Oleh Bahrul Ulum*
عن أَبي نَجيحٍ العِرباضِ بنِ سَارية رضي الله عنه قَالَ: وَعَظَنَا رسولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم مَوعظةً بَليغَةً وَجِلَتْ مِنْهَا القُلُوبُ، وَذَرَفَتْ مِنْهَا العُيُونُ، فَقُلْنَا: يَا رسولَ اللهِ، كَأَنَّهَا مَوْعِظَةُ مُوَدِّعٍ فَأوْصِنَا، قَالَ: أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللهِ، وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإنْ تَأمَّر عَلَيْكُمْ عَبْدٌ حَبَشِيٌّ
Dari Abu Najih al-‘Irbadh bin Sariyah RA, katanya: “Rasulullah SAW pernah memberikan wejangan kepada kita semua, yaitu suatu wejangan yang mengesankan sekali, hati dapat menjadi takut karananya, mata pun dapat bercucuran. Kita lalu berkata: “Ya Rasulullah, seolah-olah itu adalah wejangan seseorang yang hendak bermohon diri. Oleh sebab itu, berilah wasiat kepada kita semua!” Nabi SAW bersabda: “Saya memberi wasiat kepada kalian agar tetap bertakwa kepada Allah ‘Azza wa jalla, tetap mendengar dan taat walaupun yang memerintah kalian seorang hamba sahaya (budak)”.” (Riwayat Abu Daud dan at-Tirmidzi, Hadits Hasan Shahih).
Muqadimah
Hidayatullah.com—Persoalan ketaatan kepada pemimpin sudah diwasiatkan oleh Rasulullah SAW pada akhir hidup beliau. Rasulullah SAW menegaskan, setiap Muslim agar taat kepada pemimpinnya meski berasal dari kalangan budak.
Ketaatan kepada pemimpin memiliki arti kemanusiaan dan sekaligus ketuhanan karena hal itu perintah Allah SWT.
Berdimensi kemanusiaan karena ketaatan tersebut menyebabkan kedamaian, persatuan dan keteraturan sosial. Sementara menentang pemimpin bisa berakibat perpecahan dan pertumpahan darah, dan sebagainya.
Para ulama sepakat, hukum taat kepada pemimpin atau ulil amri adalah wajib. Kaum Muslimin tidak diperbolehkan memberontak ulil amri, meskipun dalam kepemimpinannya sering berlaku zalim. Ini didasarkan pada firman Allah SWT:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَطِيْعُوا اللّٰهَ وَاَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَاُولِى الْاَمْرِ مِنْكُمْ
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.” (An-Nisa’[4]: 59).
Hanya saja, ketaatan kepada pemimpin bukan berarti tanpa reserve dan sikap kritis. Sebab, Allah SWT melarang manusia taat kepada pemimpin yang melanggar perintah-Nya. Pemimpin tidak lain merupakan representasi wakil Allah SWT dalam urusan duniawi agar visi memakmurkan bumi dan penduduknya dapat dilakukan melalui ka na yang teratur, tertib, berkeadilan dan ketaatan.
Makna Hadits terkait Pemimpin
Secara zahir (tekstual) Hadits ini memerintahkan umat Islam taat kepada pemimpin meski mereka bermaksiat kepada Allah SWT dan tidak menyuruh kita untuk berbuat maksiat kepada Allah SWT. Ini berdasar sabda Nabi SAW dari Hudzaifah bin Al-Yaman. Nabi SAW bersabda,
يَكُونُ بَعْدِى أَئِمَّةٌ لاَ يَهْتَدُونَ بِهُدَاىَ وَلاَ يَسْتَنُّونَ بِسُنَّتِى وَسَيَقُومُ فِيهِمْ رِجَالٌ قُلُوبُهُمْ قُلُوبُ الشَّيَاطِينِ فِى جُثْمَانِ إِنْسٍ ». قَالَ قُلْتُ كَيْفَ أَصْنَعُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنْ أَدْرَكْتُ ذَلِكَ قَالَ « تَسْمَعُ وَتُطِيعُ لِلأَمِيرِ وَإِنْ ضُرِبَ ظَهْرُكَ وَأُخِذَ مَالُكَ فَاسْمَعْ وَأَطِعْ
“Nanti setelah aku ka nada seorang pemimpin yang tidak mendapat petunjukku (dalam ilmu) dan tidak pula melaksanakan sunnahku (dalam amal). Nanti ka nada di tengah-tengah mereka orang-orang yang hatinya adalah hati setan, namun jasadnya adalah jasad manusia.” Aku berkata, “Wahai Rasulullah, apa yang harus aku lakukan jika aku menemui zaman seperti itu?” Nabi SAW bersabda, ”Dengarlah dan taat kepada pemimpinmu, walaupun mereka menyiksa punggungmu dan mengambil hartamu. Tetaplah mendengar dan taat kepada mereka.” (Riwayat Muslim).
Menurut Ibnu Abi ‘Izz, hukum mentaati ulil amri adalah wajib walaupun mereka berbuat zalim. Karena kalau keluar dari ketaatan kepada mereka akan menimbulkan kerusakan yang berlipat ganda dibanding dengan kezaliman penguasa itu sendiri. Bahkan, bersabar terhadap kezaliman mereka dapat melebur dosa-dosa dan akan melipat gandakan pahala. Allah Ta’ala tidak menjadikan mereka berbuat zalim selain disebabkan karena kerusakan yang ada pada diri kita juga. Ingatlah, yang namanya balasan sesuai dengan amal perbuatan yang dilakukan (al jaza’ min jinsil ‘amal).
Oleh karena itu, hendaklah kita bersungguh-sungguh dalam beristighfar dan tobat serta berusaha mengoreksi amalan kita. Apabila rakyat menginginkan terbebas dari kezaliman seorang pemimpin, maka hendaklah mereka meninggalkan kezaliman. (Syarh Aqidah Ath-Thahawiyah, hal. 381).
Adapun jika pemimpin memerintahkan bermaksiat kepada Allah SWT, maka kita dilarang mendengar dan mentaati mereka. Dalam hal ini Rasulullah SAW bersabda, “Tidak ada kewajiban taat dalam rangka bermaksiat (kepada Allah). Ketaatan hanyalah dalam perkara yang makruf (bukan maksiat).” (Riwayat al-Bukhari).
Nabi SAW juga menegaskan,
عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ ، فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ ، مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِمَعْصِيَةٍ ، فَإِذَا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلاَ سَمْعَ وَلاَ طَاعَةَ
“Seorang Muslim wajib mendengar dan taat dalam perkara yang dia sukai atau benci selama tidak diperintahkan untuk bermaksiat. Apabila diperintahkan untuk bermaksiat, maka tidak ada kewajiban mendengar dan taat.” (Riwayat al-Bukhari).
Baca juga: Amanah Menjadi Pemimpin
Taati Pemimpin Adil
Tugas pemimpin dalam Islam yaitu menciptakan ketentraman dan ketertiban dalam hidup ini. Karena itu, pemimpin memiliki tanggung jawab yang berat. Sebab, tentramnya tatanan suatu masyarakat banyak dipengaruhi oleh karakter pemimpinnya. Pemimpin yang lalim, curang, suka menipu rakyatnya, berarti secara tidak langsung ia telah berbuat kekacauan dan kerusakan di bumi ini.
Jika ada pemimpin seperti itu, Islam memerintahkan agar menasihatinya diam-diam dan dengan cara yang baik dan bijak. Namun, ketika nasihat tersebut tidak diindahkan, Rasulullah SAW pun memberikan motivasi agar mengubah kemungkaran penguasa dengan cara yang tegas.
Dari Abu Said al-Khudri RA bahwa Rasulullah SAW bersabda:
أَفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ عَدْلٍ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ أَوْ أَمِيرٍ جَائِرٍ
“Jihad yang paling utama adalah mengutarakan perkataan yang adil di depan penguasa atau pemimpin yang zalim.” (Riwayat Abu Daud, Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad).
Kemudian ketika usaha tersebut tidak dihiraukan lagi, Rasulullah SAW mengingatkan umatnya untuk menjauhinya. Mereka juga dilarang mendekatinya, apalagi membenarkan tindakan zalim yang dilakukan. Sebab, ketika seseorang tetap mendekati pemimpin tersebut dan membenarkan apa yang dilakukannya, akan terancam keluar dari lingkaran golongan umat Nabi SAW. Mereka tidak akan bisa mendatangi telaganya nanti di Hari Kiamat.
Rasulullah SAW bersabda, ”Akan ada setelahku nanti para pemimpin yang berdusta. Barangsiapa masuk pada mereka lalu membenarkan (menyetujui) kebohongan mereka dan mendukung kezaliman mereka, maka dia bukan dari golonganku dan aku bukan dari golongannya, dan dia tidak bisa mendatangi telagaku (di Hari Kiamat). Dan barangsiapa yang tidak masuk pada mereka (penguasa dusta) itu, dan tidak membenarkan kebohongan mereka, dan (juga) tidak mendukung kezaliman mereka, maka dia adalah bagian dari golonganku, dan aku dari golongannya, dan ia akan mendatangi telagaku (di Hari Kiamat).” (Riwayat Ahmad dan An-Nasa’i).
Begitulah sikap umat Islam kepada pemimpin. Semoga bermanfaat.*
*Pengajar di STAIL Hidayatullah