Oleh: Ady C. Effendy
SIAPA insan di muka bumi yang tidak menginginkan kebahagiaan?
Dari profesi yang tergolong terpandang hingga profesi yang tergolong rendah dalam pandangan manusia, semua insan mengejar kebahagiaan.
Atas alasan kebahagiaanlah manusia seringkali melakukan segala daya upaya baik halal maupun haram demi meraihnya.
Pemahaman kebanyakan manusia tentang kebahagiaan yang seringkali terbatas hanya pada materi telah membuat manusia terkadang salah langkah dan bahkan terjerumus pada kenistaan hidup karena menggunakan cara-cara yang tidak syar’i dalam mengejarnya.
Hal pertama yang harus dimaklumi oleh siapapun yang mengejar kebahagiaan adalah bahwa kebahagiaan bukanlah semata terkait dengan materi, meskipun sebab-sebab materi merupakan salah satu bagian dari kebahagiaan.
Islam memandang aspek materi sekadar sebagai sarana dan bukanlah tujuan dalam menggapai kebahagiaan. Oleh karenanya Islam meletakkan fokus utama dalam mendapatkan kebagiaan pada aspek maknawiyah atau ruhaniyah yang merupakan cara utama untuk memunculkan prilaku yang lurus dan dirahmati-Nya.
Allah swt berfirman:
مَنْ عَمِلَ صَالِحاً مِّن ذَكَرٍ أَوْ أُنثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُم بِأَحْسَنِ مَا كَانُواْ يَعْمَلُونَ
“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. An Nahl [16]: 97)
وَمَنْ أَعْرَضَ عَن ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنكاً وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى
“Maka jika datang kepadamu petunjuk daripada-Ku, lalu barangsiapa yang mengikut petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka. Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta.” (QS. Thahaa [20]: 124)
Meski demikian, agama Islam tidaklah menyangkal secara mutlak dan mengakui bahwa sebab materi merupakan salah satu dari unsur-unsur kebahagiaan di dunia, sebagaimana Allah subhanahu wata’ala berfirman:
قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالإِثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَن تُشْرِكُواْ بِاللّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَاناً وَأَن تَقُولُواْ عَلَى اللّهِ مَا لاَ تَعْلَمُونَ
Katakanlah: “Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan rezki yang baik?” Katakanlah: “Semuanya itu bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus bagi mereka di hari kiamat.” Demikianlah Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi orang-orang yang mengetahui.” (QS. Al A’raaf [7]: 32)
Rasulullah bersabda: “Termasuk pelengkap kebahagiaan anak Adam adalah istri yang sholihah, tempat tinggal yang baik dan kendaraan yang nyaman.” (H.R. Imam Ahmad)
Kampung Abadi
Kebahagiaan hakiki, karenanya, tidaklah mesti semata karena harta yang berlimpah. Keimanan seorang insan manusia dan kefahamannya tentang hakikat keberadaan dirinya diatas muka bumi serta mujahadah dirinya untuk melakukan amal shalih dengan memberikan kontribusi kerja-kerja nyata yang dinikmati manfaatnya oleh umat manusia dan umat Islam akan menerangi akal dan kalbunya dengan kebahagiaan hakiki.
Banyak jabatan dan segi kemakmuran duniawi seringkali justru menjerumuskan seseorang pada kebinasaan.
Berapa banyak kita saksikan berita tentang artis-artis yang dengan ketenaran, kekayaan dan segala yang dimiliki mereka justru terjerumus pada kehampaan dan kemalangan hidup?
Tidak sedikit dengan ketenarannya justru mereka mencari pelarian pada obat-obat narkotika dan alcohol, seolah itu cara penyelesaian hidupnya.
Keluarga yang terdiri dari anak-anak dan istri pun bisa menjadi sumber kecemasan dan kedukaan dalam hidup apabila tidak dididik dengan nilai-nilai islami dan cita-cita yang robbani.
Sudah sering kita saksikan di usia anak sudah banyak berbuat criminal, melukai dan mencelakakan orang lain. Kisah istri yang tidak menjaga amanah rumah tangga, sudah menjadi hiasan dan bahan pemberitaan TV. Semua ini dalam rangka untuk diambil hikmah dan pelajaran bagi orang-orang yang memiliki akal dan hati.
Keserakahan terhadap harta pun telah menistakan banyak sekali insan manusia di belahan dunia manapun, terkhusus lagi di tanah air kita Indonesia.
Segala kemalangan hidup dan kedukacitaan akibat harta ini seyogyanya membuat seorang insan tersentak dan kembali kepada akal budinya yang lurus dan kalbunya yang bersih untuk bersegera mengingat kembali hidayah-Nya dan mengorientasikan hidupnya kepada tujuan-tujuan memakmurkan dunia sesuai tuntunan-Nya. Bukannya menghabiskan umurnya yang singkat untuk mengejar harta benda yang pada akhirnya pun tidak akan dibawa ke kampung akhirat yang abadi nan kekal, itulah tempat kebahagian sejati kita nanti.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam juga bersabda: “Bukanlah kekayaan itu dari banyaknya harta benda, akan tetapi kekayaan (hakiki) itu adalah kekayaan hati.” (HR. Al Bukhori). Wallahu a’lam bisshowab.*
Penulis adalah Sekretaris Umum Indonesian Muslim Society in Qatar (IMSQA)