Oleh: Hasrin
TERBUNUHNYA Tata Chuby (Deuhdeuh), seorang wnaita yang menjajakan dirinya secara online di Twitter oleh seorang pelanggannya, sempat menjadi informasi hangat di beberapa media beberapa hari lalu.
Tulisan ini tidak untuk membuat larut dalam memikirkan hal tersebut. Bagaimanapun ini adalah musibah, yang harus menjadi pelajaran, jangan sampai hidup yang hanya sekali harus berakhir di atas jalan yang hina. Na’udzubillah.
Yang dibahas dalam tulisan ini adalah permasalahan baru lalu timbul setelah kejadiaan tersebut, dimana ketika Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok selaku Gubernur DKI Jakarta menyatakan bahwa peristiwa itu terjadi akibat tidak adanya lokalisasi tempat pelacuran.
Dengan gayanya yang kasar dan arogan sebagaimana biasanya, Ahok bahkan “menyalahkan” solusi pembekuan lokalisasi yang pernah ditempuh, Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini. Menurut Ahok, justru kebijakan Wali Kota Surabaya yang menuai banyak simpati warganya itu dinilai menjadikan para pelacur berkeliaran di mana-mana.
Ahok mengatakan, sebagaimana dimuat di berbagai media, untuk menyelesaikan masalah pelacuran di Jakarta harus dilakukan lokalisasi lalu mengirim para rohaniawan sebagai pembinaan buat mereka.
Saat ini, menurut Ahok, tak sedikit para pelacur yang berkeliaran akibat tidak adanya lokalisasi tertentu buat mereka. Mereka lalu tampil melacurkan dirinya di pinggir-pinggir jalan yang ada.
Selain itu, Ahok juga mengusulkan, setiap Wanita Tuna Susila (WTS) akan diberikan sertifikat khusus. [Baca: Usulkan WTS Legal Berserfikat, Ahok Dikecam Netizen]
Sekilas solusi yang ditawarkan Ahok ini tampak baik. Namun sebenarnya ucapan itu sangat tidak logis dan rapuh.
Jika menggunakan logika berpikir Ahok, maka sebenarnya bukan hanya pelacuran yang dibuatkan lokalisasi. Mengapa tidak dibuatkan saja lokalisasi untuk para korupsi yang juga faktanya ada dan sudah merajalela di mana-mana? Misalnya, untuk memudahkan pengontrolan, maka para koruptor hanya boleh korupsi di kementrian ini dan departemen itu. Biar pemerintah mudah mengirim Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan penyidikan di sana.
Mengapa pula Ahok tidak sekalian melokalisasi para begal motor yang meresahkan itu? Juga lokalisasi khusus buat pengedar Narkotika dan Barang Terlarang (Narkoba) yang kini menjadi hantu masyarakat. Biar semuanya mudah terjangkau. Atau sekalian memberi sertifikasi khusus siapa yang boleh korupsi, sertifikat untuk pembegal dan pengguna Narkoba? Tentu tidak demikian bukan?
Meminjam istilah Ferry Koto, jika masyarakat mengikuti cara berpikir Ahok, karena kejahatan itu selalu ada sepanjang manusia ada, maka legalkan saja kejahatan. [Baca: Usulkan WTS Legal Berserfikat, Ahok Dikecam Netizen]
Dalam ungkapannya pula, Ahok sampai berencana membangun tower khusus buat perbuatan prostitusi yang jelas haram itu. Meskipun, wacana kontroversi itu sudah diralat kembali.
“Tower prostitusi itu hanyalah wacana. Saya cuma mau ngeledek,” ungkap Ahok seperti dimuat di Koran Harian Republika (29-04-2015).
Apakah pantas ungkapan demikian keluar dari seorang pemimpin (meskipun sebenarnya, menurut pendapat saya, inilah kecelakan terbesar, seorang Ahok bisa memimpin 250 juta penduduk mayoritas Islam. Sebuah persoalan besar yang meresahkan masyarakat, terkhusus umat Islam, tapi justru dibuat jadi guyonan semata.
Persoalan pelacur atau prostitusi sebagai objek bisa menghasilkan pandangan yang berbeda bagi setiap orang yang menilai. Ahok, dengan latar belakang non Muslim, tentu memandang penyelesaian masalah pelacuran dengan cara pandang dia. Bagi seorang Muslim pastinya juga harus memandang persoalan ini dengan tuntunan agama Islam.
Persoalan pelacur adalah permasalahan yang kompleks. Bisa dikata, ia bukan semata kesalahan oknum saja secara tunggal, tetapi melibatkan banyak faktor. Mulai dari orangtua sebagai pemegang amanah mendidik anak-anak hingga lembaga pendidikan yang kini seolah membuka “kran” terhadap pergaulan bebas serta tayangan televisi yang tak juga mendidik generasi muda. Belum lagi ekonomi masyarakat yang sedang carut marut dan ditambah lagi hukuman pemerintah yang tak juga memberi efek jera.
Islam adalah agama yang syumul (universal). Ia mengatur segala urusan manusia, kepada Tuhannya dan kepada sesama makhluk yang lain. Untuk urusan zina, sejak dini, agama telah memberi solusi preventif, yaitu jangan dekati segala hal yang bisa mendekatkan kepada praktik perzinaan.
Di masa awal ajaran Islam turun di Kota Makkah juga menghadapi kondisi masyarakat yang jahiliyah. Praktik pelacuran merajalela di mana-mana. Aksi pornografi dan pornoaksi menjadi sesuatu yang biasa, bahkan bisa terjadi di sekitar bangunan Ka’bah yang mulia sekalipun.
Bedanya, dengan sentuhan dan pendekatan iman, perlahan kemaksiatan itu terkikis. Hingga suatu ketika seorang wanita melapor dan meminta agar dirinya dihukum akibat zina yang dilakukannya. Inilah pentingnya iman sebagai dasar worldview seseorang.
Dengan kemudi iman, seseorang yang terjatuh dalam dosa dan maksiat masih mampu merasakan kegalauan hatinya. Rasa gundah yang mengantarnya pulang bertaubat kepada Allah Subhanahu Wata’ala.
Alhasil, jika boleh mengaku jujur, negeri ini sedang tertimpa musibah keimanan. Musibah iman, karena pemimpin dan umat Islam tak lagi memiliki iman selaku kemudi hawa nafsunya. Bahkan sang pemimpin seolah menjadi pioner untuk setiap kemaksiatan yang terjadi di penjuru negeri ini. Allahu musta’an.*
Penulis adalah mahasiswi Ma’had Ulil Albab, kampus UIKA – Bogor