Hidayatullah.com– Di balik senyum warga desa Konni yang hidup dalam keterbatasan, terselip kisah hangat yang tak hanya menyentuh hati, tapi juga menjembatani dua benua: Asia dan Afrika. Sebuah kisah tentang dua sahabat yang dipertemukan takdir, disatukan iman, dan kini bersama menebar keberkahan lewat daging qurban.
Kisah ini dimulai jauh dari benua hitam, tepatnya di Sudan, tahun 2011. Di tengah barisan mahasiswa pencari ilmu bahasa Arab, dua pemuda Muslim—Imam Fatih Farhat dari Kalimantan Timur dan Mamman Mustoupha dari Niger—berjumpa untuk pertama kali.
Keduanya dipertemukan dalam semangat yang sama: belajar, berbagi, dan berjuang menuntut ilmu agama.
Takdir membawa mereka menjadi tetangga fakultas di Universitas Islam Madinah—Fatih di Fakultas Hadis, Mamman di Fakultas Al-Qur’an.
Di sanalah, di antara kitab dan sajian sederhana khas Sudan seperti roti kering yang dihangatkan ulang, tumbuh sebuah persahabatan yang melampaui bahasa, warna kulit, dan kebangsaan.
“Persahabatan itu bukan hanya soal kesamaan, tapi juga keikhlasan untuk berbagi nilai-nilai kebaikan. Dan saya melihat itu di diri Mamman,” ujar Imam Fatih, dai muda dari Baitul Maal Hidayatullah (BMH).
Kini, Mamman Mustoupha mengemban amanah sebagai Mudir Rumah Qur’an di Distrik Thouhua, Desa Konni, Niger. Sebuah daerah yang masih jauh dari sentuhan kesejahteraan.
Namun di sinilah, sejak empat tahun terakhir, daging qurban dari Indonesia menjadi jawaban atas harapan warga yang selama ini hanya bisa bermimpi makan daging saat Iduladha.
“Kami hidup sangat kekurangan. Kalau bukan Idul Adha dan BMH datang, kami tidak pernah makan daging,” ujar Ibu Hafsah, dengan mata berkaca.
Bersama Imam Fatih, yang menjadi penghubung dari Indonesia, BMH rutin mengirim hewan qurban ke wilayah ini. Tahun ini adalah tahun keempat.
Bagi warga Konni, bukan hanya daging yang mereka dapatkan—tetapi juga pengakuan bahwa mereka tak sendiri.
“Qurban ini adalah simbol cinta dan persaudaraan,” ungkap Syekh Mamman Moustpha Bachir, Lc., Ph.D, tokoh masyarakat setempat.
“Kami merasakannya. BMH bukan hanya mengirim hewan, tapi mengirim harapan.”
Menurut Imam Nawawi, Kepala Humas BMH Pusat, kisah ini bukan hanya tentang distribusi daging, tetapi diplomasi spiritual dan kemanusiaan Indonesia.
“Bayangkan, dari Kalimantan ke Niger. Dari masjid kecil di pelosok Nusantara ke desa terpencil di Afrika. Yang menyambungkan? Bukan lembaga besar. Tapi sahabat, dan semangat qurban.”
Dan benar, qurban bukan sekadar penyembelihan hewan. Di tangan orang-orang seperti Fatih dan Mamman, qurban menjadi jembatan lintas bangsa, lintas budaya, dan lintas nasib.
Sebuah persahabatan yang bermula di bangku pendidikan kini menjelma menjadi jalan panjang keberkahan, mengalir dari Indonesia hingga jantung Afrika Barat.
Qurban yang kita potong di tanah air, kini membuat ribuan warga Niger tersenyum. Dan dua sahabat itu, masih tetap bersama—satu di medan dakwah, satu di tanah misi kemanusiaan.
Daging bisa habis, tapi jejak cinta dan iman akan terus hidup. Inilah kisah qurban yang tak hanya mengenyangkan perut, tapi juga menyatukan hati-hati lintas negeri.*