Oleh: Rama Wijaya
Hidayatullah.com | WABAH virus corona (COVID 19) yang menerpa lebih dari 150 negara termasuk Indonesia telah membuat pola social distancing mesti diterapkan dan mengurangi kegiatan diruang publik. Wacana penguncian wilayah (lockdown) menjadi opsi dan telah dijalankan secara lokal dibeberapa tempat.
Di Indonesia, virus ini begitu cepat menyerang manusia. Work From Home (WFH) dan School From Home (SFH) menjadi kebijakan yang kini menjadi trend baru demi mencegah penyebaran virus lebih luas. Per 01 April 2020, pemerintah menyatakan bahwa 1.677 dinyatakan positif terinfeksi dan 157 meninggal.
Tidak hanya menyerang, pandemi COVID 19 kini menggoyang stabilitas ekonomi. Masyarakat kelas menengah kebawah yang paling merasakan dampaknya. Termasuk, komunitas pendidikan dan pesantren yang sejak awal mendedikasin untuk anak yatim dan dhuafa.
Bagi sejumlah pesantren dan lembaga pendidikan tentu ini menjadi beban baru. Saat tidak ada sumber usaha mandiri dan masih bergantung pada donatur ditambah dengan meningkatnya harga bahan pokok tentu tidak bisa dibebankan kepada keluarga santri yang semula sudah berat menjalankan hidup bahkan ada yang kehilangan sumber nafkah.
Maka, untuk keberlanjutan lembaga pendidikan dan pesantren yang paling pokok mesti dipenuhi adalah penyediaan pangan tentunya selain menjalankan protokol kesehatan dan disiplin menjalankan social distancing atau physical distancing. Program ketahanan pangan kepada para sejumlah lembaga pendidikan dan masyarakat miskin sekitarnya menjadi kemestian.
Kenaikan harga dan kelangkaan bisa saja terjadi sewaktu waktu, mengingat dampak pandemi ini tidak hanya secara nasional tapi juga dalam tataran global. Maka, dalam kondisi ini nazhir wakaf bisa bergerak dan mengisi pos untuk mengisi peran dalam membangan sektor pangan yang menjadi kebutuhan pokok.
Setidaknya jika pemerintah sudah menjalankan fungsi dengan membentuk gugus tugas percepatan penanganan dengan alokasi APBNP dan sejumlah kebijakan dengan meringankan beban cicilan bagi korban COVID19 hingga penanganan dan pengobatan suspect virus. Maka, peran nazhir wakaf bisa berperan dalam sektor keberpihakan untuk masyarakat miskin atau setidaknya pada penerima manfaat (mauquf alaih) yang selama ini telah berjalan dalam jangka panjang.
Pertama, nazhir wakaf bersama dengan BWI kembali mendata asset tanah wakaf diberbagai wilayah yang memiliki potensi dikembangkan dalam sektor pertanian. Jika, secara legalitas sudah menjadi asset wakaf tentu yang mesti dilakukan adalah mengembangkan produktifitas. Asset wakaf berupa tanah dapat menjadi salah satu pendukung untuk menggenjot ketersediaan pangan kedepan. Paling tidak lembaga pendidikan dan sosial disekitar menjadi sasaran sebagai penerima manfaat.
Problem tanah wakaf yang belum optimal bisa terdeteksi sehingga peran dan intervensi nazhir kedepan untuk lebih consern dalam mengelola tanah wakaf bisa ditingkatkan. Adanya pemuktahiran data melalui SIWAK ini juga membantu lebih jauh untuk menghasilkan validitas informasi dalam melakukan pemetaan dan pengembangan saat ini dan yang akan datang, terutama dalam sektor pangan.
Kedua, membangun kolaborasi dengan berbagai elemen perusahaan dan wakif yang memiliki konsern dan minat untuk bergerak dalam sektor pangan. Minimnya biaya untuk mengawali pengelolaan asset wakaf untuk menjadi produktif menjadi kendala selama ini bagi nazhir wakaf saat telah menerima sejumlah asset berupa benda tak bergerak seperti tanah. Meski, potensial namun tidak memiliki kemampuan menyebabkan asset tidak tergarap secara optimal.
Kesamaan yang perlu dibangun dalam hal ini adalah melihat dalam sudut pandang SDG’s, persoalan pangan untuk mencapai ketahanan pangan dan nutrisi yang lebih baik adalah tanggung jawab bersama. Upaya ini bisa dilakukan melalui aset wakaf dalam bidang pertanian karena bukan milik perseorangan maka hasil dari kelolaannya difungsikan untuk kesejahteraan sosial masyarakat sekitar, terutama sektor pendidikan yang konsentrasi membangun sumberdaya insani. Maka, produktifitas lahan wakaf menjadi jalan yang bisa diwujudkan dan produksi pangan kedepan bisa dikembangkan tentunya kolaborasi antara nazhir wakaf, koorporasi dan ahli dalam bidang pertanian.
Ketiga, praktik terbaik dalam pengelolaan wakaf dalam sektor pangan dengan basis pesantren dalam hal ini adalah pesantren Gontor dan Tebu Ireng. Melalui hasil pertanian Pesantren Gontor mampu memenuhi kebutuhan primer para santri dan memberikan manfaat yang berkelanjutan bagi keberlangsungan pesantren dengan memberdayakan 114 petani untuk mengelola lahan pertanian dengan masing masing memperoleh luas lahan satu hingga dua hektare per orang.
Belajar dari pengalaman pondok modern gontor dalam melakukan pengelolaan aset wakaf produktif melaui pertanian dapat disimpulkan bahwa wakaf dapat memenuhi kebutuhan primer para santri dan dapat memberikan manfaat yang berkelanjutan bagi keberlangsungan pesantren. Maka, bukan manfaat pangan tidak hanya berdampak yang luas bagi pesantren tapi juga bisa lebih luas kepada masyarakat sekitar terutama yang terkeda dampak pandemi COVID 19.
Ikhtiar membangun pangan ditengah kondisi pandemi sudah dimulai oleh sejumlah pesantren dan n diantaranya Baitul Wakaf yang merupakan nazhir wakaf produktif dari BMH yang dibentuk Hidayatullah dengan mengembangkan wakaf sawah produktif . Tapi perlu nafas panjang karena pandemi ini masih terus berlangsung.
Dengan upaya tersebut, wakaf dan nazhir nya bisa memainkan peranan dan berbagai pihak dengan berkolaborasi dalam menghadang persoalan pangan yang muncul saat ini dan kedepan dan melindungi entitas sosial dan pendidikan untuk tetap berdiri tegak memainkan perannya dalam membangun sumberdaya insani agar terus mengangkat martabat kemanusiaan melalui pendidikan. Saatnya bertindak untuk wujudkan ketahanan pangan.*
Penulis Direktur Baitul Wakaf