Oleh: Ady Amar
Hidayatullah.com | Anies Baswedan, Gubernur DKI Jakarta, hari-hari ini dalam perbincangan pemberitaan. Dan itu berkenaan dengan penanganan banjir di ibu kota. Anies memang seksi untuk dibicarakan dalam berbagai sisi.
Satu pihak, tentunya mayoritas, menyatakan puas dengan kinerjanya menanggulangi banjir. Itu bisa dilihat dari sebaran titik-titik banjir jauh lebih sedikit ketimbang tahun-tahun sebelumnya.
Juga cepatnya surut air banjir di Jakarta, bahkan dalam hitungan jam. Soal ini tidaklah perlu diperdebatkan. Tapi jika ada yang masih kurang puas dengan kinerja Pemprov DKI Jakarta, ya itu sih sah-sah saja. Tidak masalah.
Namun ada juga kelompok yang menilai kinerja Gubernur Anies dalam menangani banjir Jakarta buruk sekali. Kelompok ini tidak banyak jumlahnya, tapi suaranya riuh dan sebarannya luas, bahkan lintas batas provinsi.
Jika penilaian itu bersandar pada data valid, itu sih baik. Tapi kalau sekadar celometan saja itu yang memang diskenariokan. Itu kerjaan mereka yang dibayar dengan satu tujuan pembusukan.
Laku mereka sampai pada tahap fitnah dengan menyebarkan foto-foto yang diedit sedemikian rupa, bahkan banjir di kawasan Bekasi (Jabar), dan Tengerang (Banten) di-upload dengan narasi seolah itu banjir di Jakarta. Sepertinya ini kerja sistematis dengan target tunggal, habisi Anies Baswedan.
Baca: Anies Baswedan, Manusia OD, dan Meme yang Menghibur
Para politisi dari partai tertentu dan praktisi kebijakan publik bicara sekenanya hingga mulut berbuih, hanya bermodal menyalahkan. Narasi yang dibangun menyesatkan, memaksa sampai batas agar publik mempercayai ocehannya. Mereka bagai kaum yang bersorak dengan datangnya musibah banjir. Maka, ada alasan menghajar Anies agar tampak busuk.
Jangan tanya di mana mereka saat daerah lain, yang bahkan daerah itu lebih dari sebulan tenggelam oleh genangan banjir, dan belum bisa berbuat apa-apa. Mereka aman dari gunjingan, tidak dengan Jakarta. Daerah-daerah lain yang kebanjiran, itu bukan jatah mereka untuk berbicara.
Persoalan banjir Jakarta itu bukan persoalan baru saja terjadi. Jakarta saat bernama Batavia di zaman kolonial Belanda pun sudah langganan banjir. Era gubernur Sutiyoso, Fauzi Bowo, Jokowi lalu dilanjut Ahok yang menggantikannya, sama saja tidak bisa mengatasi banjir.
Era para gubernur pada Orde Reformasi sebelum Gubernur Anies Baswedan memimpin Jakarta, itu sebaran banjir jauh lebih dahsyat. Itu data yang bicara, bukan ocehan berisik tanpa bersandar data.
Lalu muncul wacana akan melakukan gugatan atau class action pada Anies atas banjir Jakarta. Banjir Jakarta 2020 pun Anies mendapat class action, namun ditolak oleh Pengadilan Negeri Jakarta. Tolakannya menyebut, bahwa mestinya tuntutan itu ditujukan pada Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Jika tuntutan itu tetap dilakukan untuk banjir Jakarta 2021, maka pastilah tetap akan digugat melalui PN, tidak lewat PTUN. Sudah dimunculkan para pengamat hukum yang mengatakan, tidak salah melakukan class action di PN itu. Maka aturan sudah mulai “diperlonggar” dengan wacana boleh-tidaknya tuntutan itu dilakukan lewat PN.
Baca: Anies Presiden, Jakarta Bebas Banjir, In Syaa Allah
Aturan tampak dibuat sistemik untuk target habisi Anies Baswedan, itu bukan menjadi isapan jempol semata. Segala cara ditempuh, meski kasat mata seharusnya class action tidak cuma pada Anies Baswedan, tapi juga bagi pimpinan daerah lainnya. Bidik target itu dikhususkan hanya untuk Anies Baswedan.
Mencari celah kesalahan pada yang dilakukan Anies hampir mustahil bisa ditemukan. Anies selalu berjalan dengan tataran hukum. Anies itu ibarat orang yang berjalan dengan di sana-sini titik api menyembul, dan ia lompat berjungkitan dengan seksama menghindari api.
Maka tidak ada jalan lain, banjir Jakarta itu jadi senjata pembusukan Anies. Jika pada daerah lain pimpinan daerahnya cukup berdalih dengan intensitas hujan tinggi, tapi dalih itu tidak berlaku bagi Anies Baswedan.
Kita lihat saja permainan kali ini, yang coba dipakai menggoyang Anies akan efektif berhasil atau tidak. Semuanya tergantung cermat tidaknya warga DKI Jakarta melihat itu semua, lalu menyikapi persoalan yang ada dengan langkah terukur dan tepat.
Anies Baswedan diyakini akan tetap melenggang mulus sampai masa jabatannya berakhir di tahun 2022. Jika Pemilu serentak tetap dilakukan 2024, maka Anies akan nganggur sekitar 1,5 tahun untuk persiapan entah mengulang dua periode sebagai gubernur DKI Jakarta, atau justru membuat panggung yang lebih besar, ikut dalam Pilpres 2024. Kita lihat saja nanti takdir akan membawanya ke mana. Firasat sih RI-1… Wallahu a’lam. (*)
Kolumnis, tinggal di Surabaya