Oleh: Qosim Nursheha Dzulhadi
ADA dua masalah penting yang harus cepat-tuntas diselesaikan oleh umat ini. Pertama, masalah ‘kemerdekaan’ Palestina. Kedua, upaya ethnic cleansing yang tengah terjadi terhadap kaum Muslim Rohingya.
Masalah Palestina adalah tanggung-jawab setiap individu Muslim, kata Syeikh Al-Qaraḍāwī. Lebih tegas, Rāghib al-Sirjānī menyatakan bahwa masalah Palestina masalah seluruh orang yang saleh dari umat ini. Karena ambisi para aggressor dan penjajah tidak akan pernah selesai. (Rāghib al-Sirjānī, Wājibāt al-Ummah (Kairo: Mu’assasah Iqra’, 1431 H/2010 M), hlm. 3).
Lebih dari itu, setiap kita harus ikut memikirkan Palestina: kiblat umat Islam pertama. Di dalamnya terdapat al-Masjid al-Aqṣā, tempat Rasulillah singgah dan menunaikan shalat sunnah bersama para nabi sebelum mi‘rāj (“naik ke langit bertemu) bertemu Allah. al-Masjid al-Aqṣā adalah masjid yang diberkahi sekelilingnya oleh Allah swt. (QS. al-Isrā’ (17): 1).
Bagaimana mungkin umat Islam dapat melupakan masjid dan daerah yang bersejarah dan penuh berkah itu (mubārak)?
Sayangnya, persatuan dan kesatuan dalam tubuh umat terbaik ini (khaira ummah, QS. Āl ‘Imrān (3): 110) seperti hilang ditelan suara bising dan hiruk-pikuk opini tak sehat mengenai Palestina.
Berbagai Konferensi Tingkat Tinggi (KTT, Summit) digelar. Berbagai seminar diadakan. Berbagai dialog dibuat. Hasilnya selalu menyedihkan. Seperti kata sindiran yang begitu menyayat hati, “ittafaqā ‘alā allā yattafiqū” (Mereka sepakat untuk tidak sepakat). Meskipun demikian, tidak berarti berbagai usaha yang telah berlangsung untuk Palestina dinafikan. Tapi umat ini butuh gerakan massif dari berbagai elemen umat, agar Palestina cepat merdeka dari “kungkungan” dan “kangkangan” Zionis-Israel yang biadab.
Sampai hari ini, Palestina masih terus dijajah oleh Zionis-Israel. Dan sampai hari ini pula kaum Muslimin dilukai hati dan perasaannya oleh berbagai aksi brutal dan amoral mereka. Seluruh lapisan umat ini menuntut pengadilan internasional bertindak tegas terhadap Zionis-Israel.
Namun setiap kali berharap, setiap kali itu pula harapan pupus. Yang lahir hanya kekecewaan dan kutukan yang hanya didengar oleh angin malam. Keadilan memang tidak berpihak kepada umat ini. Kezaliman sejatinya tengah berlangsung dan terus akan berlangsung. Kata ‘Imārah, “al-‘adā’ huwa li al-islām” (permusuhan atau kebencian hanya diarahkan kepada Islam. Hanya untuk Islam. Tidak untuk yang lain.) (Muḥammad ‘Imārah, Islāmiyyat al-Ṣirā‘ Ḥawla al-Quds wa Filasṭīn (Kairo: Naḥḍah Miṣr, 1998), hlm. 14).
Apa kemudian yang dapat diperbuat oleh negeri Paman Sam yang katanya negara adi-daya dan adi-kuasa. Ternyata di hadapan agresi Zionis-Israle mereka tenang-tenang saja. Konon lagi Israel adalah “anak emas” Paman Sam. Dan umat pun sejatinya tak dapat berharap banyak kepada PBB. PBB hanyalah akronim dari “Persatuan Barat Berdiskusi”. Diskusi mereka hanya untuk membiarkan Zionis-Israel membumi-hanguskan Palestina dan kaum Muslim di dalamnya. Setelah itu, negara Zionis akan berdiri di sana. Sepertinya, kemerdekaan Palestina harus tertunda lagi. Umat harus berpikir ulang: strategi apa yang harus dilakukan untuk menyelamatkan negerai para nabi itu.
Masalah Muslim Rohingya
Belum selesai masalah Palestina, konsentrasi umat kembali dialihkan ke masalah yang tidak kalah pentingnya: Rohingya. Kaum Muslim di sana ‘dibantai’ dengan sengaja. Bukan isapan jempol biasa. Tidak ada basa-basi. Apa yang dikatakan oleh Muḥammad ‘Imārah benar-benar terbukti. Islam memang harus dimusuhi. Kaum Muslimin dianggap tidak pantas hidup di muka bumi.
Baik Palestina maupun Rohingya, pemicunya sejatinya hanya satu: ajaran Islam. Tidak ada yang lain. Karena Islam lah mereka dijajah. Karena Islam pula mereka dijarah dan dihabisi. Kalau mereka bukan Muslim, tidak akan mendapat siksaan dan jajahan yang memilukan hati. Jika di Palestina ada gerakan zionisme yang jelas-jelas motivasinya adalah pembasmian Muslim Palestina. Bukan yang lain. Begitu juga dengan apa yang terjadi di Myanmar. Kaum Muslim Rohingya dibantai karena Islam yang mereka peluk. Bukan yang lain. Sebuah lembaga advokasi Kristen, Christian Solidarity Worldwide (CSW) menuduh pihak keamanan Myanmar sengaja ”berkolusi dengan massa, yang menyerang, membunuh dan menangkap warga Rohingya”. Bahkan telah menangkapi ulama Muslim, katanya dikutip ucanews.com, Jumat (02/11/2012). (“CSW: Aparat Myanmar Bersama Massa Menyerang Muslim Rohingya”, dalam hidayatullah.com, Ahad, 04/11/12).
Jika aparat sudah melakukan kolusi dengan massa untuk menghabisi kaum Muslim Rohingya, apakah PBB masih tinggal diam? Jika ia, maka benar bahwa Islam dari Maroko sampai Merauke akan dihancurkan. Sekali lagi, motifnya jelas: “Islam tidak boleh muncul. Islam tidak boleh hadir dalam kehidupan dunia”. Karena Islam merupakan ‘batu-sandungan’ bagi kepentingan Barat, apalagi Zionisme. Namun sekali lagi, kasus Rohingya mengingatkan kita betapa lemahnya persatuan dan kesatuan umat ini.
Masalahnya adalah Wahn
Tentu hati kita banyak yang bertanya-tanya: Mengapa sekian banyak negara yang mayoritas Muslim ‘dijajah’ oleh berbagai negara yang nota-bene berpenduduk non-Muslim? Ada apa gerangan? Adakah yang salah dengan umat Islam? Dus, apa yang harus segera dilakukan untuk menghapus dan membendung itu semua?
Menjawab ini, mari renungkan sabda Nabi Muḥammad saw. di bawah ini:
“Nyaris seluruh bangsa menyerbu dan membinasakan kalian, seperti halnya orang-orang yang menyerbu makanan di atas piring.” Seseorang berkata, “Apakah karena kita (kami) ketika itu minoritas (sedikit) wahai Rasulallah?” Beliau bersabda, “Bahkan kalian waktu itu banyak sekali, kalian mayoritas. Tetapi, kualitas kamu seperti buih di atas air. Dan Allah mencabut rasa takut musuh-musuhmu terhadap kalian serta menjangkitkan di dalam hatimu penyakit wahn.” Seseorang bertanya, “Apakah wahn itu?” Beliau menjawab, “Terlalu cinta dunia dan (akhirnya) takut mati.” (HR. Ahmad, Al-Baihaqi dan Abu Dawud).
Memang salah satu penyakit kronis umat ini adalah ḥubb al-dunyā: terlalu cinta kepada dunia. Padahal Allah menyajikan dunia ini sebagai jembatan akhirat (QS. al-Qaṣaṣ (28): 77).
Dua-duanya harus diraih dan dinikmati. Namun tetap, Akhirat itu lebih utama dan lebih kekal daripada dunia. Meskipun yang terjadi kebanyakan sebaliknya. (QS. al-A‘lā (87): 16-17).
Akibatnya, kata Nabi saw, karāhiyat al-maut: takut mati. Bagaimana tidak takut, dunia ini sudah menjadi “surga”. Kenikmatannya tidak dapat ditukar oleh apapun. Dunia adalah segala-galanya.
Tapi memang penyakitnya, kata Imam al-Ghazālī (w. 505 H/1111 M) bersumber dari para pemimpin agama yang jahat (‘ulamā’ al-sū’). Mereka ini banyak yang menganjurkan berlaku zuhud, namun perilakunya malah memperlihatkan sebaliknya. Lisan mereka bicara akhirat, tapi hatinya penuh dengan hasrat duniawi. Lisannya menyuruh umat menjauhi dunia, tapi prilakuknya menyeret mereka ke dalam jerat-jerat duni. (Lihat, Imam Abū Ḥāmid al-Ghazālī, Bidāyat al-Hidāyah, studi dan taḥqīq: Muḥammad ‘Utsmān al-Khasyit (Kairo: Maktabah al-Qur’ān, 1985).
Selain itu tentunya prilaku para pemimpin juga menjadi penyebab umat ini jauh dari ajaran agama. Prilaku zuhud yang semestinya ditampilkan, tetapi glamour duniawi yang ditampakkan.
Akibatnya, mereka tidak menjadi uswah ḥasanah dalam kehidupan. Umat akhirnya berlomba-lomba menumpuk harta-kekayaan. Pada gilirannya, harta-kekayaan itu merasuk ke dalam hati dan akhirnya sulit untuk dikeluarkan. Lahirlah penyakit al-wahn, kata Nabi: ḥubb al-dunyā wa karāhiyat al-maut, terlalu cinta pada dunia dan akhirnya takut mati. Wallāhu a‘lamu bi al-ṣawāb!
Penulis adalah pengajar di Pondok Pesantren Ar-Raudlatul Hasanah, Medan, Sumatera Utara. Penulis buku “Salah Paham tentang Islam: Dialog Teologis Muslim-Kristen di Dunia Maya” (2012)