Oleh: Fahmi Salim
Hidayatullah.com | TIDAK ada negara di Asia Tenggara yang sebegitu pentingnya bagi Australia selain Indonesia. Begitu pula, bagi Indonesia. Hubungan kedua negara ini telah terjalin lama, sejak Indonesia merdeka pada tahun 1945.
Australia adalah salah satu negara pendukung kemerdekaan Indonesia dan menjadi negara pertama yang mengirimkan misi diplomatik untuk bertemu Presiden Soekarno. Negeri Kanguru ini, juga yang dipilih oleh Soekarno untuk mewakili Indonesia dalam diskusi-diskusi di tingkat PBB, yang akhirnya berujung pada pengakuan kemerdekaan pada tanggal 27 Desember 1949.
Meski demikian, sebagaimana dalam kehidupan bertetangga, tak selamanya mulus. Ada kalanya, ada krikil yang memicu konfik akibat kesalahpahaman. Masih banyak warga Australia, bahkan para pejabat yang salah memahami Indonesia. Lihat saja survei yang dilakukan Lowy Institute.
Sejak 2005, lembaga riset yang bermarkas di Sydney ini melakukan survei persepsi warga Australia tentang isu-isu global salah satunya tentang Indonesia. Survei terakhir pada tahun 2020 terungkap bahwa dari 2.400 responden, ternyata hanya 39 persen yang mengetahui Indonesia adalah negara demokrasi.
Meskipun lebih baik dari survei sebelumnya, sebagian besar warga Australia ternyata memiliki pengetahuan yang sedikit tentang Indonesia. Bahkan, masih ada yang menganggap Bali bukan bagian dari Indonesia.
Perjalanan hubungan diplomatik Indonesia dan Australia mengalami pasang surut, karena dipengaruhi sejumlah isu, antara lain seperti hukuman mati dalam kasus bom Bali, penyelundupan manusia, eksekusi mati terpidana narkoba warga Australia, hingga rencana pemindahan Kedutaan Australia di Israel dari Tel Aviv ke Yerusalem, yang memicu protes umat Islam di Indonesia.
Menurut Dr. Imron Hanafi, Atase Pendidikan dan Kebudayaan KBRI Canberra, saat ini antara Indonesia dan Australia berada dalam puncak hubungan baik. Ada kesadaran masing-masing negara untuk hidup bertetangga lebih baik lagi.
“Kalau ada sedikit konflik, itu wajar sebuah dinamika dalam hubungan diplomatik,” jelas dosen Hubungan Internasional FISIP Universitas Hasanuddin, seperti disampaikannya dalam program Ngaji Syar’ie (NGESHARE), “Ngaji dulu, Alim Kemudian”.
Mengelola hubungan mungkin tidak mudah bagi kedua negara, tetapi kepentingan bersama dalam perdagangan, investasi, dan keamanan regional telah membantu mempertahankan ikatan yang kuat ini. Kedua negara, menurut Imron Hanafi, sudah menunjukan sikap bersahabat, dan saling memberikan bantuan.
Misalnya, ketika terjadi Tsunami di Aceh pada tahun 2004, Australia termasuk negara yang paling pertama memberikan bantuan. Begitu pula Indonesia sigap mengirimkan tim kemanusiannya dari TNI saat Australia mengalami musibah kebakaran hutan dan lahan di Blue Mountain, New South Wales.
Hubungan baik antara Indonesia dan Australia juga bergantung pada dinamika kekuasan politik di kedua negara ini. Karena, masih ada anggapan bahwa meskipun Australia menginginkan Indonesia menjadi bangsa yang stabil dan makmur, di sisi lain, Australia juga tidak menginginkan Indonesia menjadi negara dominan di Asia Tenggara. Bahkan, bisa jadi Indonesia dianggap sebagai ancaman bagi Australia. Buktinya, hubungan Indonesia dan Australia sempat memanas akibat skandal penyadapan telepon Presiden Susilo Bambang Yudhoyo dan sejumlah menteri yang dilakukan inteliljen Australia dan dibocorkan Edward Snowden ke berbagai media di Australia pada tahun 2013 silam.
Tugas para diplomat seperti Imron Hanafi tentu memainkan peran yang strategis untuk menjaga hubungan antara Indonesia dan Australia tetap terjalin dengan baik. Australia merupakan salah satu destinasi pendidikan tinggi terbaik bagi warga Indonesia. Karena, menurut beliau, mutu pendidikannya setingkat dengan perguruan tinggi di Eropa dan Amerika Serikat. Apalagi Australia adalah negara anggota Commonwealth Inggris.
Saat ini, jumlah mahasiswa Indonesia yang kuliah di Australia sebanyak 17 ribu orang. Sebagian besar mereka mendanai sendiri biaya kuliahnya. Sebagian mahasiswa, ada yang didanai pihak pemerintah Indonesia, dan ada pula yang mendapat beasiswa dari pemerintah Australia.
Setiap tahun, Australia menyalurkan beasiswa untuk 400 orang setiap tahunnya, untuk mahasiswa pasca sarjana asal Indonesia. Minat mahasiswa Australia untuk belajar bahasa Indonesia juga cukup besar. Namun, terjadi penurunan sejak terjadi tragedi Bom Bali dan Teror Bom di Kedutaan Australia di Jakarta.
Warga Australia ketakutan untuk tinggal di Indonesia. Karena itu, tak bisa dinafikan masyarakat Australia masih memiliki persepsi negatif terhadap Islam, yang selalu dikaitkan dengan terorisme. Namun, menurut Imron Hanafi, kasusnya tak begitu massif.
Meski demikian, tentu, kita patut khawatir Islamophobia bisa semakin meningkat di Australia, menyusul peristiwa penembakan di Masjid Annoor dan Lindwood Islamic Center, Christchurch, Selandia Baru pada Maret 2019 lalu. Tak terbayangkan, di negeri yang terkenal aman ini, justru muncul teror yang menewaskan banyak umat Islam ini.
Umat Islam adalan warga minoritas di Australia. Diperkirakan umat muslim hanya 500 ribu atau sekitar 3% dari total populasi Australia yang sebanyak 24 juta jiwa. Meskipun demikian, Islam sesungguhnya telah menjadi bagian dari kehidupan warga Australia, seperti yang kita temukan di Islamic Museum Australia.
Islam pertama kali dibawa oleh para pelaut dari Makassar ke Australia pada tahun 1700-an. Para pelaut dari Makassar itu datang untuk mencari teripang di pantai utara Australia, salah satunya di daerah Arnhemland. Mereka menetap beberapa lama di Australia untuk membeli teripang dari penduduk asli, bangsa Aborigin. Pengaruh Islam juga dibawa oleh para imigran dari kawasan Timur Tengah, yang saat ini sudah menjadi warga negara Australia.
Saat ini, ribuan mahasiswa muslim berasal dari berbagai negara seperti Malaysia, Indonesia, India, Bangladesh dan Pakistan belajar di Australia. Mereka menjadi duta agama Islam, untuk menyampaikan Islam sebagai agama rahmat bagi alam semesta, bukan agama yang diidentikkan dengan terorisme dan radikalisme, sebagaimana anggapan sebagian warga Australia.
Umat Islam adalah umat yang terbuka, bisa belajar dari mana saja, termasuk dari Australia. Menurut Imron Hanafi, masyarakat Australia terbiasa dengan kehidupan yang disiplin, kerja keras, dan menghargai waktu.
Ada satu lagi, orang Australia itu sangat menyukai olahraga. Mereka menghargai hukum bukan karena takut dengan polisi, tapi sebagai penghargaan terhadap hukum itu sendiri. Karena itu, polisi tak banyak berkeliaran di perkotaan. Semua pelanggaran hukum sudah terekam dalam CCTV, dan setiap tahun tagihan denda akan dikirim ke alamat para pelanggar.
Selain sistem penegakan hukum yang modern, pemerintah Australia juga begitu peduli dengan kesejahteraan warganya. Sahabat saya, Dr. Cecep Solahuddin, MA dari Dompet Dhuafa yang bertugas di Australia juga memiliki kesan positif terhadap Australia.
Menurutnya, pemerintah bertanggungjawab terhadap rakyatnya baik warganya sendiri, maupun warga yang memiliki ijin tinggal di Australia. “Selain kesehatannya dijamin negara, juga kehidupan ekonominya,” jelas Ustadz Cecep, yang juga menjadi kontributor dalam program NGESHARE.
Akibat pandemi Covid19, banyak warga yang terdampak secara ekonomi. Karena itu, setiap minggu pemerintah Australia memberi bantuan sebesar 750 dolar Australia (AUD). Bahkan, kalau ada warganya yang memiliki penghasilan kurang dari 750 AUD, sisanya akan dibayarkan oleh pemerintah. Begitu pula, warga yang memiliki cicilan rumah atau mobil juga bisa mengajukan penangguhan pembayaran.
Keamanan dan kesejahteraan tentu menjadi cita-cita sebuah bangsa, sebagaimana pesan ilahi dalam surat Quraisy yang dibaca oleh Pak Imran. Alloh ta’ala telah menjaga sebuah negeri yang bernama Mekah dari ancaman ketakutan dan kelaparan. Alloh lah yang hancurkan pasukan gajah, Raja Abrahah yang ingin menghancurkan Ka’bah.
Kisah dalam Surat Quraisy meninggalkan banyak pelajaran, bahwa Alloh tengah menunjukan kemahakuasaan-Nya. Tentu tak sulit bagi-Nya, untuk menghancurkan pasukan sebesar dan sehebat pasukan Abrahah, bahkan, Alloh menghinakan kaum yang sombong dan dzolim ini. Hanya dalam sekejap, pasukan yang gagah berani itu, berubah jadi tak berdaya, dan akhirnya binasa. Diibaratkan dengan daun-daun yang bertebaran dan dimakan ulat.
Sebuah perumpamaan yang merendahkan dan menghinakan mereka. Dengan kebaikan Allah itulah, bangsa Quraisy mendapatkan segala kemudahan menjalankan roda bisnisnya pergi berdagang ke Yaman di musim dingin dan ke Syam di musim panas. Allah perintahkan mereka mensyukuri segala nikmat itu dengan mengibadahi Allah ta’ala yang telah membebaskan mereka dari rasa lapar dan takut.
Dalam rangka merayakan kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-75 ini, kita disatukan dengan sebuah cita-cita bersama, ingin menjadikan Indonesia Baldatun Thoyyibatun wa Robbun Ghofur (negeri yang aman, makmur dan sejahtera).
Namun, bagi orang-orang beriman, tak cukup kita bersandar pada kemampuan diri sendiri, karena ada Alloh Yang Maha Kuasa. Dengan mudah, Alloh menghancurkan suatu negeri karena penduduknya mendustakan ayat-ayat Tuhan dan berbuat zalim (QS. Al-Hajj: 45). Sebaliknya, tak sulit bagi Alloh untuk mengangkat derajat sebuah bangsa dan memberkatinya, karena keimanan dan ketaqwaannya (QS. Al-A’raf: 96). Wallohu ‘alam.*
Wakil Ketua Majelis Tabligh PP Muhammadiyah dan Komisi Dakwah MUI. Artikel ini disarikan dari program Ngeshare Bersama Atdikbud KBRI Canberra Dr. Imron Hanafi