Presiden Amerika Serikat Barack Obama memang berhasil memukau Indonesia. Terutama ketika ia berpidato di Universitas Indonesia (UI), Depok, Jawa Barat, Rabu, 10 November lalu. Padahal ia sesungguhnya bukan orator seperti Bung Karno atau Fidel Castro. Ternyata benar apa yang ditulis media massa Amerika Serikat di musim kampanye pemilihan Presiden 2008: Obama amat fasih (eloquence) dalam berpidato. Jutaan pemirsa televisi atau pendengar radio di sini bisa menyaksikan sendiri bagaimana fasihnya Obama mengucapkan kata-kata, “bakso, kerupuk, sate, Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, dari Sabang sampai Merauke, bahkan Assalamualaikum. Padahal semua kata-kata itu ia kenali ketika dulu menetap di Menteng Dalam, Jakarta Pusat, hampir 40 tahun yang lampau. Wajarlah Obama memukau kita. Artikel Edward Schumacher-Matos di The Washington Post 12 November 2010, menabalkan pidato di UI itu sebagai salah satu yang paling kuat dan meyakinkan dari Presiden Obama selama ini (one of the most powerful and convincing speeches of his presidency). Menurut artikel itu, pidato Obama menjadi pesan ke dunia Islam, tapi juga kepada Amerika Serikat sendiri, antara lain, tentang bagaimana kehidupan beragama harus dilakukan. Maka artikel itu mengutip pidato Obama di bawah ini: “Across an archipelago that contains some of God’s most beautiful creations, islands rising above an ocean named for peace, people choose to worship as they please. Islam flourishes, but so do other faiths. Development is strengthened by an emerging democracy. Here, we can find the ability to bridge divides of race and region and religion – by the ability to see yourself in other people. (Terjemahan bebas: “Melintasi sebuah kepulauan terhampar ciptaan Tuhan yang terindah, pulau-pulau tumbuh di atas laut menegaskan perdamaian, penduduk menyembah Tuhan yang diyakininya. Islam berkembang, tapi begitu pula agama lainnya. Pembangunan diperkuat tumbuhnya demokrasi…. Di sini kita bisa menemukan kemampuan menjembatani ras, daerah, dan agama – dengan kemampuan untuk melihat diri sendiri pada orang lain’’). Pulau-pulau itu adalah Indonesia, negeri yang sejak lama menekankan kerukunan beragama di antara penduduknya. Tentu di sana ada masalah karena banyak persoalan antar-agama, suku, dan kelompok, yang seringkali tak gampang diselesaikan. Ketika mengunjungi Masjid Istiqlal, Obama terkesan ketika mendapat informasi dari Imam Besar masjid itu Ali Mustafa Yakub bahwa ummat Katolik yang beribadah di Gereja Katedral, di seberang Istiqlal, selama ini menggunakan lapangan parkir luar masjid untuk kendaraan para jemaahnya. Dalam banyak hal hubungan antar-agama di Indonesia tertolong oleh toleransi kaum muslimin selaku mayoritas. Sekadar contoh tentang hari libur agama. Tengoklah ke Australia, Eropa, atau Amerika. Di sana hari libur umum hanya untuk agama mayoritas Kristen. Ada libur tahun baru (New Year), libur paskah (Easter), dan tentu saja libur Natal (Christmas), tapi tak ada libur untuk Idul Fithri, apa lagi untuk Hari Raya Nyepi, Waisak, dan Imlek. Agama minoritas jangan berharap. Meski di Perancis, misalnya, jumlah umat Islam cukup besar dan merupakan agama kedua terbesar setelah Katolik. Suatu kali saya sendiri terkejut ketika di hari pertama Lebaran menelepon anak di Australia. Ternyata ia sedang berada di kampus dan sedang bersiap menghadapi ujian. Sementara di Indonesia semuanya dijadikan hari libur umum tanpa ada keberatan dari kelompok Muslim selaku mayoritas. Apakah Kristen Diserbu? Oleh karena itu barangsiapa membaca tulisan Budiarto Shambazy, wartawan senior Kompas, berjudul “Ngobama’’ (Kompas, 13 November 2010) akan bingung karena disuguhi fakta yang berbeda dari apa yang digambarkan pidato Obama. Menurut Shambazy, “di sini hampir semua etnis dan agama minoritas dimusuhi atau diserbu. Pemerintah berpangku tangan saja.” Oleh karena itu, seperti ditulis Shambazy, di sini tak mungkin seorang minoritas menjadi Presiden seperti Obama di Amerika Serikat. Kalau Shambazy benar, berarti Obama berbohong dalam pidatonya yang tersebar ke seluruh dunia. Begitu pula Imam Besar Masjid Istiqlal Ali Mustafa Yakub yang menggambarkan harmonisnya hubungan Masjid Istiqlal dengan Gereja Katedral, setidaknya dalam urusan lapangan parkir. Dan Indonesia yang tergambar dari tulisan Budiarto Shambazy sesungguhnya lebih mirip Somalia atau Congo, dipenuhi perang saudara atau perang suku. Tapi benarkah Indonesia serupa Somalia atau Congo? Hanya Shambazy atau koran Kompas yang bisa menjawabnya. Maka supaya orang tak terus-menerus bingung sebaiknya Budi Shambazy atau Kompas menjelaskan maksud pernyataan itu. Sekalian menunjukkan agama minoritas mana yang dimusuhi dan diserbu dan pemerintah berpangku tangan. Apakah Katolik dimusuhi? Apakah Kristen diserbu? Atau Hindu dan Budha diserbu dan dimusuhi juga? Sebenarnya wajar saja Presiden Obama bicara tentang toleransi etnik dan agama dari Indonesia selaku negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia. Ucapannya bukan saja ditujukan ke negara Muslim lainnya, tapi mestinya juga ke negerinya sendiri, Amerika Serikat, yang belakangan ini memperlihatkan tendensi anti-toleransi. Sepekan sebelum pidato Obama, misalnya, umat Islam di Oklahoma, salah satu negara bagian di Amerika Serikat, sedang terpojok oleh serangan kepada mereka melalui pemungutan suara (referendum) yang melarang hukum syariah Islam digunakan hakim di pengadilan. Tindakan pemungutan suara itu tak lain sebuah kampanye untuk memojokkan kelompok Muslim karena selain jumlah penduduk Islam di sana amat kecil – hanya 30.000 orang di antara 3,7 juta penduduk seluruhnya — tak pernah ada usulan atau ide untuk memberlakukan Syariah Islam di negara itu. Penggagas referendum adalah Rex Duncan, anggota legislatif negara bagian itu. Katanya, referendum tersebut sebagai antisipasi demi melindungi anak dan cucu mereka di masa datang dari ancaman syariah Islam. Amerika Serikat sekarang memang sedang dilanda Islamophobia, ketakutan atau kebencian kepada Islam. Penolakan mayoritas masyarakat atas pembangunan masjid di Ground Zero, New York adalah puncak gunung es dari kebencian itu. Ternyata selama ini sulit sekali membangun masjid di sana, terutama karena perlawanan kelompok fanatik yang jumlahnya cukup besar . Yang terakhir, rencana pembangunan masjid dan Pusat Kebudayaan Islam di Murfreesboro, Tennessee, terkendala setelah alat-alat berat yang dipakai dalam membangun proyek itu suatu malam dibakar orang tak dikenal. Sebelumnya rencana pembangunan ini memang mendapat protes masyarakat padahal semua prosedur sudah dipenuhi. Sampai sekarang masih ada masalah dalam pembangunan masjid atau Islamic Center di California, Texas, Wisconsin, Florida, selain di Tennessee tadi (lihat Ketika Islamophobia Landa Amerika, Hidayatullah.Com 24 Agustus 2010). Bukan hanya itu masalah Amerika Serikat. Secara politik dan terutama ekonomi negara super-power itu sedang terpuruk. Pukulan krisis keuangan 2008 belum juga berakhir. Sekarang pengangguran mencapai 9,6%. Cukup tinggi, walau kalau dibandingkan dengan beberapa negara Eropa, Amerika Serikat masih lumayan. Pengangguran di Perancis sekarang 10,1%, dan Spanyol malah 20,5%. Kolumnis David Ignatius menulis, setiap bepergian ke luar negeri semakin nyaring ia dengar spekulasi bahwa Amerika Serikat adalah negara yang sedang merosot. Paling tidak ia mencatat sejumlah bukti terbaru yang mendukung pendapat itu: China baru saja menurunkan peringkat kredit (credit rating) utang Amerika Serikat – dan Amerika adalah negara dengan utang terbesar di dunia. Korea Selatan menolak tekanan Amerika Serikat untuk merealisasikan kesepakatan perdagangan baru. Padahal selama ini negeri itu cukup dekat dengan Amerika. Kemudian sejumlah negara Eropa dan Asia bergabung memprotes rencana Federal Reserve atau The Fed untuk mencetak dollar (sekitar 600 milyar dollar) guna merangsang pertumbuhan ekonomi (The Washington Post, 14 November 2010). Tampaknya kemerosotan negara adi daya ini relevan dengan kian ekstrimnya sikap penduduknya terhadap warga Muslim dan imigran. Dan Obama coba menghalanginya walau kemudian ia sendiri dituduh para ekstremis itu sebagai pemeluk Islam.
Penulis adalah mantan Redaktur GATRA dan TEMPO. Kini, bergabung dengan IPS (Institute for Policy Studies) Jakarta