah, tabligh, dan fathanah. Tidak akan pernah berperilaku kebalikannya. Semisal berbohong, berdusta, bertindak bodoh, dan seterusnya.
Itulah cermin orang-orang beriman masa lalu. Ketika mereka mengemban amanah, sedikitpun tidak ada niatan untuk berperilaku curang. Bahkan mereka lebih memilih untuk hidup kekurangan, demi menjaga diri dari kegelinciran.
Begitu pula dalam keseharian. Mereka berusaha untuk tidak berbuat durja kepada sesama. Dan apabila terpancing, maka secepat kilat akan meminta maaf kepada siapa yang dizalimi, dan bertekad tidak akan mengulangi. Sebab mereka sadar, bahwa pertanggungjawaban di akhirat lebih dahsyat. Dan mereka tidak ingin merugi pada hari itu. Maka keikhlasan saudara untuk memaafkan, menjadi perkara yang mereka buru ketika merasa khilaf.
Tengoklah apa yang terjadi pada Abu Dzar, ketika beradu mulut dengan Bilal. Karena tersulut emosi, beliaupun memanggil Bilal dengan sebutan ‘anak wanita berkulit hitam.’ Bilal tidak terima, sehingga melaporkannya kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam.
Menyadari kekeliruannya, Abu Dzar pun bergegas menemui Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam. Dengan deraian air mata, ia meminta maaf, dan memohon agar Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam sudi, memintakan ampun kepada Allah.
“Sungguh dalam dirimu masih ada sifat jahiliah!” tegur Rasul keras kepada Abu Dzar.
Demi memohon keikhlasan dan maaf kepada Bilal, Abu Dzar meletakkan pipinya di atas tanah. Seraya berkata; “Demi Allah, wahai Bilal! Aku tidak akan mengangkat pipiku, kecuali engkau menginjaknya dengan kakimu. Engkaulah orang mulia dan akulah orang hina.”
Bilal nan yang berbudi luhur pun memaafkan Abu Dzar. Keduanya berpelukan sambil bercucuran air mata. Itulah cermin pribadi yang telah menjadikan Islam sebagai tuntunan kehidupan. Begitu elok untuk dinikmati. Kesadaran untuk kembali pada jalan yang benar itu mudah ditempuh. Bandingkan dengan kondisi kekinian. Pada sebagian umat Islam. KTP bertuliskan Islam. Tapi tabiat menyerupai kaum jahiliah.
Bangun Kesadaran
Sejak awal terbitnya, Islam telah menuntun umat ini untuk berislam secara penuh kesadaran. Bukan ikut-ikutan. Itulah salah satu hikmah diturunkannya surat al-Alaq 1-5, yang perintah utamanya adalah membaca. Iqra’ (bacalah). Ini mengandung pesan, bahwa untuk berislam yang benar itu harus berbasis pada ilmu. Dan ilmu itulah yang akan menumbuhkan kesadaran untuk berislam secara kaffah.
Dengan melakukan banyak aktivitas membaca, baik itu terhadap ayat-ayat qauliah (al-Qur’an) maupun kauniah (ciptaan-Nya), bisa menumbuhkan kesadaran akan ke-Mahabesaran Allah. Sekaligus, menyadari kelemahan diri. Bahwa manusia makhluk tak berdaya. Sangat bergantung kepada-Nya.
Inilah hasil yang akan dicapai oleh mereka yang rajin melakukan aktivitas membaca. Dengan catatan, bahwa basisnya semata mencari ridha Allah (bismi rabbik). Bukan yang lainnya. Apalagi sekadar materi.
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan selisih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.” (al-Imran: 190)
Buah lainnya. Dengan iqra’ ini, akan melahirkan antusiasme untuk berperilaku secara Islami dalam segala aspek kehidupan. Bahkan tak sekadar itu. Ia pun terpanggil untuk mengajak orang lain hidup berdasarkan nilai-nilai Islam. Karena menemukan keindahan konsep hidup nan sempurna di dalamnya. Penuh keadilan. Syarat akan nilai-nilai luhur, yang itu merupakan fitrah manusia.
Lihatlah pribadi Umar. Betapa beliau berubah 180 derajat perilakunya, setelah ber-iqra’. Dulunya ia begitu benci kepada Isam dan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam. Bahkan berazam untuk membunuh beliau. Tiba-tiba beralih menjadi pembela utama Islam. Sangat murka kepada mereka yang melalaikan ajaran Islam apalagi sampai melecehkan.
“Sesungguhnya kami adalah kaum yang Allah muliakan dengan Islam, maka tidaklah kami mencari kemuliaan dengan yang selainnya,” itulah ucapan yang sekaligus menjadi keyakinan beliau.
Dalam kasus kekinian. Kita dapati orang-orang yang masuk Islam yang berangkat dari iqra’ itu memiliki militansi sangat luar biasa terhadap Islam. Ghirah mereka untuk hidup secara Islami, dan ruhul jihad mereka dalam menyebarkan Islam sangat luar biasa besar.
Poinnya. Untuk menumbuhkan semangat diri dan umat ini memiliki ghirah keislaman yang kuat, maka haruslah diantar untuk gemar meng-iqra’-i ayat-ayat Allah.
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menyiptakan. Dia telah menyiptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha Mulia. Yang mengajar (manusia) dengan pena. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahui.” (al-Alaq: 1-5). Wallahu ‘Alamu Bish-Shawab.*
Khairul Hibri | Anggota PENA, Pengurus Syabab Jawa Timur