Oleh: Syamsi Ali
KETIKA Umar (radhiyallah ‘anhu) memutuskan untuk menjadikan Hijrah Rasulullah SAW sebagai pijakan tahun baru Islam, tentunya bukan tanpa alasan. Hijrah merupakan aktualisasi langsung dari kebangkitan perjuangan Islam dengan terbentuknya institusi Islam pertama, kota Madinah Al-Munawwarah. Maka hijrah merupakan pilar utama terwujudnya institusi negara Madinah termaksud.
Dalam sejarah, hampir keseluruhan Rasul Allah melakukan hijrah dalam proses memenangkan perjuangannya masing-masing. Nabi Ibrahim dilahirkan di Babilon (Iraq), kemudian berhijrah ke Jerusalem. Bahkan melakukan ekspansi ke Makkah dengan menempatkan isteri dan anaknya (Hajar dan Ismail) di kota tersebut.
Yusuf berhijrah, atau tepatnya dihijrahkan oleh Allah dari Jerusalem ke Mesir.
Sementara Musa sebelum diangkat menjadi Rasul melakukan perpindahan dari Mesir ke kota Madyan, kota Nabi Syu’aib (mertuanya), sebelum pada akhirnya diharuskan kembali ke Mesir untuk mengajak Firaun ke jalan Allah.
Demikian pula dengan Rasulullah SAW. Hijrah beliau ke Madinah merupakan proses alami dari perjuangan menuju kepada ‘kemenangan ummati’ itu. Perpindahan beliau bukan sekedar karena beratnya tantangan di Makkah, sebagaimana lazimnya dipahami oleh kaum Muslimin. Melainkan karena memang hijrah itu adalah tuntutan alami dari kemenangan kolektif umat.
Harakah dan Kemenangan
Tapi barangkali yang tidah kalah pentingnya adalah bahwa esensi hijrah adalah “pergerakan” (harakah/movement). Maknanya, perjuangan itu beresensi harakah (pergerakan). Perjuangan yang tidak beresensi pergerakan adalah perjuangan yang pasif dan lambat launa kan mengalami kematian. Oleh karenanya, hijrah sebagai esensi natural dari perjuangan menjadi tonggak utama dalam proses kemenangan ‘jamaa’i’ tersebut.
Pergerakan adalah karakteristik dasar alam semesta secara keseluruhan. Bintang-bintang dan matahri, bulan dan bumi, semua bergerak pada poros yang telah ditentukan. Komposisi tubuh manusia juga secara konstan mengalami pergerakan, dari sel-sel otak, jantung dan urat nadi, semuanya bergerak secara terus menerus.
Dengan demikian, perjuangan tanpa pergerakan ibarat alam semesta yang tidak lagi mengalami pergerakan. Pasti akan menemui ajalnya. Maka, perjuangan yang tidak mengalami pergerakan akan dengan sendirinya mengalami mati suri. Itulah sebabnya, hijrah menjadi esensial dalam perjuangan para Rasul sebagai indikasi bahwa perjuangan itu hidup dan bergerak menuju kepada kejayaannya.
Umat dan Perubahan
Bagi umat Islam, tuntutan perubahan merupakan tuntutan keagamaan (hajah diniyah), sebagaimana disampaikan oleh Al-Qur’an: “Sesungguhnya Allah tidak merubah nasib sebuah kaum, hingga kaum itu (berusaha) melakukan perubahan pada diri mereka sendiri”.
Maka, bagi umat Islam, pada akhirnya hanya ada dua pilihan: melakukan perubahan pada diri dan lingkungan (dan inilah esensi amar ma’ruf nahi mungkar) atau siap menjadi korban-korban perubahan yang terjadi. Kenyataannya, sejarah mengajarkan bahwa umat yang tidak cekatan dan antisipatif terhadap perubahan akan dipaksa oleh keadaan (apapun bentuknya) untuk berubah. Dan, perubahan yang dipaksakan hanya melahirkan berbagai penderitaan bagi umat itu sendiri.
Barangkali dari sekian bentuk hijrah (perubahan) yang asasi bagi umat ini, hijrah persepsi menjadi tuntutan yang paling mendasar. Pasalnya adalah bahwa persepsi merupakan dasar ‘judgment’ terhadap berbagai hal. Kesalahan persepsi menjadikan umat salah paham dan selanjutnya melakukan kesalahan dalam pengambilan berbagai sikap dan keputusan.
Masih banyak kita dapati contoh-contoh sikap umat ini yang perlu dibenahi (salah) karena kesalahan dalam mempersepsikan berbagai hal. Akibatnya, berbagai sikap atau keputusan yang dilakukan oleh sebagian anggota umat ini, tidak membawa solusi dan perbaikan untuk umat. Sebaliknya, justeru sikap dan keputusan itu semakin memberatkan beban umat dalam menghadapi berbagai permasalahan masa kini.
Dari sekian banyak persepsi yang memerlukan perubahan (tepatnya perbaikan), barangkali persepsi umat dalam tiga hal berikut menjadi sangat menentukan.
Pertama, hijrah persepsi dari persepsi keagamaan (keislaman) yang parsial ke persepsi yang menyeluruh (kaffah).
Kedua, hijrah persepsi dari persepsi tentang berbagai permasalahan keummatan dengan kacamata negatif ke persepsi dengan kacamata positif.
Ketiga, hijrah dari persepsi kehidupan yang terbatas (duniawi) ke persepsi kehidupan yang menyeluruh (berorientasi ukhrawi).
Islam Menyeluruh
Sebagian melihat Islam dengan pakaian (style) yang dipakai, misalnya dengan berpakaian jubah dan sorban. Sebagian pula melihat keislamannya dengan bentuk fisik seseorang, misalnya dengan panjang pendek janggutnya, praktek-praktek ritualnya seperti; shalat, puasa, dzikr, haji, dll.
Semua klaim-klaim keislaman atau ketakwaan itu adalah wajar-wajar saja. Yang salah kemudian adalah ketika masing-masing klaim itu diyakini sebagai representasi Islam itu sendiri. Islam seolah hanya identik dengan bentuk pakaian, yang secara kebetulan persepsi dominan mengatakan bahwa pakaian Timur Tengah (jubah) dan Asia Selatan (salwar ghamiz) adalah representasi pakaian ketakwaan. Di
Indonesia sendiri, seolah baju koko itu representasi ketakwaan.
Indonesia sebagai negara Muslim terbesar, mengirimkan jumlah jama’ah haji terbesar setiap tahunnya. Tapi pertumbuhan jama’ah haji itu tidak mampu mengurangi praktek kejahatan sosial, termasuk korupsi yang menggorogoti bangsa ini.
Pada tataran individual, berbagai indikator keislaman itu belum juga mampu menjadikan anggota umat ini menjadi manusia yang lebih baik.
Maka, menjadi tuntutan kepada umat ini untuk melakukan hijrah (perubahan) dari melihat Islam secara parsial ke Islam yang lebih menyeluruh: “Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam agama ini secara menyeluruh dan janganlah ikuti langkah-langkah syaitan, sesungguhnya syetan itu adalah musuh yang nyata bagimu.”
Di sinilah urgensi hijrah dari persepsi yang sempit lagi negative ke persepsi yang luas dan positif.
Akhirul kalam, sejak fathu Makkah, simbolisasi hijrah dengan perpindahan tempat tidak ada lagi. Ini ditegaskan oleh Rasulullah SAW dalam haditsnya: “Tiada hijrah lagi setelah Fathu Makkah, akan tetapi dengan niat dan jihad.”
Hijrah dengan niat bermakna komitmen untuk melakukan perubahan dalam hidup. Sementara jihad berarti usaha sungguh-sungguh agar komitment perubahan itu terealisir dalam kenyataan.
Masalahnya adalah perubahan memerlukan kerja keras, dan kerja keras memerlukan pengorbanan. Semua ini, komitmen, kerja keras dan pengorbanan merupakan asas kemenangan sejati, seperti yang telah dilakukan oleh nabi Ibrahim AS.
Selamat Tahun Baru 1433 Al-Hijrah! Semoga hari-hari mendatang akan lebih baik dari kemarin. Amin!
New York, 21 Desember 2011
Penulis adalah imam Masjid Islamic Cultural Center of New York