Oleh: Amran Nasution
Hidayatullah.com–Mayor Hasan, seorang perwira Muslim, menembak mati 13 temannya sesama tentara. Kasus ini semakin menjelaskan betapa ambruknya moral tentara Amerika yang berperang di Iraq dan Afghanistan. Kasus bunuh diri atau membunuh teman sendiri cukup tinggi, diduga karena terserang PTSD
Fort Hood adalah basis militer Amerika Serikat terbesar, terletak di kota kecil Killeen, Texas. Di sini terkonsentrasi sekitar 102.000 tentara dan keluarganya. Ke kota inilah, 10 November lalu, Presiden Barack Obama berkunjung. Suasana duka menyambutnya. ‘’Tak ada agama yang membenarkan pembunuhan dan tindakan pengecut ini,’’ katanya saat berpidato dalam upacara pemakaman yang dipadati sekitar 15.000 hadirin. ‘’Untuk perbuatannya, si pembunuh akan mendapat hukuman di dunia ini dan kelak di belakang hari.’’
Kedatangan Obama untuk pemakaman 12 tentara – dan seorang sipil—yang terbunuh beberapa hari sebelumnya oleh tembakan membabi-buta dari Mayor Nidal Malik Hasan, 39 tahun, psikiater militer di Fort Hood.
Peristiwa ini sungguh mengguncang Amerika. Sebab tentara yang terbunuh cukup banyak? Bukan itu alasannya. Dua pekan sebelumnya, Obama baru saja berkunjung ke Pangkalan Udara Dover Air Force Base di Delaware, menghadiri upacara pemakaman 18 tentara – jumlah korban lebih banyak — yang terbunuh di Afghanistan. Lain waktu ia harus menghadiri pemakaman belasan tentara yang terbunuh di Iraq. Tapi itu upacara biasa saja, suasananya pun biasa pula. Beda sekali dengan kehadiran Obama di Fort Hood.
Afghanistan atau Iraq memang medan pertempuran. Wajar kalau tentara Amerika terbunuh di sana. Tapi Fort Hood? Ini adalah pedesaan di pedalaman Amerika Serikat yang terpaut 90-an km di utara Austin, Ibu Kota Negara Bagian Texas. Lagi pula Fort Hood adalah basis militer, tempat di mana mestinya tentara Amerika berada dalam posisi paling aman. Nyataya di situ pun mereka terbunuh, seakan tak ada lagi tempat aman bagi mereka.
Lebih dari itu, peristiwa ini mengguncang Amerika karena yang menembaki kerumunan tentara yang sedang melakukan persiapan keberangkatan ke Iraq dan Afghanistan itu, adalah seorang Muslim. Apalagi kemudian diketahui ia seorang Muslim yang taat. Sejumlah saksi melaporkan bahwa sebelum menembakkan pistol ke kerumunan orang, Mayor Nidal Malik Hasan meneriakkan, ‘’Allahu Akbar.’’ Dalam tempo beberapa menit, dia telah menewaskan 13 orang dengan 29 korban terluka. Mayor itu berhasil dilumpuhkan polisi dengan tembakan, tapi nyawanya selamat dan kini ia dirawat di rumah sakit.
Maka Amerika pun seakan terbakar. Senator Connecticut, Joe Lieberman yang berdarah Yahudi dari independen, menyatakan akan mengadakan dengar pendapat guna menginvestigasi kelalaian militer – sehingga disusupi ekstrem Islam — dalam peristiwa ini. Anggota DPR dari Partai Republik (oposisi) Peter Hoekstra berpendapat ada permainan tersembunyi Gedung Putih dan CIA di balik peristiwa ini. Anggota Kongres yang membidangi intelijen ini bersumpah akan membongkar selubung Gedung Putih dan CIA.
Pendapat paling keras datang dari para pendukung perang Iraq dan Afghanistan yang biasa dijuluki kelompok hawkish. Suara mereka bisa dilihat di The Weekly Standard, blog yang menjadi corong kaum neo-konservatif (Neo-kon), suporter utama (mantan) Presiden George Bush.
Di situ, penulis dan kolomnis William Bennett menyerang Jenderal George Casey Jr. Kepala Staf Angkatan Darat itu dituduhnya bersikap terlalu lunak, terutama karena pernyataan sang Jenderal bahwa dia berdiri sebagai pendukung keberagaman di Angkatan Darat Amerika. Karenanya Casey dituduh sebagai pelindung para perwira Muslim. Temannya, kolomnis Michelle Malkin, menyebut keberagaman itu buta karena menurut dia, menjadi Islam sama dengan mati.
Jonah Goldberg, penulis neo-konservatif yang produktif itu, menulis di The Weekly Standard bahwa ada bukti kuat ekstrimisme Islam bukan fenomena pinggiran di dalam agama itu, melainkan bagian dari arus utama (mainstream) kehidupan Islam di seluruh dunia. Maka penembakan yang dilakukan Mayor Hasan adalah bukti dari ekstrimisme itu. Temannya, Pat Robertson, Pendeta Evangelis yang amat terkenal sebagai pendukung Partai Republik dan Presiden George Bush, mengatakan bahwa Islam bukan agama, melainkan sebuah sistem kekerasan politik yang diarahkan untuk menjatuhkan pemerintahan di dunia.
Umumnya mereka berpendapat penembakan membabi buta oleh Mayor Nidal Malik Hasan adalah tindakan pembalasan dari orang Islam atas penyerbuan tentara Amerika terhadap Iraq dan Afghanistan. Tak sedikit pula yang menuduh Mayor Hasan terlibat komplotan terorisme Islam internasional.
Tuduhan ini muncul setelah terungkap hubungan sang mayor dengan Anwar Al-Awlaki, seorang ulama warga Amerika Serikat yang akhir tahun lalu baru lepas dari penjara di Yaman, karena website-nya menganjurkan Muslim di seluruh dunia untuk membunuh tentara Amerika di Iraq. Sebelum meninggalkan Amerika, Al-Awlaki adalah imam di Masjid Dar Al-Hijrah di kota kecil Falls Church, Virginia. Mayor Hasan dan keluarga dulu sering beribadah di masjid yang sama. Agaknya dari situlah keduanya berkenalan. Setelah penembakan tadi, di dalam website pribadinya, Al-Awlaki menjuluki Mayor Hasan sebagai seorang pahlawan Islam.
Post Traumatic Stress Disorder
Benarkah Mayor Hasan terlibat terorisme? Ternyata tidak. Pemeriksaan yang dilakukan Departemen Pertahanan, FBI, mau pun badan anti-teror – termasuk dengan menyadap hubungan telepon mau pun email-nya – membuktikan bahwa kontak sang Mayor dengan Al-Awlaki hanya untuk keperluan penelitiannya sebagai psikiater Angkatan Darat. Dengan kata lain, dalam masalah ini, sang mayor bertindak professional.
Penelitian Mayor Hasan, terutama, menyangkut post-traumatic stress disorder stemming atau upaya untuk mengurangi dampak gangguan kejiwaan karena stres yang dialami pasukan Amerika Serikat setelah bertugas di Iraq dan Afghanistan. Mayor Hasan membuat sebuah makalah ilmiah tentang itu. Polisi Federal FBI sudah mengumumkan secara resmi bahwa Mayor Hasan tak terlibat terorisme. Peristiwa penembakan itu, menurut FBI, dilakukannya sendirian.
Post-traumatic stress disorder atau populer disingkat PTSD, dulu banyak diderita pasukan Amerika Serikat di Vietnam. Sekarang ia menyerang pasukan Amerika di Iraq dan Afghanistan. Penderitanya mulai dari yang ringan seperti gelisah, sulit tidur, dan semacamnya, sampai yang berat: membunuh teman atau istri sendiri, atau bunuh diri karena sudah kehilangan kendali. Dengan kata lain orang itu sudah gila. Sebuah studi oleh New England Journal of Medicine (NEJM), jurnal kesehatan tertua dari Boston, pada 2004, menemukan 17% tentara Amerika yang bertugas di Iraq dan 11% di Afghanistan, terserang PTSD. Suatu jumlah yang amat besar.
Sekadar contoh, menurut sebuah artikel di The New York Times, 10 November lalu, di Port Hood sejak 2003 ditemukan 76 tentara melakukan bunuh diri – untuk tahun ini saja ada 10 kasus – setelah pulang bertugas dari Iraq atau Afghanistan.
Di antara mereka termasuk Staf Sersan Gilberto Mota dan istrinya Diana. Pasangan itu baru pulang dari Iraq akhir tahun lalu. Entah apa sebabnya mereka bertengkar, Sersan Gilberto menembak mati istrinya lalu menghabisi nyawa sendiri.
Yang lain, Staf Sersan Justin Lee Garza, 28 tahun, bunuh diri setelah menderita gangguan mental setelah dua kali bertugas di medan tempur. Kematiannya disesalkan ibunya, Tery Smith, sebab sang anak sudah mengeluh sakit tapi tak mendapatkan bantuan psikiater untuk berkonsultasi di Fort Hood. Dan 4 hari kemudian sang anak menembak dirinya sendiri.
Tampaknya ada kesulitan dalam menyediakan petugas kesehatan jiwa untuk meladeni para korban perang itu. Soalnya, jumlah kasus terlalu banyak. Pusat penanganan krisis (crisis center) di Fort Hood setiap pekan menerima rata-rata 60 panggilan telepon dari tentara atau keluarganya, melaporkan masalah percekcokan keluarga sampai rencana bunuh diri.
Maka seperti digambarkan Kolonel Edward McCabe, Pastor Katolik di Fort Hood, kondisi basis militer itu amat mencemaskan. Angka perceraian tinggi dan peristiwa kekerasan dalam rumah tangga amat sering terjadi. ‘’Setiap malam terdengar suara jeritan dan lolongan tentara dan istrinya,’’ ujar McCabe.
Orang seperti Mayor Hasan memang amat dibutuhkan di sana, dan karena itu agaknya ia dipindahkan dari Walter Reed Army Medical Center, Washington, rumah sakit pusat tentara semacam RS Gatot Subroto, ke Fort Hood, di bulan Juli 2009. Kepindahan itu kabarnya kurang disukainya karena ia enggan berperang ke Iraq atau Afghanistan. Kepindahan ke Fort Hood berarti penugasan ke Iraq/Afghanistan sudah di depan mata.
Dilahirkan di Arlington, Virginia, September 1970. Orang tua Hasan berasal dari West Bank, Palestina, yang berimigrasi ke Amerika pada 1960-an. Orang tuanya kemudian sukses membuka usaha toko dan restoran. Hasan anak sulung dengan dua adiknya turut membantu usaha sang ayah, sambil bersekolah.
Hasan terbilang amat cerdas. Pada 1995, ia lulus dengan pujian dari jurusan biokimia Virginia Tech, salah satu universitas terkenal di Amerika. Dari sana, ia mendaftarkan diri mengikuti pelatihan perwira Angkatan Darat guna menjadi anggota militer di Fort Sam Houston, Texas. Hal itu ditantang oleh ayahnya, tapi Hasan tetap bersikeras. Ia dilantik menjadi perwira pada 1997, dan pada tahun itu juga berkat kecerdasannya ia bisa mengikuti kuliah kedokteran di Uniformed Services University of Health Sciences di Bethesda, tanpa membayar uang kuliah.
Kuliahnya selesai pada 2003, lalu ia lanjutkan belajar penyakit jiwa (psikiatri) di Walter Reed Army Medical Center, dan kemudian dari tempat yang sama ia memperoleh gelar Master untuk ilmu kesehatan masyarakat.
Sebagai seorang pemuda ia dikenal taat beribadah dan rajin ke masjid. Faizul Khan, bekas imam masjid di Silver Spring yang mengenal Mayor Hasan dengan baik, mengatakan bahwa di masjid banyak wanita yang menaksir sang mayor. Maklumlah selain mayor, ia seorang dokter. ‘’Tapi ia bilang pada saya, ia belum menemukan calon istri yang taat,’’ kata Faizul Khan. Seorang saudaranya mengatakan Mayor Hasan berencana menikah tahun ini.
Tapi ternyata sang ayah benar: militer bukan tempat pengabdian yang pas untuk Hasan. Dari sekitar 1,4 juta anggota militer Amerika Serikat, lebih 5000 orang adalah Muslim. Data Departemen Pertahanan menunjukkan lebih 3500 di antara mereka telah ditugaskan di Iraq dan Afghanistan, dan 7 di antaranya tewas. Sejumlah 212 tentara Muslim itu mendapat penghargaan (Combat Action Ribbon) untuk penugasannya. Malah Kapten Eric Rahman memperoleh bintang perunggu (Bronze Star) karena penugasan di Iraq.
Padahal bagi seorang keturunan Arab, apalagi Muslim, penugasan sebagai tentara Amerika Serikat sesungguhnya tak gampang. Ketika meletus Perang Teluk Pertama, para pemuka Islam di Amerika berdebat tentang bolehkah seorang Muslim berperang atas nama Amerika Serikat melawan sebuah negeri Muslim. Jawabannya ketika itu: boleh. ‘’Di dalam Al-Quran dikatakan bahwa perang adalah untuk mengakhiri penindasan,’’ kata Khaled Abou El Fadl, Guru Besar Ilmu Hukum di University Of California, Los Angeles. Maksudnya, dalam kasus Perang Teluk pertama, tentara Iraq telah menindas Kuwait yang lemah. Jadi pasukan Amerika berperang di sana untuk membebaskan Kuwait, atau untuk melawan penindasan.
Tapi kemudian tentara Muslim Amerika Serikat mengalami kesulitan ketika harus berperang di Iraq dan Afghanistan, karena yang terjadi di sana adalah pembunuhan terhadap rakyat sipil. Tentara Amerika harus berperang guna melindungi pemerintahan yang korup, atau melakukan penyiksaan terhadap tahanan yang tak berdaya seperti yang terjadi di Abu Ghraib.
“Tidakkah tentara Amerika mempertahankan penindasan di sana? Dengan begitu, tidakkah orang yang membela penindas telah menjadi penindas pula?’’ ujar El Fadl. Profesor ini banyak menerima konsultasi dari tentara Amerika Muslim yang akan pergi berperang di Iraq atau Afghanistan, dan mereka merasa pergi ke medan perang sebagai penindas. Itu menimbulkan konflik batin yang hebat.
Konflik lebih berat muncul ketika tentara Amerika yang Muslim yang baru kembali dari Iraq atau Afghanistan mendengar di masjid lokal para imam berkhutbah: adalah neraka bagianmu karena membunuh saudaramu yang Muslim. ‘’Coba bayangkan, kamu berusia 20 tahun, dan kamu akan masuk neraka,’’ kata Qaseem Uqdah, Direktur Eksekutif Lembaga Tentara dan Veteran Muslim Amerika Serikat (The New York Times, 9 November 2009).
Nah, ini menjadi masalah bagi Mayor Hasan. Semuanya menjadi lebih kompleks lagi, setelah pengeboman menara kembar WTC di New York, 11 September 2001. Tentara Amerika yang Muslim menghadapi kesulitan bergaul dengan temannya sesama tentara. Dengarlah cerita Amzad Khan, Muslim yang sudah 8 tahun menjadi tentara dan pernah bertugas di Iraq. Suatu kali, ketika bertugas di Iraq, seorang perwira senior tahu bahwa dia seorang Muslim.
“Saya harus selalu awas, jangan-jangan akan kamu tembak dari belakang,’’ kata perwira itu kepadanya.
Perlakuan seperti itu juga sering dialami Mayor Hasan, meski dia seorang perwira. Teriakan, ‘’haaji’’, atau ejekan ‘’pengendara Onta’’, sudah biasa diterimanya dari temannya sesama tentara. Tapi yang paling penting, Mayor Hasan menantang di Iraq dan Afghanistan.
Seorang teman kelasnya dalam program Master di Walter Reed mengungkapkan kepada wartawan bahwa setahun lalu, Mayor Hasan menulis makalah berjudul: Why the War on Terror is a War on Islam? (Mengapa Perang Melawan Teror adalah Sebuah Perang Melawan Islam?) Isinya berupa argumen yang menyatakan peperangan di Afghanistan dan Iraq adalah salah. Dan argumen Mayor Hasan cukup kuat karena ia banyak mengetahui apa yang sesungguhnya terjadi di Afghanistan dan Iraq, akibat sering memberikan konsultasi psikiatri kepada tentara yang baru pulang dari sana.
Menurut salah seorang keluarganya, sejak 2004 sebenarnya Mayor Hasan sudah berusaha untuk berhenti dari tentara. Dia sudah melobi atasannya untuk itu. Tapi meninggalkan dinas militer di Amerika – sebelum ikatan dinas berakhir — bukan pekerjaan gampang. Apalagi untuk Mayor Hasan. Selain prestasinya yang bagus dalam pendidikan, dia pun sudah mengikuti pendidikan sampai jenjang S2 dengan biaya dari institusinya.
Selain itu, sebagai seorang psikiatri tenaganya memang amat-sangat dibutuhkan pada saat ini, seperti sudah disebutkan tadi. Kalau ia keluar dari kemiliteran begitu saja, dianggap desersi dan ancaman hukumannya 5 tahun penjara. Padahal ikatan dinas Mayor Hasan baru berakhir Mei 2017. Konflik inilah yang melanda perwira itu.
Setelah ditugaskan di Fort Hood, Mayor Hasan aktif di Masjid Killen. Pertengahan Agustus sempat terjadi insiden kecil, ketika seorang tentara yang baru pulang dari Iraq marah kepada Mayor Hasan karena di kaca mobilnya tertempel stiker besar, ‘’Allah is Love’’. Peristiwa itu sempat menjadi urusan polisi walau kemudian bisa diselesaikan.
Setelah peristiwa itu, Hasan pernah mengundang Osman Danquah, salah seorang pengurus masjid untuk makan malam di sebuah restoran. Osman pensiunan sersan dan pernah terlibat dalam Perang Teluk. Lalu Hasan bertanya bagaimana Osman menjelaskan kepada anak-anak muda tentang penugasan mereka ke Iraq untuk membunuh sesama Muslim. Osman menjawab bahwa sejak masuk menjadi tentara tak ada alasan menolak tugas. ‘’Saya berkesan, ia sedang menguji pendapatnya sendiri,’’ kata Osman kepada wartawan, setelah peristiwa penembakan.
Kepada Syed Ahmad Ali, Imam Masjid di Killeen, Hasan sudah pamit bahwa dia akan meninggalkan Texas. ‘’Dia bilang, tolong doakan saya,’’ kata sang Imam. Lantas malam hari sebelum penembakan itu, Mayor Hasan makan malam bersama teman dekatnya di masjid, seorang tentara berusia 18 tahun, Duane Reasoner. Kepada Reasoner, Hasan merasa dia sudah mundur dari kemiliteran. ‘’Di dalam Al Quran kalau kau mati dalam peperangan melawan Muslim, kau akan pergi ke neraka,’’ kata Reasoner mengungkapkan pernyataan Mayor Hasan dalam percakapan malam itu.
Maka paginya, seusai shalat subuh di masjid, Hasan berpamitan kepada teman-temannya seakan ia akan pergi jauh. Enam jam kemudian tragedi itu pun terjadi: Mayor Hasan menembaki kerumunan tentara yang sedang divaksinasi untuk persiapan berangkat ke Iraq dan Afghanistan.
Sesungguhnya kasus Mayor Hasan atau peristiwa mirip lainnya yang telah diceritakan, hanya menjadi indikasi kuat betapa ambruknya moral tentara Amerika Serikat yang sedang berperang di Iraq dan Afghanistan.[hidayatullah.com]
Penulis adalah Direktur Institute For Policy Studies (IPS) dan kolumis hidayatullah.com