Oleh: Imam Hanafi, SH
PATUT diacungkan jempol kepada Kasie Propam POLRES Jember atas ditangguhkannya dugaan penanganan kasus dugaan pemerkosaan yang diduga dilakukan oknum KAPOLSEK di Jember Jawa Timur pada tahun 2011 lalu sebagaimana diberitakan media layar gelas TV-One dan Metro TV beberapa waktu lalu.
Konon katanya kasus dugaan pemerkosaan ini dilaporkan Ny.E.S sejak tahun 2011 lalu,sekitar 7 bulan setelah terjadinya dugaan kasus pemerkosaan terjadi.
Logika Hukum Kemungkinan
Melihat saksi korban Ny E.S yang saat diwawancarai TV-One begitu polos,dengan tampilan mengenakan niqab alias cadar, ada kemungkinan dugaan kasus pemerkosaan yang dialamatkan kepada KAPOLSEK di wilayah Hukum POLRES Jember sebagaimana dugaan kuat Kasie Propam POLRES Jember memang benar terjadi, permaslahannya dalam ksus hukum apapun kesulitannya dalam pembuktian, dan aparat penegak hukum jangan sampai ada kesalahan proses terlebih terhadap oknum anggota POLSEK yang nota bene adalah aparat penegak hukum
Logika Moral Hukum
Sangat naïf dan tidak manusiawi kalau terbukti benar dugaan pemerkosaan ini dilakukan oleh oknum anggota POLSEK di wilayah hukum POLRES Jember. Pasalnya terduga oknum anggota POLRI adalah teman dekat suami korban,dan nota bene satu suku, serta berada dalam lembaga yang sama,dipertanyakan moralitas oknum anggota POLRI tersebut dikemanakan, sebagai aparat penegak hukum, pelindung masyarakat, malah melecehkan kaum wanita,bahkan diduga memaksa seorang wanita untuk berhubungan badan pada saat si korban dalam kondisi yang terjepit masalah, sungguh ini perlakuan yang sangat buruk,dan wajar apabila nantinya setelah terbukti bersalah diberikan hukuman seberat-beratnya.
Pemerkosaan dalam KHUP
Di KUHP Indonesia, kejahatan dalam bentuk pemerkosaan ini diatur dalam pasal 285 KUHP. Pasal ini diatur dalam BUKU II BAB XIV tentang kejahatan terhadap kesusilaan. Adapun pasal 285 KUHP menyatakan sebagai berikut: “Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa perempuan yang bukan istrinya bersetubuh dengan dia, dihukum karena memperkosa dengan hukuman penjara selama-lamanya 12 (dua belas tahun).”
Hakikat kejahatan seharusnya dilihat sebagai sesuatu yang merugikan korban, karena itu pidana yang dijatuhkan kepada pelanggar harus pula memperhatikan kepentingan si korban dalam bentuk pemulihan kerugian yang dideritanya. Kerugian yang harus dipulihkan tersebut, tidak saja kerugian fisik tetapi juga kerugian non fisik.
Untuk memperhatikan kepentingan korban pemerkosaan dalam penjatuhan pidana, bukan sekadar untuk memenuhi hak korban, bukan pula sekadar pertimbangan akal karena logika mengatakan demikian, tetapi lebih jauh dari itu adalah juga untuk kepentingan korban tersebut.
Hukum Pemerkosa Dalam Fiqh Islam
Perkosaan dalam bahasa Arab disebut al wath`u bi al ikraah (hubungan seksual dengan paksaan). Jika seorang laki-laki memerkosa seorang perempuan, seluruh fuqaha sepakat perempuan itu tak dijatuhi hukuman zina (had az zina), baik hukuman cambuk 100 kali maupun hukuman rajam. (Abdul Qadir Audah, At Tasyri’ Al Jina`i Al Islami, Juz 2 hlm. 364; Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, Juz 24 hlm. 31; Wahbah Zuhaili, Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu, Juz 7 hlm. 294; Imam Nawawi, Al Majmu’ Syarah Al Muhadzdzab, Juz 20 hlm.18).
Dalil untuk itu adalah al-Quran dan sunnah. Dalil al-Quran antara lain firman Allah (artinya), ”Barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa sedang dia tidak menginginkan dan tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS Al An’aam [6] : 145).
Ibnu Qayyim mengisahkan ayat ini dijadikan hujjah oleh Ali bin Abi Thalib ra di hadapan Khalifah Umar bin Khaththab ra untuk membebaskan seorang perempuan yang dipaksa berzina oleh seorang penggembala, demi mendapat air minum karena perempuan itu sangat kehausan. (Abdul Qadir Audah, At Tasyri’ Al Jina`i Al Islami, Juz 2 hlm. 365; Wahbah Zuhaili, Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu, Juz 7 hlm. 294).
Adapun dalil sunnah adalah sabda Nabi Muhammad, ”Telah diangkat dari umatku (dosa/sanksi) karena ketidaksengajaan, karena lupa, dan karena apa-apa yang dipaksakan atas mereka.” (HR Thabrani dari Tsauban RA. Imam Nawawi berkata, ”Ini hadits hasan”). (Wahbah Zuhaili, Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu, Juz 7 hlm. 294; Abdul Qadir Audah, At Tasyri’ Al Jina`i Al Islami, Juz 2 hlm. 364).
Pembuktian perkosaan sama dengan pembuktian zina, yaitu dengan salah satu dari tiga bukti (al bayyinah) terjadinya perzinaan berikut; Pertama, pengakuan (iqrar) orang yang berbuat zina sebanyak empat kali secara jelas, dan dia tak menarik pengakuannya itu hingga selesainya eksekusi hukuman zina. Kedua, kesaksian (syahadah) empat laki-laki Muslim yang adil (bukan fasik) dan merdeka (bukan budak), yang mempersaksikan satu perzinaan (bukan perzinaan yang berbeda-beda) dalam satu majelis (pada waktu dan tempat yang sama), dengan kesaksian yang menyifati perzinaan dengan jelas. Ketiga, kehamilan (al habl), yaitu kehamilan pada perempuan yang tidak bersuami. (Abdurrahman Al Maliki, Nizhamul Uqubat, hlm. 34-38).
Jika seorang perempuan mengklaim di hadapan hakim (qadhi) bahwa dirinya telah diperkosa oleh seorang laki-laki, sebenarnya dia telah melakukan qadzaf (tuduhan zina) kepada laki-laki itu. Kemungkinan hukum syara’ yang diberlakukan oleh hakim dapat berbeda-beda sesuai fakta (manath) yang ada, antara lain adalah sbb:
Pertama, jika perempuan itu mempunyai bukti (al bayyinah) perkosaan, yaitu kesaksian empat laki-laki Muslim, atau jika laki-laki pemerkosa mengakuinya, maka laki-laki itu dijatuhi hukuman zina, yaitu dicambuk 100 kali jika dia bukan muhshan, dan dirajam hingga mati jika dia muhshan. (Wahbah Zuhaili, Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu, Juz 7 hlm. 358).
Kedua, jika perempuan itu tak mempunyai bukti (al bayyinah) perkosaan, maka hukumnya dilihat lebih dahulu; jika laki-laki yang dituduh meperkosa itu orang baik-baik yang menjaga diri dari zina (al ‘iffah an zina), maka perempuan itu dijatuhi hukuman menuduh zina (hadd al qadzaf), yakni 80 kali cambukan sesuai QS An Nuur: 4. Adapun jika laki-laki yang dituduh memperkosa itu orang fasik, yakni bukan orang baik-baik yang menjaga diri dari zina, maka perempuan itu tak dapat dijatuhi hukuman menuduh zina. (Ibnu Hazm, Al Muhalla, Juz 6 hlm. 453; Imam Nawawi, Al Majmu’ Syarah Al Muhadzdzab, Juz 20 hlm.53; Wahbah Zuhaili, Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu, Juz 7 hlm. 346,Media Ummat).
Mencari Sebab Terjadinya Pemerkosaan
Dalam Kasus dugaan Pemerkosaan di Jember jelas sekali sebab musababnya adalah karena adanya khalwat, berduaan pria-wanita yang bukam mahram-nya. Ini sebab utama terjadinya kasus yang dialami Ny.E.S,di Jember Jawa Timur, ia lengah dan lalai jika khalwat dapat mendatangkan mara bahaya, fitnah dan pelecehan sekual. Boleh jadi saat terjadinya dugaan kasus
pemerkosaan itu Ny.E.S belum seperti sekarang, dengan busana yang sangat baik,dan sesuai sunnah Nabi Shalallahu’alaihi wa sallam. Boleh jadi juga masih ada alasan-alasan lain, namun sifatnya hanyalah empiris dan tidak prinsipil, sedangkan agama adalah induk seluruh ilmu pengetahuan.*
Aktif di Pusat Bantuan Hukum LP2TRI dan LP3K-RI TIM7& DPD KALTENG