Oleh: Herry Mohammad
HIDUP di dunia ini penuh dengan dikhotomi. Ada yang pintar, ada yang bodoh; ada kaya, ada miskin; ada yang taqwa, adapula yang fasiq; dan seterusnya. Andaikan manusia bisa mendapatkan apa saja yang dia inginkan, hal itu bisa menyebabkannya menjadi pongah, dan, boleh jadi, malah merendahkan dan menekan orang-orang yang lemah. Oleh sebab itu, agar terjadi harmoni, maka Allah memberi petunjuk gar para pemimpin berlaku adil.
Ya, harmoni dan keseimbangan kehidupan ini akan terjaga jika dunia diisi oleh para pemimpin yang adil yang dipegang oleh orang-orang yang sholeh. Karena hanya pemimpin yang sholeh yang mampu berbuat adil dan menjaga harmonisasi kehidupan secara keseluruhan. Keadilan yang digerakkan oleh mereka yang sholeh akan membimbing pada kebaikan, kebenaran, dan kedamaian.
Pemimpin yang adil dan sholeh menjadi prasyarat karena tugas seorang pemimpin itu sejatinya sangatlah berat. Sahabat Auf bin Malik ra, meriwayatkan, bahwa Rasulullah Shalallahu alaihi wa Sallam bersabda, “Jika kamu mau aku akan memberitahukan kepadamu tentang jabatan pimpinan. Auf bertanya, ‘Apa itu ya Rasulullah?’ Rasulullah menjawab, ‘Pertama, adalah celaan; Kedua, penyesalan; dan Ketiga, siksaan pada hari kiamat. Kecuali bagi orang yang berlaku adil dan tahu bagaimana ia berbuat adil pada kerabatnya’.” (Hadits Shahih dikeluarkan oleh Al Bazzar dan Ath Thabrani).
Allah memberi penekanan khusus pada keadilan itu, sebagaimana tersurat pada Al-Qur’an surah An-Nahl ayat 90, “Dan Allah menyuruh (kamu) berlaku adil.” Bahkan, kebencian terhadap suatu kaum, tidak boleh meninggalkan keadilan. “…Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorongmu untuk berbuat tidak adil …” (QS. Al-Maidah: 8).
Adalah Imam Al-Mawardi Rahimahullah memberi penjelasan tentang keadilan ini. Menurutnya, “Sungguh, yang membuat kehidupan dunia ini menjadi baik karena tegaknya prinsip keadilan yang senantiasa mengajak pada perdamaian, mendorong pada ketaatan, membangun peradaban, dan mengamankan kekuasaan. Tidaklah sesuatu yang mempercepat rusaknya tatanan kehidupan daripada kezaliman. Sebab, kezaliman tidak akan berhenti pada satu titik ketika target tercapai, tetapi setiap bagiannya adalah kerusakan sampai benar-benar sempurna.”
Perlakuan yang adil bisa menyentuh nurani manusia yang menjadi muslim dan berjuang di jalan-Nya. Kisah tentang Khalifah Ali bin Abi Thalib mencari keadilan memberi pelajaran yang begitu berharga pada peradaban umat manusia yang mengedepankan akhlak.
Dalam Tarikh Dimasyqa, Ibnu ‘Asakir meriwayatkan dari jalur Asy-Sya’bi, ia berkisah, “Suatu saat Ali bin Abi Thalib menemukan baju perangnya berada ditangan seorang lelaki Nasrani. Ali lalu melapor kepada hakim Syuraih untuk mencari keadilan. Asy-Sya’bi bertutur, Ali datang dan duduk disamping Syuraih. Lalu Ali berkata, ‘Wahai Syuraih, sekiranya orang yang aku laporkan itu muslim tentu aku tidak duduk kecuali aku disampingnya, tetapi ia seorang Nasrani, sementara Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: Jika kalian dan orang-orang non Muslim di jalan yang sama maka persempit jalan mereka dan kecilkan mereka sebagaimana Allah mengecilkan mereka tanpa harus menzaliminya.
Ali lalu melanjutkan: baju perang ini milikku, dan aku tidak merasa menjual maupun memberikannya. Lalu Syuraih bertanya pada orang Nasrani, ‘Apa tanggapanmu atas pernyataan Amirul Mukminin diatas?’ Orang Nasrani itu menjawab, ‘Baju ini milikku, dan menurutku Amirul Mukminin telah berbohong’. Lalu Syuraih menoleh kearah Ali dan bertanya, ‘Wahai Amirul Mukminin, apakah Anda punya buki?’ Ali pun tersenyum seraya berkata, ‘Aku tidak memiliki bukti.’ Maka Syuraih pun memutuskan bahwa baju perang itu milik orang Nasrani, itu.
As-Sya’bi melanjutkan kisahnya, Setelah itu Ali beranjak pergi lalu kembali lagi saat si Nasrani berkata, ‘Aku bersaksi bahwa ini adalah hukum para Nabi. Amirul Mukminin melaporkan kepada hakimnya, tetapi hakim tersebut memenangkanku. Aku bersaksi bahwa tidak ada Ilah yang haq melainkan Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya. Demi Allah, baju perang ini adalah milikmu wahai Amirul Mukminin. Aku menguntit rombongan pasukan yang engkau pimpin yang hendak menuju Shiffin, lalu baju itu jatuh dari untamu.’
Bolehkah Kita Memilih Pemimpin Kafir?
Istilah Pemimpin Kafir yang Jujur Lebih Baik adalah Propaganda Berbahaya
Mendengar kejujuran si Nasrani, Ali berucap, ‘Jika kamu telah masuk Islam, maka baju itu milikmu.’ Lalu baju perang yang sudah diberikan Ali kepada sang mualaf itu diangkat dan ditaruh diatas kudanya. Asy-Sya’bi melanjutkan, ‘Orang yang melihatnya mengabarkan kepadaku, Ketika perang Nahrawan, ia turut memerangi kaum Khawarij bersama Ali’.”
Masyaa Allah, seorang kafir masuk Islam karena menyaksikan betapa keadilan dijunjung tinggi, tidak peduli siapa yang melaporkan. Dan Syuraih, sebagai hakim, telah bertindak adil dan tegas, tidak peduli siapa yang melapor. Independensinya sebagai hakim sangat dijaga, dan itu sangat dihargai oleh Amirul Mukminin yang melaporkan baju perangnya diambil oleh si Nasrani tanpa disertai bukti-bukti yang kuat.
Non Muslim yang Adil
“Siapa saja yang mampu dan dipercaya rakyat, pemimpin yang adil meski itu non-Muslim tapi jujur, itu lebih baik daripada pemimpin Muslim tapi zalim. Di mana saja dan siapa saja,” kata Said Aqil Sirodj, Ketua PBNU, di kantornya, jalan Kramat Raya, Jakarta, Sabtu (16/4/2016). Sebelumnya, dari kalangan liberalis dan sekularis juga telah “menyanyikan” judul lagu yang sama.
Pernyataan tersebut jelas-jelas tidak adil dan keluar dari logika yang lurus. Keadilan dan kezaliman tidak bisa disandingkan. Ia merupakan kata yang berlawanan. Kalau mau adil, mestinya, “Pilih mana pemimpin Muslim yang adil atau pemimpin non-Muslim yang adil?” Dan Allah melarang orang-orang beriman memilih pemimpin yang kafir (Lihat QS. Al-Maidah; 51)
Lagi pula, pernyataan Said Aqil Sirodj tersebut bukan hal yang baru. Ketika Khilafah Bani Abbasiyah di Bagdad jatuh ke tangan tentara Tar Tar yang dipimpin oleh Hulagu Khan, tahun 1258 M, hampir semua kitab para ulama dibakar dan ditenggelamkan ke laut. Bangsa Tar Tar adalah bangsa petarung dan penakluk, tapi mereka tidak punya peradaban yang tinggi. Karena itu sumber-sumber keilmuan berupa buku dihancur-leburkan, umat Islam dibantai, juga para ulamanya.
Untuk mengokohkan cengkeramannya, suatu hari Hulagu Khan mengumpulkan para ulama di Baghdad, lalu bertanya, “Mana yang lebih baik, pemimpin kafir yang adil atau pemimpin muslim yang zalim?”
Suasana hening. Tak ada yang berani menjawab. Para ulama tahu bahwa mereka jelas tidak akan memilih pemimpin kafir, sementara, pada saat yang bersamaan, mereka sedang dikuasai oleh pemimpin kafir yang bengis.
Keheningan itu pecah, ketika Ali bin Musa bin Ja’far bin Thawus, pemuka Syiah asal Iran, angkat bicara, “Pemimpin kafir yang adil lebih utama dari pemimpin muslim yang zalim.” Sebuah pernyataan yang keluar dari syariat Islam!
Wartawan, pemerhati politik Islam