Oleh: Asiandi *)
Peristiwa peledakan bom Bali terjadi lagi, kali ini kita menyebutnya dengan peledakan bom Bali II. Sebanyak 25 orang tewas dan 102 lainnya luka-luka akibat dua ledakan bom di Bali, Sabtu (1/10) malam. Ledakan tepatnya terjadi di Raja’s Bar and Restaurant, Kuta Square, dan di Nyoman Café di dekat Hotel Four Seasons, Jimbaran (Kompas, 2/10).
Yang menarik dalam mengikuti peristiwa peledakan bom Bal II ini, sebagaimana pernyataan adalah bagaimana kekerasan yang terjadi dikemas oleh media massa untuk dijadikan modal pencitraan publikasi (social currency) sebagaiamana pernah disampaikan oleh Jean Baudrillard, penulis paling penting dan paling provokatif di era kontemporer. Pencitraan ini dapat kita baca secara langsung pada Harian Sidney Morning Herald (SMH) Australia. SMH, misalnya, menulis;
“Australia believes Jamaah Islamiah is likely responsible for the latest string of attacks – the same group blamed for the 2002 bombings”. “There is no doubt the al-Qaeda linked terror group Jamaah Islamiah (JI) is responsible for the latest Bali Bombings,” demikian SMH mengutip pernyataan Rohan Gunaratma. Rohan Gunaratma adalah kepala penelitian terorisme pada Singapore’s Institute of Depence and Strategic Studies.
“Jamaah Islamiah is the only group that has the intention and the capability to mount a coordinated simultaneous attack against Western targets in Indonesia,” masih dari pernyataan Gunaratma. Senada dengan Gunaratma, seorang pakar terorisme Australia Clive Williams, mengatakan “The latest wave of bombings in Bali shows that JI still active, despite the Indonesia Government’s attempts to put its key leaders behind bars.”
Sedangkan Menteri Luar Negeri Australia, Alexander Downer, kepada stasiun televisi ABC mengarahkan pelaku bom Bali II ini kepada Azahari Husin dan Noordin Top. “It wouldn’t be a surprise if this attack was tied up with those two people, but you can’t be certain this stage. It’s just got the characteristics of an al-Qaeda, well al-Qaeda but Jamaah Islamiah style attack and an attack that might have involved those two people. It’s mere speculation at this stage,” demikian pernyataan Downer.
Sebuah pengelabuhan?
Kita semua sepakat bahwa peledakan bom dengan sengaja yang mengakibatkan puluhan bahkan ratusan orang meninggal dan luka-luka adalah perbuatan yang ditentang oleh akal sehat dan hati nurani.
Tapi kita juga tidak dapat menerima begitu saja kalau ada pernyataan yang menuding pihak-pihak tertentu adalah pelakunya—sementara penyelidikan belum tuntas dan bahkan belum sama sekali dilakukan. Upaya tudingan tak berdasar semacam ini dapat mengarah kepada upaya pengelabuhan informasi dan pengelabuhan realitas.
Menurut Yasraf Amir Piliang (Posrealitas, 2004: 215-216), lewat sebuah aksi teror bom dapat diciptakan pengelabuhan informasi (deception) dan pengelabuhan realitas (hyper-reality), disebabkan ia bisa di-setting di suatu tempat umum, yang dengan segera menimbulkan konotasi, kecurigaan, dan tuduhan segera pada satu pihak atau kelompok.
Upaya pengelabuhan ini, dikatakan Yasraf, akan dapat menggiring ke arah sebuah sistem fitnah terbuka (general blackmail), yang di dalamnya siapa pun bisa dituduh dan difitnah sebagai pelaku, padahal boleh jadi sang penuduh itulah pelaku yang sesungguhnya dan menurut Yasraf, inilah virtual terrorism.
Yasraf lebih lanjut mengajak kita untuk membedakan antara teroris sejati (true terrorist), yang menyebar kekerasan, sambil menyatakan bahwa dirinya bertanggungjawab, serta teroris virtual (virtual terrorist), yang melakukan peledakan bom, akan tetapi dengan menggunakan tangan-tangan orang orang bayaran, yang bertindak seolah-olah (as if): seolah-olah sebagai anggota kelompok tertentu (seperti al-Qaeda—yang katanya terkait dengan JI), seolah-olah beragama tertentu, seolah-olah dari bangsa tertentu. Mereka berlindung di balik kambing hitam dengan memproduksi teror-teror palsu (simulacrum of terror).
Mengutip perkataan Boudrillard, Yasraf menjelaskan simulasi teror (simulation of terror) sebagai sebuah bentuk politik realitas (politics of reality), yaitu sebuah cara mempermainkan realitas, psikologi massa, citra, opini publik untuk kepentingan politik tertentu.
Yasraf mengatakan adalah Noam Chomsky, seorang filsuf Amerika yang berani menuduh AS sebagai “teroris yang berteriak teroris.”
Chomsky menunjukkan berbagai bukti bahwa AS telah mempunyai pengalaman historis dalam mengondisikan atau menciptakan aksi teror di berbagai wilayah seperti Nikaragua, El Salvador, Palestina dan Lebanon, yang telah menimbulkan korban yang tewas jauh lebih kolosal dibandingkan dengan korban WTC.
Menurut Chomsky, AS berhasil membungkus dengan halus kegiatan teror yang menakutkan itu atas nama teroris internasional, dan AS adalah negara yang berkewajiban memerangi para teroris tersebut atas nama pembalasan atau tindakan medahului teror (contra intelligence), keadilan tak terbatas (infinite justice) atau perdamaian global (global peace).
Setidaknya pernyataan Chomsky ini akan dapat mengingatkan kepada AS dan sekutunya (Australia dan Inggris) agar dalam membuat pernyataan dan mengambil sikap untuk tidak gegabah—mengerem tindakanya—menuduh atau menuding pihak-pihak tertentu untuk kepentingan politik globalnya yang merugikan pihak lain. Kalau tidak –sebaliknya– sekutu ini akan menjadi tertuduh sebagai teroris virtual (virtual terrorist).
Islam Sebagai Tertuduh
Bukan tidak mungkin adanya konstruksi atau citraan oleh tokoh-tokoh AS dan sekutunya pada media massa yang menuding Jamaah Islamiah (JI)—terlepas dari benar atau tidaknya bersalah di kemudian hari—akan dapat berpengaruh terhadap kedamaian dan ketentraman hidup bagi umat Islam sedunia.
Umat Islam akan dipaksa menyandang stigma sebagai pelaku tindak kekerasan karena dikait-kaitkan dengan JI dan al-Qaeda misalnya (sebab kedua faksi ini ada kaitannya dengan Islam itu sendiri).
Dampaknya akan memunculkan adanya tindak diskriminasi kepada umat Islam berupa pengucilan, penghinaan dan pelecehan bahkan sampai kepada tindak kekerasan. Kita tentu tidak berharap hal ini terjadi.
Padahal sesungguhnya tuduhan kepada kedua orang anggota JI–Azahari Husin dan Noordin Top—pun sampai dengan detik ini masih saja bersifat tersangka (suspect) yang belum mampu dibuktikan kebenarannya secara jelas. Azahari dan Noordin hanyalah tersangka—yang mungkin dikambinghitamkan—dalam pembuatan bom yang digunakan pada pengeboman Bali Oktober 2003, di mana 202 orang terbunuh dan pengeboman Hotel Marriot Agustus 2003, di mana 12 orang terbunuh. Fakta sebenarnya kita semua sedang menunggu dan bertanya-tanya dengan sikap ingin tahu.
Adanya tuduhan yang bersifat menggiring kepada kelompok dan agama tertentu akan bermakna sama dengan menyematkan bom waktu yang dapat meledak sewaktu-waktu dengan daya ledak yang lebih membahayakan bagi perdamaian dunia.
Adalah ironi namanya jika AS dan sekutunya belum mampu menangkap men behind the bomb setelah melakukan investigasi bertahun-tahun lamanya tanpa hasil yang memuaskan. Logikanya jika hanya untuk menangkap perencana dan pelaksana (masterminds) eksekusi bom yang sudah diketahui dengan jelas identitasnya seperti Azahari Husin dan Noordin Top adalah perkara kecil untuk negara secanggih AS dan sekutunya. Akhirnya setelah menunggu lama kita dipaksa untuk mempertanyakan ada apa dibalik semua ini? Apakah ini sebuah rekayasa?
Pertanyakan yang kita ajukan ini tentu saja sangat berdasar dan beralasan kuat. Sebab kita semua tahu AS dan sekutunya adalah negara-negara yang berkemampuan tinggi dengan teknologi mutakhir dalam hal teknologi kemampuan penglihatan global (global vision), pengintaian global (global surveillance), dan pengendalian operasi global (global operation). Teknologi ini sangat sensitif, presisi, dan cepat. Dengan kemampuan ini mereka akan dapat merekam setiap rencana, gerak-gerik, dan tindakan setiap orang (termasuk teroris) kini dapat terlihat, terdengar, dan terekam oleh mesin-mesin intelijen tersebut (Piliang, 2004: 211).
Jika AS dan sekutunya belum mampu membuktikan kepada warga dunia akan kebenaran sosok terorisme yang sebenarnya, maka masyarakat dunia berhak mengajukan suatu prejudice atau preconception akan adanya suatu konstruksi ideologis citra-citra tentang musuh dan diri sendiri, yang oleh Chomsky—seperti dikutip Yasraf– dikatakan akan menyembunyikan secara halus, tak terlihat, rapi dan terorganisir kenyataan yang sebenarnya.
Ideologi yang dikonstruksikan ini merusak secara psikologis atau pikiran atau disebut soft-terrorism di mana terjadi pemaksaan halus dan tak tampak untuk mematuhi suatu citra dan ilusi tertentu. Melalui soft terrorism ini AS dan sekutunya memaksakan pemaknaan mereka tentang teror, terorisme dan teroris untuk dijadikan sebagai konsensus global (global consent).
Melalui soft-terrorism ini diciptakan pula berbagai citra ketegangan global yang didukung oleh berbagai bentuk operasi intelijen, intervensi politik dan tindakan militer ke seluruh penjuru dunia. Dampaknya adalah ketakutan, kepanikan, ketidakberdayaan, keputusasaan, dan trauma dalam skala global (Piliang, 2004: 218).
Umat Islam tidak ingin menjadi bulan-bulanan ketakutan dan kepanikan yang diakibatkan tindakan yang tidak dilakukannya sendiri. Tidak ingin menjadi tertuduh dan pesakitan terhadap hal-hal yang bukan perbuatannya. Islam mengajarkan keselamatan dan Islam itu sendiri adalah rahmat bagi sekalian alam (rahmatan lil ‘alamiin). Wallahu a’lam.
Penulis adalah dosen Universitas Muhammadiyah Purwokerto (UMP) Jawa Tengah, Mahasiswa S2 Asia University of Taiwan