Oleh: Syaiful Anshor
SOAL Ujian Nasional (UN) tak ubahnya seperti penjahat kelas kakap. Lihat saja, ketika didistribusikan ke Polsek di beberapa daerah untuk disimpan sementara saja, beberapa polisi menjaga dengan ketat. Bahkan ada yang membawa senjata laras panjang. Betul-betul mengerikan. Seolah-olah, soal UN seperti perompak Somalia.
Seperti yang terjadi di Jawa Timur. Polda Jatim kabarnya mengerahkan 1.100 personel kepolisian dan beberapa intelijen. Tim ini ditugaskan untuk memantau kelancaran dan keamanan proses UN. Kata Polda Jatim, seperti dilansir Surabaya Post Selasa lalu, hanya anggota yang memiliki nama sama yang bisa mengambil naskah UN.
Padahal, seperti diketahui, UN bukanlah penjahat, perompak ataupun pembunuh berdarah dingin yang harus diwaspadai. UN tidak lain sekedar lembar soal beberapa mata pelajaran yang sifatnya rahasia. Tak ubahanya seperti ujian pada umumnya. Hanya bedanya, UN menjadi tolok ukur kelulusan siswa. Setidaknya, UN jadi titik kelulusan siswa setelah tiga tahun belajar di bangku sekolah.
Kendati demikian, UN bagi siswa dan sekolah hal yang sangat penting. Bagi sekolah, UN adalah pertaruhan kridebilitas sekolah. Sebab, jika di sekolahnya ada siswa yang tidak lulus, wajah sekolah akan tercoreng. Kelak, orang akan berfikir dua kali untuk memasukkan anaknya ke sekolah tersebut. Lebih-lebih bagi siswa, sangat takut jika tidak lulus UN. Selain harus menanggung malu juga harus mengulang ujian lagi. Karena itu, baik siswa maupun sekolah harus bekerja keras demi kelulusan.
Tetapi, sayangnya dalam hal ini, tidak sedikit sekolah maupun siswa yang melakukan cara-cara kotor. Melakukan plagiarisme kolektif dan jual beli jawaban. Bahkan, hal itu dilakukan sistematis oleh pihak sekolah. Kendati jika ketahuan seperti yang terjadi di tahun-tahun lalu, pihak sekolah maupun siswa tidak mau mengaku. Kejujuran memang mahal dan langka.
Pantas saja jika soal UN diperlakukan bak tahanan: dikawal ketat bahkan menurunkan intelijen. Sebab, jika tidak demikian, tangan-tangan jahil membobol soal-soal tersebut lalu menjualnya ke pihak sekolah dan siswa. UN seperti rekening gendut yang bisa dibobol. Prakteknya setali tiga uang dengan tindakan korupsi.
Mendiknas, Muhammad Nuh pun mengkhawatirkan jika hal itu terjadi. Menteri mantan rektor ITS Surabaya ini tidak menampik jika menjelang UN banyak oknum yang cari uang dengan cara-cara kotor. Biasanya kata Nuh, ada orang yang suka jual lembar soal. Katanya 50 persen persis UN. Harga yang dipatok bisa sampai Rp 1 juta lebih. Bahkan ada juga yang mengiming-imingi akurasi naskah hingga 75 persen bahkan 100 persen.
Jika memang ada dan benar, patut dipertanyakan dari mana jawaban itu didapat. Padahal, cetakan naskah UN yang menelan anggaran milyaran rupiah itu telah sesuai Standar Operasional Program. Kalau begitu, patut dicurigai jika ada kongkalikong antara pihak percetakan dengan sekolah atau pihak-pihak lainnya.
Meski UN dijamin tidak bocor, tapi di Medan dikabarkan ada siswa yang dapat instruksi untuk menyebarkan jawaban dari guru. Seperti diberitakan Tribunnews Sabtu lalu, seorang pelajar SMA swasta mengaku akan dapat jawaban dari seorang guru yang akan diberikan perwakilan siswa melalui pesan singkat (SMS).
Di Medan, modus kecurangan seperti ini bukan kali pertama. Tahun 2010 juga demikian. Hal itu terungkap Komunitas Air Mata Guru yang melakukan investigasi. Ditemukan, pihak sekolah menyuruh siswa datang sekitar pukul 06.30 WIB. Sebelum ujian, peserta UN yang sudah mendapat jawaban melalui SMS akan membuatnya dalam sobekan kertas yang akan dibuka saat ujian.
Oknum di Medan ini jika ditelusuri juga tidak sedikit terjadi di daerah lain. Dan, ini bukti jika ketatnya penjagaan dan kontrol tidak berpengaruh signifikan. Senjata laras panjang polisi tak bisa mencegah pembobolan soal. Betul-betul tragis.
Embrio Korupsi
Plagiarisme dan jual beli jawaban atau apapun caranya dalam UN hal yang tidak bisa dibenarkan. Sebab, hal itu cara ilegal untuk mendapatkan nilai kelulusan yang bukan haknya. Siswa jadi terbiasa mendapatkan sesuatu dengan cara yang tidak sah. Dan, secara tidak langsung, siswa sudah berani menggadaikan kejujurannya demi kelulusan.
Setali tiga uang dengan sekolah. Institusi yang seharusnya menjadi benteng moral generasi depan bangsa ini justru malah ikut menyuburkannya hanya karena kepentingan pragmatis semata. Wajar jika mental siswa terbentuk menjadi mental plagiarisme yang tidak mau belajar keras. Padahal, beberapa dekade ke depan mereka yang akan menjadi pemimpin bangsa.
Karena itu, disadari atau tidak, plagiarisme UN menjadi benih-benih korupsi. Sejak dini, siswa terbiasa mendapatkan dengan cara yang tidak halal. Sama dengan korupsi. Uang yang dikorupsi itu bukanlah haknya. Tetapi, dilakuakn dengan cara seperti money laundry, mark up dan cara bualan lainnya.
Apalagi, dalam UN nilai kognisi siswa yang hanya jadi tolok ukur kelulusan. Sedangkan afeksi dan moral tidak jadi syarat kelulusan. Jadi, seorang siswa berpengarai buruk bisa lulus jika nilai UN-nya bagus. Penilaian ini sebenarnya bertentangan dengan cita-cita pendidikan yang ingin membentuk insan paripurna (insan kamil).
Jika demikian, jangan berharap kelak mereka akan jadi pemberatas korupsi. Cita-cita bangsa ini jadi negeri bebas korupsi pun hanya utopia belaka. Sebab, dunia pendidikan kita sedang mencetak para tikus berdasi.
Peminat masalah pendidikan, tinggal di Surabaya