Oleh: Qosim Nursheha Dzulhadi
RENTETAN demonstrasi dan kritik terhadap film The Innocence of Muslims terus bergulir. Sepertinya tidak akan berhenti, sampai para pencaci dan penghujat Rasulullah berhenti. Kata “maaf” saja tidak cukup. Karena kasus pencemaran, penghinaan dan penghujatan model ini bukan yang terakhir kali. Komentar akhirnya muncul dimana-mana. Ada yang memojokkan umat Islam. Ada pula yang biasa saja. Tak sedikit pula yang emosional.
Sebenarnya, demonstrasi umat Islam adalah hal yang biasa. Tidak usah disoroti macam-macam. Apalagi kalau sampai ada tuduhan bahwa mereka adalah kaum fundamentalis dan anarkis. Ini statemen yang berbahaya. Berbahaya karena tidak menghargai perasaan umat Islam. Juga berbahaya karena dia sedang mengukur orang lain dengan baju yang dipakainya. Orang-orang yang bersikap sinis, berpandangan miring, bahkan menghujat para demonstran sejatinya orang yang tidak mengerti apa-apa tentang arti cinta kepada Rasulullah (hubb al-rasul).
Orang-orang yang turun ke jalan dan lapangan bukan menghujat film The Innocence of Muslims. Bukan untuk itu mereka turun dan melakukan demonstrasi. Mereka ini tengah mengekspresikan kecintaan mereka kepada Rasulillah saw. Tidak lebih. Lantas, bagaimana dengan sikap dan tindakan mereka yang dikesankan “anarkis” dan tidak bermoral ketika menyerang beberapa kedutaan besar Amerika yang ada di beberapa negara, termasuk Indonesia? Ini belum ada apa-apanya dibandingkan perasaan umat Islam yang tercabik dan terkoyak karena kehormatan nabi mereka dihina dan direndahkan. Kematian Dubes AS di Benghazi, Libya, John Christopher Stevens hanya bagian kecil dari bukti kecintaan umat Islam kepada nabi mereka.
Syeikh al-Islam, Imam Ibn Taimiyah sejak lama telah menulis buku penting bertajuk al-Sharim al-Maslul ‘ala Syatim al-Rasul (Pedang Terhunus bagi Pencaci Rasul). Buku ini penting, karena menjadi bukti betapa seorang Muslim tidak boleh luntur kecintaannya kepada Rasulillah. Siapa saja yang mencaci-maki Rasulillah hukumannya adalah “bunuh” (al-qatl). Jika mencaci-maki seorang Presiden saja bisa “dibunuh”, bagaimana pula dengan sosok Nabi saw. yang telah mengeluarkan umat manusia dari alam kezaliman kepada keadilan, dari kegelapan kepada cahaya. Bukankah Rasul pernah bersabda, “La yu’minu ahadukum hatta akuna ahabba ilahi min waladihi wa walidihi wan-nasi ajma’in,” (Tidaklah benar keimanan seorang dari kalian sampai aku menjadi orang yang lebih dia cintai dari anaknya, orangtuanya bahkan seluruh manusia sekalipun) (HR. al-Bukhari, Muslim dan al-Nasa’i).
Dalam sabdanya yang lain, Rasul pun menegaskan, seperti yang dituturukan oleh Nas ibn Malik, “Demi jiwaku yang ada dalam genggaman-Nya, tidak sempurna iman seorang dari kalian, sampai aku menjadi orang yang lebih dia cintai dari dirinya, hartanya, anaknya, bahkan seluruh manusia.” (HR. al-Bukhari).
Untuk itu, sangat wajar dan bisa dipahami jika kaum Muslimin kesal, protes bahkan demonstrasi ketika Nabi yang mulia dilecehkan, dihina dan direndahkan. Karena Nabi saw. bagi umat Islam adalah segalanya.
Kisah Khalifah ‘Umar ibn al-Khaththab menarik untuk dicermati. Suatu ketika, dia berkata kepada Rasulillah saw., “Demi Allah wahai Rasulillah, engkau adalah orang yang paling aku cintai dari apa pun, kecuali dari diriku sendiri.” Rasulullah kemudian berkata kepadanya, “Tidak begitu wahai ‘Umar. Engkau keliru. Aku harus lebih engkau cintai, bahkan dari dirimu sendiri.” ‘Umar sadar akan kekeliruannya, lalu berkata, “Demi Allah, engkau lebih aku cintai dari apapaun, bahkan dari diriku sendiri.” Rasulullah tersenyum dan berkata, “Sekarang, telah sempurna imanmu wahai ‘Umar.” (HR. al-Bukhari).
Sekali lagi, kaum Muslimin yang turun ke jalan-jalan bahkan menyerang beberapa kedubes Amerika, bukan memamerkan anarkisme. Tidak. Mereka sedang menyatakan kepada dunia, “Rasulullah adalah segalanya buat kami. Dia lebih kami cintai daripada diri kami, hartai kami, keturunan kami, bahkan dari seluruh manusia manapun.” Mereka cinta Rasul, bukan anarkis. Fa’tabiru ya ulil abshar!
Penulis buku “Lezatnya Menuntut Ilmu: Begini Seharusnya Anda Menuntut Ilmu”. Mengajar di Pondok Pesantren Ar-Raudlatul Hasanah, Medan