Oleh: Muhammad Zulfikar
SETELAH mengalami penyakit stroke berkepanjangan sejak tahun 2006, mantan Perdana Menteri Israel Ariel Sharon akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya di umurnya yang ke 85 pada 11 Januari 2014.
Bagi sebagian orang, terutama mereka yang mengikuti perjalanan panjang konflik Israel-Palestina, Ariel Sharon bukanlah figur yang asing lagi.
Namanya selalu muncul di buku-buku sejarah Timur Tengah, media masa, dan juga artikel-artikel akademis. Sebagian orang menganggap Sharon sebagai seorang Pahlawan perjuangan kemerdekaan. Namun bagi kebanyakan orang Sharon adalah seseorang pembunuh yang telah menghabisi ribuan nyawa manusia.
Ariel Sharon lahir pada tahun 1928 di Palestina. Orang tua beliau adalah imigran Yahudi yang berasal dari Belarus. Di umurnya yang ke 14, Sharon bergabung dengan para militer Israel dan beberapa tahun kemudian menjadi anggota Haganah, organisasi para militer Yahudi.
Campur tangan Sharon di konflik Israel-Palestina bermula sejak awal berdirinya Israel pada tahun 1948. Ia dikenal dengan ketidakpeduliannya terhadap nyawa warga sipil dalam setiap perencanaan peperangan.
Peristiwa Qibya di tahun 1953 merupakan titik awal pertama kalinya Sharon berpartisipasi dalam serangan militer Israel.
Qibya merupakan sebuah kampong kecil di West Bank yang terletak tidak jauh dari garis hijau. Dalam serangan yang dipimpin Sharon tersebut, puluhan jumlah rumah terlahap habis oleh peluru-peluru Israel di saat penghuni masih berada di dalamnya.
Sekitar 69 wargasipil Palestina, di antaranya anak-anak dan wanita, terrenggut nyawanya. Walaupun PBB dan Amerika mengkutuk perbuatan Israel dan menyatakan bahwa yang bersalah harus diadili, sampai saat ini Sharon dan para prajuritnya belum pernah sekalipun dimintai pertanggung-jawaban atas perbuatan mereka.
Bahkan impunitas telah menjadi sebuah kebiasaan di dalam sejarah Israel dan Sharon.
Kejadian di Qibya ini perlahan tertutupi oleh perilaku-perilaku Sharon pada tahun-tahun selanjutnya.
Ia merupakan arsitek inti dalam penyerangan militer terhadap kamp pengungsi Sabra dan Shatila di Libanon pada tahun 1982.
Dalam kejadian ini, Sharon, yang pada saat itu menjabat sebagai menteri pertahanan, bersama dengan anggota militer Israel melakukan pembunuhan besar-besaran terhadap warga Palestina dan Libanon yang menjadi pengungsi di kamp-kamp tersebut.
Perilaku Sharon ini menghabiskan lebih dari 700 orang meninggal dan ribuan lainnya luka-luka.
Menurut sebuah komisi yang dipimpin oleh ketua pengadilan tinggi Israel, Yitzhak Kahan, Sharon bertanggungjawab atas perbuatannya dalam peristiwa Sabra dan Shatila karena telah memberikan lampu hijau kepada militer Israel untuk melakukan penyerangan.
Pada saat yang sama, sebuah laporan dari Komisi Kahan yang juga disetujui oleh kabinet Israel, Sharon harus segera dikeluarkan dari jabatannya dan tidak diperbolehkan sama sekali untuk menempati posisi menteri kembali.
NamunPerdanaMenteri Israel saatitu, Menachem Begin, menolak untuk mengeluarkan Sharon dari jabatannya dan Sharon juga menolak untuk dipecat.
Walaupun pada akhirnya Sharon mengundurkan diri dari posisinya, para politisi Israel tetap mengangkat Sharon sebagai Menteri tanpa portofolio.
Setelah beberapa tahun absen, Sharon akhirnya kembali menampakkan dirinya di panggung politik Israel saat melakukan kampanye premiership pada tahun 2000.
Di tengah-tengah kampanyenya, PerdanaMenteri Israel Ehud Barak sedang melakukan negosiasi perdamaian dengan pemimpin Palestina Yasser Arafat yang ditengahioleh Presiden Amerika Bill Clinton.
Untuk menghalangi usaha Ehud dalam ‘proses perdamaian’ dengan Palestina, Sharon dengan perlindungan pasukan militer memutuskan untuk melakukan kunjungan profokatif ke Bait Suci di Yerrussalem.
Tingkah laku yang ditujukan Sharon untuk merangsang kemarahan pendukung Ehud ini pada akhirnya membangkitkan kemarahan warga Palestina dan menjadi picu bermulanya pemberontakan yang nantinya menjadi Intifada Kedua.
Warga Palestina yang tinggal di wilayah Israel juga ikut serta dalam demonstrasi terhadap kunjungan Sharon. Namun, polisi-polisi Israel dengan cepat dan brutal mencoba untuk menghentikan mereka.
Dalam peristiwa ini sekitar 13 warga Palestina meninggal dan seribu lainnya luka-luka.
Pemberontakan dan demonstrasi terhadap kunjungan Sharon dan juga persiapan Pemilu Israel membawa ‘proses perdamaian’ dengan Palestina menjadi tak terurus. Hal ini lebih dipersulit lagi dengan kemenangan Sharon pada Pemilihan Umum yang menjadikannya terpilih menjadi perdana menteri Israel yang ke 11.
Sejarah pun terulang kembali. Jabatan Sharon daritahun 2001 hingga 2006 diwarnai oleh pelanggaran hukum internasional dan penindasan warga Palestinan.
Di masanyalah, perampasan teritori Palestina berada pada puncaknya. Walaupun perilaku Sharon tersebut merupakan pelanggaran hukum internasional, ia belum pernah dimintai pertanggungjawaban oleh pengadilan internasional atau pun PBB atasperbuatannya.
Sharon juga merupakan dalang di balik penggusuran ribuan warga Palestina dengan melakukan penghancuran terhadap rumah-rumah mereka. Selama lebih dari 5 tahun jabatan, sekitar 9000 warga sipil Palestina menjadi korban atas perbuatan Sharon.
Tentu saja, perilaku-perilaku Sharon ini sama sekali tidak meningkatkan ‘proses perdamaian’ antara Israel-Palestina. Bahkan menurut Dov Weisglass, ajudan Sharon pada saat itu, tingkah laku Sharon memang sengaja ditujukan untuk menghentikan adanya ‘proses perdamaian’. Ia percaya bahwa jika negosiasi perdamaian gagal, maka Negara Palestinatidak akan pernah berdiri. Maka dengan menggunakan segala cara Sharon berusaha agar ‘proses perdamaian’ Palestina-Israel tidak pernahberlanjut.*
Penulis asisten peneliti di jurusan Hubungan Internasional dan Politik Timur Tengah dari Universitas Qatar