Oleh: Amran Nasution *
Bush Sebagai Penjahat Perang
Hidayatullah.com–Apalagi pemberitaan surat kabar betul-betul menghasut masyarakat. Profesor Mamdani mengambil contoh tulisan kolomnis pemenang dua penghargaan Pulitzer, Nicholas D. Kristof di koran utama The New York Times. Pada 24 Maret 2004, Kristof menulis, di Darfur terjadi pembersihan etnik (etnic cleansing), orang Sudan Arab yang memerintah mengusir paksa 700.000 orang Sudan Afrika hitam dari perkampungan mereka.
Hanya tiga hari kemudian, di The New York Times, 27 Maret 2004, Kristof meralat tulisannya. Bukan etnic cleansing yang terjadi, tapi genosida (genocide) atau pemusnahan manusia. Pemerintahan Arab Sudan menghabisi suku Afrika hitam: Zaghawa, Massalliet, dan Fur. Dia menaksir tiap minggu seribu orang terbunuh.
Angka korban juga berubah-ubah dengan mencolok. Mula-mula di The New York Times, 16 Juni 2004, Kristof menulis jumlah korban meninggal 320.000. Lalu angka itu menurun menjadi antara 70.000 sampai 220.000 orang (23 Februari 2005), kemudian meloncat menjadi 400.000 orang (3 Mei 2005), untuk turun kembali menjadi 300.000 (The New York Times, 23 April 2006).
Selisih sampai 100.000 nyawa manusia mestinya kan bukan soal sepele untuk koran profesional semacam The New York Times. Nyatanya itulah yang terjadi. Padahal menurut Penuntut ICC, 14 Juli lalu, korban meninggal di Darfur hanya 35.000 orang, dengan 2,5 juta pengungsi (lihat The Independent.co.uk, 15 Juli 2008).
Yang menarik, setiap kali angka korban berubah-ubah tak pernah diketahui apa dasarnya. Sebagian besar angka itu pasti salah, atau jangan-jangan semua salah. Tapi ia telah membuat bulu roma pembaca bergidik. Sangat mengerikan. Itulah sebenarnya yang terjadi dengan tampilan angka-angka tak bertanggung jawab dari kolomnis Nicholas D.Kristof.
Kampanye besar-besaran terjadi di New York, termasuk melalui iklan di surat kabar, agar Amerika segera bertindak di Darfur. Dari Amerika Serikat isu Darfur merebak ke Eropa, kemudian menggerakkan Dewan Keamanan PBB. Dari Dewan Keamanan kasus masuk ke ICC, yang akhirnya mengeluarkan perintah menangkap Presiden Sudan Umar Hasan Al-Basyir (media asing menyebutnya Omar Hasan al-Bashir).
Perintah itu tentu membuat Pemerintahan Presiden Bush bergembira. Itu terlihat dari sambutan gembira Sean McCormack, Juru Bicara Departemen Luar Negeri Amerika Serikat. Jelas Amerika Serikat mendukung perintah ICC.
Padahal menurut Madeline Morris, Profesor di Duke Law School, ‘’Pemerintah Amerika selama ini konsern untuk membebaskan para pejabatnya, terutama Presiden, dari jangkauan yurisdiksi pengadilan itu.’’ Artinya, dalam soal eksistensi ICC sikap Amerika mendua: Presiden Bush tak boleh disentuh ICC, Presiden al-Bashir, silahkan saja.
Untuk diketahui sejumlah negara di antaranya China, India, Israel, dan Amerika Serikat, sampai sekarang tak mengakui eksistensi ICC. Sebenarnya, 31 Desember 2000, Presiden Clinton sudah sempat menandatangani Statuta Roma, mendukung ICC. Tapi penandatanganan dilakukan menjelang ia akan menyerahkan jabatan kepada Bush yang sudah terpilih menggantikannya. Statuta Roma kemudian tak pernah mendapat ratifikasi Senat. Malah belakangan Presiden Bush mencabut tandatangan itu.
Selain mengadili pelanggaran HAM berat, ICC bisa mengadili kasus agresi. Karena itulah, dua tahun lalu, penyerbuan Amerika Serikat ke Iraq, sempat dibahas di sana, untuk kemudian hilang begitu saja, dengan dalih mereka tak berhak menyelidiki kejahatan perang yang terjadi. Agaknya mereka malu mengaku takut sama Amerika.
Memang para pejabat Gedung Putih kini lagi direpotkan berbagai masalah HAM. Sebuah laporan Palang Merah Internasional, Red Cross, tahun lalu, menyebutkan bahwa Central Inteligence Agency (CIA), badan intelijen Amerika Serikat, telah melakukan penyiksaan (torture) terhadap tahanan Al-Qaidah, Abu Zubaydah dan kawan-kawan.
Abu Zubaydah dikurung di dalam boks kecil, sehingga harus melipat posisi tubuhnya seperti janin di dalam rahim. Ia mengalami waterboarding, hidung dan mulut disiram air sehingga merasa seakan tenggelam, tak bisa bernapas. Itu diberikan tiga kali sehari. Sejumlah temannya dibenturkan ke tembok.
Temannya, Khalid Shaikh Mohammad, yang disebut-sebut sebagai perencana serangan teror 11 September 2001, selama sebulan dibiarkan bertelanjang bulat. Ia dipanggang di dalam ruang yang sangat panas sehingga sulit bernapas. Lalu dipindah ke ruang dingin sehingga menyakiti seluruh tubuhnya.
Pokoknya berbagai penyiksaan dialami tahanan yang kini berada di penjara illegal di Teluk Guantanamo. Dan bukti-bukti berupa kesaksian, sudah dimilik Red Cross. Semua itu ditulis di dalam buku yang baru terbit di Amerika, berjudul: The Dark Side: The Inside Story of How the War on Terror Turned Into a War on American Ideals (Sisi Gelap: Kisah Rahasia Bagaimana Perang Melawan Teror Berubah Menjadi Perang Melawan Cita-Cita Amerika). Buku itu ditulis Jane Mayer, seorang wanita penulis yang banyak membahas pemberantasan terorisme di majalah The New Yorker.
Sebagaimana ditulis di dalam buku itu, yang dikutip The Washington Post 12 Juli lalu, sejak tahun 2002, sebenarnya seorang analis CIA sudah mengingatkan Pemerintah bahwa lebih sepertiga tahanan di Teluk Guantanamo telah salah tangkap. Tapi Gedung Putih menolak mentah-mentah temuan itu. ‘’Tak akan ada peninjauan ulang. Presiden sudah memutuskan mereka semua adalah musuh perang (enemy combatants),’’ kata David Addington, staf Wakil Presiden Dick Cheney.
Lebih dari itu, penulis melihat semua tindak penyiksaan seperti waterboarding atau berbagai perlakuan lainnya kepada para tahanan merupakan keputusan pemerintah yang diketahui Presiden Bush dan Wakil Presiden Dick Cheney.
‘’Untuk pertama kali dalam sejarah, Pemerintah Amerika Serikat secara resmi melakukan penyiksaan fisik dan psikis terhadap tahanan, sehingga penyiksaan menjadi hukum resmi,’’ sindir Jane Mayer di dalam The Dark Side. Artinya, dengan perlakukan itu para pejabat Pemerintahan George Bush bisa diajukan ke pengadilan internasional sebagai penjahat perang.
Baik ditunggu, apa kelak George Bush, Dick Cheney, Donald Rumsfeld, bisa diadili ICC seperti disebutkan buku itu. Dengan demikian ICC tak cuma mengadili kejahatan perang dan HAM khusus untuk Afrika, seperti yang sudah terbukti selama ini.
Penyerangan Iraq, penjara illegal Guantanamo, penjara rahasia CIA, akhirnya tak mungkin bisa terus-menerus ditutup-tutupi. Itu membuat Pemerintahan Bush adalah pelanggar HAM nomor satu di muka bumi.
Anehnya para tokoh LSM di Indonesia masih bersedia menerima guyuran dollar dari pemerintah yang tangannya berlumur darah. Sama anehnya, Presiden SBY bisa ditekan dalam soal HAM oleh anggota Kongres Amerika yang sebenarnya harus bertanggung jawab dalam penyerangan Iraq dan penjara Guantanamo. [bagian kedua-habis/hidayatullah.com]
* Penulis Direktur Institute for Policy Studies