Oleh: Abdul Chair Ramadhan
SIDANG perdana kasus penistaan agama di Pengadilan Negeri Jakarta Utara dengan Terdakwa Basuki T. Purnama alias Ahok dengan agenda Pembacaan Dakwaan Penuntut Umum menimbulkan polemik ketika Penasehat Hukum menyampaikan Nota Keberatan (Eksepsi).
Eksepsi yang disampaikan penuh dengan unsur-unsur politis ketimbang yuridis.
Terdapat makna simbolik dalam benak Ahok dan Tim Penasehat Hukum untuk menunjukkan kepada khalayak bahwa justru Ahok sebagai pihak yang dirugikan atau sebagai korban.
Menjadi tidak masuk akal, ketika Nota dibacakan secara bergiliran sama sekali tidak memfokuskan kepada rumusan dakwaan yang alternatif yakni Pasal 156a huruf a atau Pasal 156 KUHP.
Penasehat hukum, menunjukkan sikap yang sepertinya tidak mengetahui secara pasti dakwaan Penuntut Umum.
Ketidakmengertian itu dikarenakan sulitnya Penasehat Hukum untuk membantah fakta-fakta hukum yang ada. Kondisi ini tentulah akan terus menyulitkan mereka untuk merumuskan Pembelaan pada sidang berikutnya.
Dengan demikian, dapat dimengerti, Penasehat Hukum mencoba manjadikan forum pengadilan sebagai ajang pentas kampanye untuk tujuan pragmatis.
Sesungguhnya, Ahok dalam posisi sangat sulit dalam menghadapi dakwaan yang alternatif itu.
Setidak-tidaknya, pasal yang dituduhkan sangat berkesesuaian dengan alat bukti yang tersedia.
Adapun pembelaan yang nanti akan disampaikan oleh Tim Penasehat Hukum tidak lebih hanya normatif belaka, dan lemah dalam timbangan yuridis.
Sidang Ahok Berikutnya, JPU Diminta Hadirkan Barang Bukti dan Saksi Menguatkan
Kegalauan yang berakhir kegagalan pastilah akan mereka temui.
Memperhatikan dengan seksama nuansa Nota yang dibacakan dengan berbagai pernyataan sebelumnya, terlihat mereka akan berlindung pada unsur kesalahan, tidak lain tidak bukan tentang kesengajaan sebagai syarat pertanggungjawaban pidana.
Pada setiap kasus penistaan/penodaan terhadap agama hampir semua Penasehat Hukum selalu berjuang keras menyatakan tidak adanya maksud atau kehendak yang didasarkan pada niat jahat (mens rea).
Namun, lagi-lagi mereka dihadapmukakan dengan kesulitan, yakni sudah terang benderang unsur kesalahan ada pada diri terdakwa.
Hanya ada satu hal yang dapat membebaskan Ahok terkait dengan kesalahan tersebut, yakni menghadirkan Ahli Kejiwaan yang menyatakan Ahok tidak waras alias “Gila” sebagai alasan hukum penghapus pidana.
Ini pun harus diterima oleh Majelis Hakim, yang mungkin menyatakan “tidak dapat dipidananya Ahok karena tidak dapat dipertanggungjawabkan karena Terdakwa Tidak Waras alias Gila.”
Jadi, pentas politik dalam panggung hukum kita menyaksikan adanya ‘orang gila didakwa oleh Penuntut Umum.*
Pendiri Dewan Strategis Jakarta & Pengurus MUI Pusat