Oleh: Rosdiansyah
ALHAMDULILLAH, Panwaslu DKI Jakarta membebaskan Bang Haji (Rhoma Irama) dari unsur pelanggaran Pemilukada (baca: Tak Terbukti-SARA, Rhoma Akhirnya Bebas]. Setelah melalui penelusuran seksama, runtut dan rinci, Panwaslu secara bijak memutuskan perkara itu. Meski tentu saja, ada pihak-pihak yang tak puas atas putusan Panwaslu tersebut yang kemudian mendiskreditkan Panwaslu. Lihat saja komentar, celotehan dan gosip berisi kekecewaan yang disebarkan, usai keputusan Panwaslu keluar. Barisan kecewa pada Panwaslu itu menuding bahwa lembaga pemilukada ini sudah ‘dibeli’ oleh pasangan tertentu. Celotehan sinis, komentar nyinyir bernada memojokkan semacam itu sangat mirip ulah agitator kurang kerjaan yang memang tidak siap berdemokrasi serta tak bisa menghormati putusan apapun dari lembaga yang jelas-jelas memperoleh mandat undang-undang untuk mengawasi pemilukada.
Mari kita tengok ke sejarah Orde Baru (Orba) sejenak. Para agitator ini biasanya menyelusup diam-diam ke masyarakat. Menyebarkan fitnah, hujatan serta caci-maki ke pelosok masyarakat atau sudut-sudut kota Jakarta. Praktek penyebaran fitnah ini khas kerjaan aparat intelijen Orde Baru yang suka memprovokasi masyarakat agar membenci seseorang atau kelompok tertentu. Modus operandi semacam itu mengingatkan kita pada trik-trik penyebaran isu, gosip atau rumor ala Ali Moertopo sebelum peristiwa Malapetaka Januari (Malari) 1974. Kala itu, antek-antek Ali Moertopo sibuk memfitnah kelompok mahasiswa dan komunitas Islam. Mereka memata-matai aktivitas komunitas Islam, sembari menyebarkan isu ‘gerakan Islam ekstrem’. Siapapun diwaspadai, tak peduli dia tokoh masyarakat atau cuma warga biasa. [baca juga artikel saya sebelumnya:
Siapa Menuding SARA, Terpercik Muka Sendiri]
Dalam paparannya bertajuk “Indonesian Muslim on Trial” (1987) yang diterbitkan oleh Tapol Organization dari London, pegiat HAM Carmel Budiarjo secara jelas menguraikan modus operandi kelompok Ali Moertopo yang sangat anti Islam dan anti-demokrasi. Kelompok ini doyan kasak-kusuk, gemar menuding dan suka memberi label SARA ke komunitas Islam, terutama jika ada Muslim yang hendak mengartikulasikan keberislamannya. Jebakan demi jebakan dipasang kelompok anti muslim ini guna memperangkap siapa saja yang dianggap sebagai lawan. Dengan piawai, antek-antek pendukung Ali Moertopo bersemayam ke dalam Kopkamtib yang memperkenalkan istilah SARA, dan menjadikan isu ini sebagai antitesis dari ekspresi keberislaman muslim di Indonesia. Jadi, kalau ada warga negara Indonesia meneguhkan di ruang publik ihwal keimanannya dan ingin menjalankan kesehariannya sesuai iman Islamnya, maka serta-merta ia akan dicurigai sebagai penyebar SARA.
Tudingan SARA merupakan senjata ampuh menghadang identitas keislaman. Seiring fajar demokrasi usai reformasi 1998, para penuding SARA secara sadar dan sengaja hendak mengembalikan ideologi Orde Baru. Melalui cara-cara tak demokratis, mereka ini menghembuskan berbagai isu yang intinya bertujuan memblokade peran politik serta artikulasi aspirasi muslim dalam panggung politik. Melalui tudingan SARA yang dilekatkan pada simbol-simbol keislaman, lalu sisa-sisa Orde Baru ini membungkam kemungkinan terjadinya komunikasi inter-subyektif antar aktor di alam demokrasi, terutama aktor beridentitas Islam yang sangat kuat. Menurut filsuf Jerman Axel Honneth dalam buku “The Struggle for Recognition” (1995), konflik sosial bermula dari ketiadaan pengakuan pada kelompok-kelompok sosial dimana aktor-aktor demokrasi berada. Dalam kaitan ini, sejak awal kemerdekaan Indonesia, umat Islam di Indonesia sudah sangat toleran mengakui keberadaan kelompok lain, namun sungguh ironi aspirasi muslim sendiri justru tak diakui bahkan terus dicurigai.
Prasangka apalagi curiga sudah menjadi cara pandang dan gaya hidup mereka yang ingin sok modern meski minim pemahaman apa itu modernitas. Selama ini mereka memahami modernitas sebagai keliaran dan berperilaku jalang. Penerjemahan modernitas semacam itu sembari melestarikan ideologi SARA Orde Baru jelas menjadi benalu mematikan bagi iklim demokrasi di Indonesia. Padahal, demokrasi dan modernitas adalah dua hal yang saling berkait satu sama lain, yang didalamnya faktor pengakuan menjadi prioritas.
Toleransi serta hidup bertenggang-rasa sekaligus ‘tepo seliro’ sudah ditunjukkan oleh muslim di Indonesia selama berpuluh-puluh tahun, namun ternyata seringkali kaum Muslim hanya bertepuk sebelah tangan. Sebab, tangan kaum Muslim yang lainnya justru telah ditelikung ke belakang lalu diseret ke hadapan kaum krisis iman. Kaum inilah yang menjadi serendah-rendahnya kelompok sosial anti-demokrasi.
Lucunya, ada kelompok Muslim puber pengidap minder pada kemodernan yang terpesona pada modernitas dan demokrasi sembari melecehkan iman. Selama bertahun-tahun sejak dekade ’90-an kaum Muslim puber ini mempertahankan jati-diri dalam keterbelahan. Pada satu sisi mereka tetap mempertahankan feodalisme (musuh demokrasi), sektarianisme serta primodialisme kelompok, pada sisi lain mereka ingin merengkuh pembebasan melalui kemodernan. Mereka membaca teks-teks klasik keislaman dengan baik, namun mereka gagap menghadapi feodalisme anti-kritik di internal kelompoknya. Jika keimanan bersifat lintas waktu dan tidak boleh ada ketundukan total pada selain Tuhan, maka sesungguhnya kelompok feodalis anti-kritik ini bukan saja berbahaya bagi sila pertama Pancasila, yakni Ketuhanan Yang Maha Esa, melainkan juga mengerikan bagi kehidupan berdemokrasi serta modernitas itu sendiri.
Keputusan Panwaslu DKI Jakarta pada kasus ceramah Bang Haji merupakan cara elegan membela sila pertama Pancasila, bahwa isu SARA tidak boleh menghalangi keimanan dan keyakinan seseorang diartikulasikan dalam ruang publik.
Secara tepat dan jeli, Panwaslu sudah mengemukakan alasan-alasan logis dan rasional sesuai akal sehat publik. Keputusan semacam itu jelas tidak ada urusannya dengan dukung mendukung. Terlalu kecil dan sepele jika artikulasi keimanan dinilai dalam bingkai dukungan pada salah-satu pasangan cagub-cawagub. Apalagi, kelompok yang tak puas pada putusan Panwaslu kemudian merengek-rengek, mencaci-maki dan menghujat ke sana-sini. Sikap seperti itu tentu tak dewasa dalam berdemokrasi.
Kini, demi ketertiban umum sesuai dengan perundangan yang ada, maka aparat penegak hukum harus melacak biang penuding SARA. Kita harus mendorong penegak hukum agar menelusuri bibit-bibit pengganggu ketertiban umum berdalih isu SARA.
Siapa yang menuding SARA maka ia yang harus bertanggungjawab, terutama menjelaskan kepada sidang publik kenapa ia menyebarkan tudingan itu meski cuma untuk bercanda. Ini urusan serius, tidak main-main.
Isu SARA jelas-jelas ada dalam kamus Orde Baru untuk tujuan anti-demokrasi, jadi siapapun penghembus isu SARA maka pada dasarnya ia adalah pewaris perilaku Orde Baru.
Kabarnya, Bang Haji tengah menelusuri penyebar isu SARA ini. Jika benar demikian, maka langkah Bang Haji layak diapresiasi. Demi demokrasi.*
Penulis adalah Kolektor buku dan kitab, tinggal di Surabaya