PERGI haji merupakan impian setiap Muslim. Setiap tahun kaum Muslimin Indonesia yang menginginkan pergi haji selalu dalam jumlah yang sangat banyak, mencapai ratusan ribu. Jumlah jamaah haji Indonesia merupakan jumlah terbanyak dibandingkan jumlah haji dari negara manapun di dunia ini. Ini memang wajar, karena jumlah umat Islam di Indonesia merupakan mayoritas di dunia.
Jika ditotal dimulai sejak kemerdekaan Indonesia di tahun 1945 hingga tahun 2010 ini (65 tahun), jumlah kaum kaum Muslimin Indonesia yang telah menunaikan ibadah haji telah mencapai jumlah 13.000.000 orang (dengan asumsi rata-rata jumlah jamaah haji tiap tahun 200.000 orang dan dengan asumsi setiap jamaah haji melaksanakan satu kali haji seumur hidupnya)
Dengan demikian, logis jika jumlah uang yang telah dikeluarkan oleh jamaah haji Indonesia selama 65 tahun merupakan jumlah terbanyak dibandingkan jumlah uang yang telah dikeluarkan oleh jamaah haji dari negara manapun di dunia ini. Jumlahnya mencapai Rp.6.000.000.000.000 (dengan asumsi biaya haji tiap tahun Rp.30 juta)
Namun timbul empat pertanyaan: Pertama, apakah jumlah jamaah haji yang begitu besar dan pengeluaran dana yang begitu besar tersebut mempunyai dampak positif terhadap kemajuan, kesejahteraan dan kebahagiaan masyarakat dan bangsa Indonesia?; Kedua, kontribusi apakah yang telah diberikan para mantan “Tamu Allah terhadap masyarakatnya?; Ketiga, apakah memang ada kaitan erat antara ibadah haji dengan perubahan masyarakat? Jika ada, bagaimana kaitannya?; Keempat, lalu seyogyanya apa yang harus dilakukan kaum Muslimin yang telah bergelar haji dan hajjah?.
Tulisan ini berusaha menjawab dua pertanyaan terakhir dan mengajak para calon haji dan mantan Para Tamu Allah untuk merenungkan keempat pertanyaan tersebut.
Antara definisi, syarat dan cita-cita bersama
Seluruh kaum Muslimin di Indonesia terutama yang akan dan yang telah menambah gelar haji dan hajjah di depan namanya patut merenungkan pertanyaan-pertanyaan di atas dan lalu berusaha menjawabnya dengan langkah-langkah nyata dengan berusaha sekuat tenaga menjadi haji mabrur dan menunjukkan kemabrurannya.
Dalam musim haji tahun ini, sekitar dua ratus ribu kaum Muslimin Indonesia bergabung dengan saudaranya dari belahan dunia lainnya. Mereka dan kita semua tentu mengharapkan mereka mendapatkan predikat Haji Mabrur yang tidak ada balasannya kecuali surga sebagaimana dinyatakan dalam hadits riwayat Imam Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah.
Mabrur berasal dari kata Bahasa Arab yang mempunyai arti diterima dan diridhoi. Haji mabrur adalah ibadah haji yang diterima oleh Allah dan pelakunya mendapatkan ridho Allah. Di sisi Allah, setiap Muslim yang melaksanakan ibadah haji mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan gelar “Haji Mabrur”. Mabrur atau tidaknya tergantung kepada masing-masing individu dalam hal niat, tujuan, terpenuhinya segala syarat dan rukun haji, serta kepatuhan dalam segala perintah dan larangan haji.
Haji mabrur adalah rahasia Allah. Hanya Allah-lah yang tahu diterima atau tidaknya haji seorang hamba dan yang tahu indikasi-indikasi haji mabrur yang sebenarnya. Manusia hanya mampu melihat dan menilai orang lain dan dirinya sendiri sebatas kemampuannya dari beberapa indikasi yang tampak secara lahiriyah.
Dalam tulisan ini, penulis menyimpulkan bahwa salah satu indikasi haji mabrur adalah tergerak hati, tangan dan kakinya untuk bekerja merubah masyarakatnya menuju keadaan yang lebih baik dengan secara ihlas mengorbankan dana, tenaga, waktu, ilmu, pemikirannya dan bahkan nyawanya demi menggapai cinta dan ridho Allah. Kesimpulan ini berdasarkan dua alasan:
Pertama, haji berdimensi sosial
Haji bukan hanya berdimensi spiritual saja, namun juga berdimensi sosial. Pelaku haji selama dan terutama lagi seusai menunaikan haji akan semakin peka dan peduli terhadap masalah-masalah sosial dan kemasyarakatan.
Rasulullah dalam suatu hadits marfu’ mengemukakan bahwa salah satu indikator haji mabrur adalah suka memberi makan (HR. Ahmad). Kata “memberi makan” di dalam hadits ini tentu bukan sekedar memberi makan saja, tapi juga bermakna luas yaitu memberikan segala bantuan kepada mereka yang membutuhkan.
Kedua, haji sarana latihan berkorban
Ibadah haji, menurut kesimpulan dinilai akan menumbuhkan semangat pengorbanan yang tinggi dan kesungguhan dalam melakukan berbagai tugas pengabdian kepada Allah SWT dan kepada sesama manusia.
Haji adalah suatu ibadah yang menuntut dan identik dengan pengorbanan besar. Setiap Muslim yang berniat, yang akan dan sedang melaksanakan haji, harus siap, rela dan ihlas mengorbankan tenaga, waktu, dana, perasaan dan bahkan nyawanya sekalipun.
Ibadah haji merupakan sarana terbaik untuk melatih seorang Muslim berkorban dalam rangka menjalankan perintah Allah dan demi mendapatkan cinta dan ridho Allah.
Pengorbanan yang yang dilakukan dengan ihlas dan dibarengi dengan niat dan tujuan haji yang benar dan lurus yaitu dalam rangka mendapatkan ridho Allah semata, di sisi Allah tidak-lah sia-sia dan pelakunya mendapatkan gelar “Haji Mabrur”.
Efek Ibadah Haji
Dengan demikian, seorang haji yang mabrur, hatinya sudah benar-benar dalam keadaan ihlas untuk menjalankan kewajiban-kewajibannya sebagai hamba dan sekaligus khalifah Allah. Sebagai khalifah Allah, manusia mempunyai tugas memakmurkan bumi.
Dalam kaitan ini, memakmurkan bumi berarti memanfatkan semua sumber, fasilitas dan kemampuan yang ada pada diri, lingkungan dan masyarakatnya yang digunakan untuk bekerja sendiri dan atau bekerja sama dengan manusia lainnya, demi tercapainya kesejahteraan dan kebahagiaan bersama, yakni masyarakat dan umat manusia pada umumnya.
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran” (QS. Al-Maa’idah [5]:2).
Jika kita amati, potongan ayat yang populer ini ternyata didahului dengan keterangan tentang haji
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi’ar-syi’ar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) binatang-binatang had-ya, dan binatang-binatang qalaa-id, dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari kurnia dan keredhaan dari Tuhannya dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah berburu”.
Hal ini mengisyaratkan, – menurut penulis – adanya kaitan erat antara ibadah haji dengan perintah tolong menolong dalam kebajikan dan takwa.
Tolong menolong dalam rangka memakmurkan bumi merupakan salah satu bentuk aplikasi perintah Allah ini. Dan salah satu efek dari ibadah haji adalah terbentuknya sikap tolong-menolong dalam memakmurkan bumi. Itulah tugas agen perubahan masyarakat.
Tugas agen perubahan adalah merubah nasib dan keadaan masyarakat, bangsa dan umatnya menjadi lebih baik, sejahtera, bahagia, maju dan berkeadilan sosial. Juga memerangi segala bentuk kezaliman, keterbelakangan, kemaksiatan, kemusyrikan dan segala hal negatif lainnya.
Tak ada satupun pelaku haji yang tidak menginginkan hajinya tidak mabrur. Untuk itu, sepulang dari Tanah Suci dan kembali ke kampung halamannya masing-masing merupakan kesempatan emas bagi para mantan “Tamu Allah” untuk menunjukkan kemabruran hajinya dengan menjadi agen-agen perubahan masyarakat dengan mengorbankan apapun yang dimilikinya. Sehingga ibadah haji dan pengorbanannya dalam melaksanakan haji – yang telah menghabiskan begitu banyak dana, tenaga dan waktu – tidak sia-sia belaka atau tidak hanya bermanfaat pada dirinya sendiri.
Segeralah berbuat karena masyarakat, umat Islam dan bangsa ini sedang menunggu dan mengharap munculnya agen-agen perubahan. Mereka telah begitu lama dalam keadaan terpuruk dalam banyak bidang kehidupan, yang antara lain dalam bidang ekonomi, sosial, akhlak, pendidikan dan kesehatan. Wallahu a’lam bis shawab.
*)Penulis adalah Kandidat Master of Islamic Revealed Knowledge and Heritage (Specialization: Qur’an and Sunnah Studies) di International Islamic University Malaysia (IIUM)