Normal 0 MicrosoftInternetExplorer4 /* Style Definitions */ table.MsoNormalTable {mso-style-name:”Table Normal”; mso-tstyle-rowband-size:0; mso-tstyle-colband-size:0; mso-style-noshow:yes; mso-style-parent:””; mso-padding-alt:0in 5.4pt 0in 5.4pt; mso-para-margin:0in; mso-para-margin-bottom:.0001pt; mso-pagination:widow-orphan; font-size:10.0pt; font-family:”Times New Roman”;}
Oleh: Amran Nasution *
Hidayatullah.com–Penampilan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ketika menyampaikan Rancangan APBN di sidang pleno DPR, 15 Agustus lalu, sungguh menghibur. Sebentar-sebentar terdengar suara riuh tepukan anggota DPR, dimulai anggota Fraksi Demokrat, pendukungnya.
Semua lancar, tak ada masalah. Pendek kata selama setahun ke depan rakyat Indonesia akan sejahtera dan berbahagia. Gaji pegawai akan naik. Anggaran pendidikan yang selama ini selalu melanggar konstitusi, kali ini dinaikkan menjadi 20% sesuai UUD. Salah satu akibatnya gaji guru akan melonjak lebih dua kali lipat.
Beras yang selama ini diimpor karena produksi tak mencukupi, tahun ini kata Presiden akan cukup. Kita akan swasembada pangan, suatu prestasi yang hanya pernah dicapai oleh Orde Baru. Angka pengangguran menurun, begitu pula kemiskinan. Sungguh menakjubkan. Tepukan demi tepukan pun mengiringi janji-janji SBY.
Ternyata tak sedikit anggota DPR menyesalkan penampilan SBY. Wakil Ketua Fraksi Partai Amanat Nasional Dradjad Wibowo menilai pidato SBY tak lebih dari pidato politik karena berisi pembelaan diri, penuh retorika, dengan data asal bapak senang. Menurunnya angka pengangguran, misalnya, diperoleh dengan mengubah cara pengumpulan data. ‘’Sehingga persentase orang bekerja menjadi tinggi,’’ kata Dradjat.
Ketua Panitia Anggaran DPR dari Fraksi PDI, Emir Moeis, mengganggap penilaian Presiden bahwa terjadi penurunan angka kemiskinan dan pengangguran adalah terburu-buru. Malah Effendy Choiri dari Fraksi Kebangkitan Bangsa, berpendapat pidato itu sebagai kampanye untuk menghadapi Pemilu 2009.
Choiri benar. Presiden SBY memanfaatkan penampilannya di DPR untuk kampanye Pemilu. Karenanya yang berhembus pada hari itu di DPR hanyalah angin Surga. Bagaimana mungkin tahun ini Indonesia swasembada beras? Infra-struktur pertanian banyak yang rusak, benih, pupuk, dan pestisida, sulit diperoleh petani. Revitalisasi pertanian yang dijanjikan Presiden SBY saat baru terpilih sampai sekarang hanya tinggal janji.
Bagaimana pengangguran dan kemiskinan menurun jika pabrik-pabrik kesulitan mendapatkan listrik. Siapa pun tahu listrik adalah infrastruktur vital dalam pembangunan ekonomi, sementara Pemerintahan SBY-Kalla tak mampu menyediakan listrik yang cukup. Jangan kata listrik industri, untuk perumahan saja sudah lama berbagai provinsi memberlakukan sistem bergiliran.
Bahwa ekonomi kita tumbuh, memang benar. SBY – Kalla hebat? Tunggu dulu. Itu karena kenaikan harga bahan tambang dan produk pertanian di pasar internasional, terutama batubara dan minyak kelapa sawit (CPO). Hasil ekspornya sungguh bermakna dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi, sekali pun Pemerintah tidur-tidur saja.
Artinya, Pemerintah SBY-Kalla tak melakukan apa apa. Dari dulu kita memang eksportir kelapa sawit dan batubara, tanpa mengolahnya di dalam negeri sehingga tak ada nilai tambah, tak ada penyerapan tenaga kerja. Sekarang pun sama, tak ada yang berbeda.
Tapi itulah Presiden SBY. Andai saja pemain film, ia akan mendapat Piala Citra karena aktingnya amat meyakinkan. Ia sebutkan Pemerintah telah memutuskan anggaran pendidikan dinaikkan menjadi 20%. Dari gayanya bicara terkesan seolah-olah itu adalah keinginan kuat Pemerintah untuk memperbaiki dunia pendidikan kita.
Padahal banyak orang tahu sudah bertahun-tahun masalah itu dituntut organisasi guru PGRI tapi tak pernah dipedulikan Pemerintah. Sampai beberapa hari sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan bahwa dengan anggaran pendidikan di bawah 20% berarti Pemerintah melanggar konstitusi.
Anggaran pendidikan yang rendah memang sudah jadi kebijakan Pemerintah. Perguruan tinggi sekarang dipaksa harus membiayai diri sendiri, karena sistem ekonomi neoliberal yang ditrapkan Pemerintah, mengajarkan Pemerintah tak boleh banyak campur urusan itu.
Akibatnya universitas seperti UI, IPB, ITB, UGM, Unair, dan sebagainya menjadi universitas mahal, yang tak bisa dimasuki anak rakyat jelata seperti dulu. Selain itu mutunya pun menurun karena menerima mahasiswa di bawah standar asal mampu membayar mahal.
Keputusan MK tadi bukan yang pertama. Tapi kali ini lebih krusial karena bisa menjadi isu dalam Pemilu, dan merusak citra Presiden SBY mau pun wakilnya Jusuf Kalla, sebagai pelanggar konstitusi. Karena itu beredar keras kabar bahwa tak terpilihnya lagi Profesor Jimly Asshiddiqy sebagai Ketua MK, baru-baru ini, tak lain karena campur tangan Istana. Ia digantikan Mahfudz MD, seorang politikus PKB.
Ada lobi Istana terhadap sejumlah Hakim Konstitusi agar tak lagi memilih Jimly, tokoh yang berperan penting menjadikan MK sebagai lembaga bersih dan berwibawa di tengah merosotnya dunia peradilan kita karena suap dan korupsi. Artinya, Jimly diberi ‘’pelajaran karena dianggap bertanggung-jawab atas anggaran pendidikan 20% yang secara politis merepotkan SBY-JK.
Besaran 20% itu menyebabkan anggaran pendidikan naik Rp 46,1 triliun menjadi Rp 224 triliun. Sebuah jumlah yang memadai. Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan anggaran itu akan diperoleh dengan menerbitkan surat utang negara. ‘’Apa boleh buat,’’ katanya.
Dari sini bisa disimpulkan bahwa Pemerintah tak ikhlas dan tak siap memenuhi persentase anggaran pendidikan sesuai tuntutan konstitusi. Tapi untunglah ada Pemilu sehingga tahun ini anggaran terpaksa dipenuhi. [bersambung/hidayatullah.com]
* Penulis adalah Direktur Institute for Policy Studies