Oleh: M. Nurkholis Ridwan
Eksekusi hukuman pancung terhadap TKW Ruyati telah memicu kecaman dan gugatan berbagai kalangan terhadap penanganan pemerintah terhadap TKI di luar negeri, termasuk di Arab Saudi. Tentu saja ini bukan kasus baru. Ruyati adalah TKI ke-28 yang telah dieksekusi, disusul 23 TKI lainnya yang dikabarkan masih dalam masa penantian untuk hukuman serupa.
Satu hal yang perlu ditegaskan di sini, tak ada satu pun yang dapat menjamin bahwa berbagai kasus serupa, atau kasus-kasus lain seperti kekerasan, pelanggaran hukum, gaji tidak dibayar, overstay, dan lainnya tidak berulang. Mengingat ada sekitar 1,2 juta TKI yang bekerja mencari nafkah di Arab Saudi, baik yang legal maupun ilegal. Dengan angka sebanyak itu, secara realistis, berbagai persoalan sangat mungkin terjadi.
Fakta di atas tidak menafikan kewajiban pemerintah dengan bekerjasama dengan semua pihak terkait untuk memberikan perlindungan, pelayanan dan penanganan terbaik untuk para TKI, mulai dari prses rekrutmen dan administrasi keberangkatan, penempatan, pengawasan, pendampingan, perlindungan dan apapun yang dibutuhkan oleh para TKI hingga pulang kembali ke Indonesia. Bukankah mereka berjuang di negeri orang untuk dapat menafkahi keluarga mereka di Indonesia sekaligus dan mengurangi beban negara dalam menciptakan lapangan kerja.
Pada titik ini semestinya perhatian semua pihak difokuskan pada bagaimana memberikan pelayanan dan perlindungan maksimal kepada para TKI. Kita tentu marah dan kecewa menyaksikan para TKI kita mendapat perlakuan yang tak pantas atau menghadapi berbagai persoalan di luar negeri. Namun apalah artinya kemarahan dan kekecewaan jika tidak diikuti oleh langkah nyata. Tindakan nyata yang terfokus pada pelayanan menyeluruh dan perlindungan maksimal harus dilakukan, mengingat kebijakan untuk memulangkan semua TKI dari Arab Saudi, ataupun di negara-negara lainnya, cukup sulit, berbiaya besar dan berdampak jangka panjang. Tentu akan lebih logis dan realistis bagi pemerintah dengan bekerjasama dengan negara-negara tujuan para TKI untuk memaksimalkan perlindungan dan pelayanan maksimal.
Untuk membuktikan betapa minimnya perlindungan pemerintah terhadap TKI, dapat kita lihat bahwa Ruyati tidak didampingi oleh pengacara saat mengikuti pengadilan di Arab Saudi. Seperti disampaikan oleh Duta Besar Indonesia untuk Arab Saudi di hadapan DPR beberapa waktu lalu, Ruyati hanya didampingi oleh seorang staf KBRI, meski memiliki hak diplomatik. Walau demikian, tentulah hal itu jauh dari cukup, mengingat betapa seriusnya ancaman vonis yang dihadapi oleh Ruyati.
Contoh lain, Indonesia telah mengirim TKI ke Arab Saudi selama 40 tahun, namun nota awal kesepahaman (Memorandum of Understanding) baru disepakati akhir Mei lalu. Kita pun baru akan membuka atase hukum dan HAM di KBRI Arab Saudi setelah meletusnya kasus Ruyati. Meski terlambat, tentu langkah ini lebih baik dan perlu didukung oleh semua pihak. Seyogianya pula keputusan ini menjadi langkah awal dari sebuah pembenahan menyeluruh. KBRI perlu dilengkapi semua perangkat lengkap dan cukup yang diharapkan dapat memberikan pelayanan dan perlindungan yang terbaik dan segera kepada para TKI. Pelayanan dan perlindungan ini harus bersifat ofensif dan aktif bahkan agresif, dan tidak perlu menunggu sebuah kasus terjadi.
Setelah mendapat desakan dari berbagai kalangan, pemerintah akhirnya memberlakukan moratorium pengiriman TKI ke Arab Saudi terhitung 1 Agustus mendatang disambut oleh banyak kalangan. Langkah ini bisa positif, jika masa moratorium ini dipergunakan untuk mengevaluasi kinerja semua pihak yang ikut terlibat dalam penanganan TKI ke luar negeri, seperti Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, BNP2TKI, dan Kementerian Luar Negeri. Jika ada SDM yang terbukti tidak serius dalam menangani TKI, pemerintah tak perlu ragu untuk mencopotnya.
Selain itu, keputusan moratorium ini hanyalah solusi jangka pendek. Mengapa demikian? Ada beberapa fakta di hadapan kita yang tak dapat dipungkiri: Pertama, kita telah mengirim TKI selama 40 tahun. Ada sekitar 1,2 juta warga Indonesia yang ada di Arab Saudi. Tak sedikit pula TKI yang telah bekerja puluhan tahun di sana. Karenanya, tidak mudah untuk mengakhiri relasi kerja yang telah berlangsung sedemikian lama.
Kedua, sulit dipungkiri, meski terdapat berbagai kasus yang menimpa TKI, namun hal itu tidak menyurutkan warga Indonesia untuk tetap bekerja di luar negeri, termasuk di Arab Saudi. Ketiga, sumbangan devisa yang dihasilkan oleh para TKI di Arab Saudi diperkirakan mencapai lebih dari 13 trilyun rupiah, mengutip laporan media. Benar tidaknya perkiraan ini, yang tak dapat dipungkiri adalah jumlah devisa yang dihasilkan oleh para TKI cukup banyak, selain juga membantu menafkahi sekitar satu juta keluarga dan mengurangi pengangguran di dalam negeri.
Berbagai fakta di atas dimaksudkan agar semua pihak berpikir dan bertindak realistis. Realita ini tetap meniscayakan kemungkinan terjadinya persoalan-persoalan hukum yang selama ini membelit para TKI kita, seperti tindak kekerasan, gaji yang belum dibayarkan, tindak pidana, dan lain sebagainya. Karena itu, sebenarnya, yang perlu difokuskan oleh pemerintah adalah bagaimana memberikan pengawasan, perlindungan, pembenahan serta penanganan terbaik dan total untuk para TKI, mulai dari rekrutmen, pembekalan keahlian, penempatan, bimbingan, dan bantuan apapun yang diperlukan oleh para TKI di luar negeri hingga mereka kembali ke Indonesia.
Untuk negara-negara tujuan terbesar para TKI, seperti Malaysia dan Arab Saudi, perlu ada penanganan khusus dengan meningkatkan jumlah SDM dan anggaran yang diperlukan di KBRI untuk memberikan perlindungan dan bantuan apapun yang diperlukan bagi para TKI agar dapat bekerja dengan baik dan mencegah munculnya kasus-kasus yang tidak diinginkan. Kita tidak punya alasan bahwa anggaran dan SDM yang dimiliki terbatas, mengingat TKI telah memberikan sumbangan devisa yang cukup banyak bagi negara.
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah persoalan transparansi dalam penanganan kasus-kasus hukum yang menimpa para TKI di luar negeri. Meletusnya kasus Ruyati, sebenarnya dapat dicegah, terlepas ada tidaknya pemberitahuan dari pemerintah Arab Saudi tentang jadwal eksekusi, jika pemerintah sejak awal telah memberikan informasi yang memadai kepada publik tentang proses pengadilan yang tengah dihadapi oleh Ruyati yang telah berlangsung lebih dari setengah tahun. Pemerintah harus memberikan kesempatan kepada publik untuk memberikan kontribusi dan pandangan agar berbagai persoalan yang menimpa TKI tidak berubah menjadi komoditas politik dan kepentingan sesaat.
Kita tentu tak ingin bahwa penanganan TKI hanya bersifat sesaat, atau yang lebih buruk lagi, terjebak pada kebijakan politik untuk menyelamatkan citra. Selain langkah itu tak dapat menyelesaikan akar masalah, ia pun hanya bersifat sesaat, untuk kemudian akan teredam dengan sendirinya oleh pemberitaan-pemberitaan lain media yang lebih heboh dan aktual. Sementara pihak yang dirugikan, tentulah TKI kita sendiri yang selama ini hanya mendapat gelar kehormatan sebagai Pahlawan Devisa namun hakikatnya menderita.
Kasus Ruyati selayaknya tidak melenceng pada polemik persoalan apakah pemerintah Arab Saudi telah meminta maaf atau tidak terkait dengan ada-tidaknya pemberitahuan mengenai jadwal eksekusi. Selain karena persoalan ini tidak terkait dengan akar permasalahan yang menimpa TKI, juga jika dibiarkan hanya akan menggiring persoalan ini menjadi komoditas politik untuk saling serang dan menimbulkan kegaduhan dan ketegangan politik yang tak perlu. Karena itu, langkah Kementerian Luar Negeri RI untuk menghindari polemik tentang permintaan maaf ini patut diapresiasi. Sebab, kondisi para TKI kita di luar negeri, yang saat ini sangat membutuhkan perhatian dan langkah serius dari pemerintah jauh lebih penting daripada mengetahui ada tidaknya permintaan maaf tersebut atau tidak.
Kasus Ruyati, begitu juga ratusan TKI lainnya yang tengah menghadapi persoalan hukum di negara tempat mereka bekerja, membutuhkan tindakan yang berangkat dari pikiran jernih dan tindakan nyata dan sungguh-sungguh dari pemerintah dan semua pihak terkait. Semua pihak harus bekerja sama, dan solusi yang ditawarkan pun hendaknya bersifat menyeluruh terhadap semua aspek penanganan TKI. Pemerintah juga perlu bekerjasama dengan media, dengan memberikan informasi lebih awal, segera dan kontinyu tentang berbagai kasus yang menimpa para TKI. Agar setiap kasus yang menimpa TKI kita di luar negeri dapat ditangani secara maksimal.
Penulis adalah wartawan dan pengamat Timur Tengah