Oleh: Kholila Ulin Ni’ma
INDONESIA memiliki jumlah pemuda yang cukup besar yaitu 40.8 juta atau 40% dari total jumlah pemilih. Artinya sangat besar pula peran politik pemuda dalam mempengaruhi arus pergerakan perubahan negeri ini. Suara komunitas pemuda yang besar menjadi sasaran berharga dalam pemilu pada sistem demokrasi. Terlebih lagi, salah satu potensi pemilih muda terbesar ada di civitas akademika kampus. Sehingga kaum intelektual tersebut menjadi magnet tersendiri dalam rangkaian agenda politik jelang Pemilu 2014, sebab posisi strategisnya tidak hanya di lingkungan kampus, namun juga mampu mempengaruhi arah opini publik sekaligus menjadi pressure pengambil kebijakan.
Memang benar, para pemuda (dalam hal ini para mahasiswa) yang notabenenya kaum intelektual mempunyai peran strategis menuju perubahan.
Kontribusi mereka sangat berarti dalam meninggikan peradaban. Dengan akses informasi yang luas, daya nalar dan analisanya yang kuat serta kemandiriannya dalam bersikap semestinya mereka memiliki tanggung jawab untuk memberikan arah yang benar pada perubahan yang terjadi di tengah umat guna mewujudkan Indonesia yg lebih baik. Namun, jangan sampai kaum intelektual ini terjebak dalam sistem saat ini. Mereka sepatutnya mencari permasalah mendasar atas berbagai kerusakan multidimensi yang sedang terjadi. Dari akar masalah yang telah mereka pahami itu, maka mereka bisa melakukan perubahan revolusioner dan universal, bukan hanya perubahan yang bersifat parsial.
Sesungguhnya berbagai kekacauan yang ada sekarang bukan sekedar karena pemimpin negeri ini yang tidak amanah menjalankan tugas. Namun lebih dari itu, disebabkan oleh sistem demokrasi yang jelas-jelas rusak dan merusak negeri ini (dan juga berbagai negeri yang mengembannya). Adanya perbaikan kondisi bangsa melalui mekanisme pesta demokrasi adalah harapan semu belaka.
Hasil-hasil survey mereka terkait kondisi politik hanya mendukung politik pencitraan untuk menutup borok sistem yang ada. Sistem politik yang berbasis kebebasan ini telah melahirkan undang-undang yang memfasilitasi kemaksiatan dan kejahatan, memberikan janji palsu kesejahteraan dan keadilan, serta melegalkan lepasnya tanggung jawab negara untuk memberikan hak-hak rakyat.
Lihat saja fakta negeri demokrasi saat ini. Bukan rahasia lagi, mulai dari para calon legeslatif maupun eksekutif, mereka mengobral janji kesejahteraan dan keadilan kepada rakyat. Uang dibagikan, kaos dan sembako digratiskan, stiker disebar, bahkan tak jarang mobil mewah diberikan dengan cuma-cuma. Mereka saling berebut kursi kekuasaan dan membayangkan hidup serba kecukupan.
Pada akhirnya, ketika benar-benar terpilih, mereka lupa dengan janji manis yang dulu diberikan. Hari-harinya dihabiskan untuk berupaya mengembalikan modal yang telah digunakan pada masa kampanye. Tak dapat dielakkan lagi, undang-undang yang menguntungkan para pengusaha pun dibuat.
Hal ini bukan suatu yang mengherankan, mereka melakukan itu karena politik balas budi kepada para pengusaha yang telah membantu mereka untuk bisa duduk di kursi parlemen. Dari mana mereka mendapatkan dana kampanye milyaran bahkan triliyunan rupiah jika bukan dari kalangan pengusaha yang memiliki modal? Dan tentu saja, tidak ada makan siang gratis di sistem kapitalisme saat ini.
Walhasil, banyak sumber daya alam Indonesia yang harusnya menjadi hak rakyat, justru saat ini dikuasai para kapitalis di bawah perlindungan undang-undang yang telah disahkan di parlemen. Apalagi kalau bukan sebagai imbalan atas jasanya membantu para calon itu duduk di kursi.
Demokrasi bukanlah hanya persoalan pemilihan pemimpin, demokrasi juga bukan hanya menghormati hak seseorang sebagai manusia, demokrasi pun bukan juga hanya persoalan menghormati perbedaan pendapat.
Namun, jika dilihat berdasarkan prinsipnya, maka demokrasi adalah: menjadikan setiap rakyat memiliki kedaulatan untuk membuat hukum, mengambil hak Tuhan sebagai pembuat hukum lalu menyerahkannya kepada manusia. Sebab demokrasi memberikan kepada semua rakyat untuk menikmati kebebasan secara universal.
Dalam sistem inilah, ilmu pengetahuan tidak dihargai. Orang pintar disamakan haknya dengan orang bodoh, seorang profesor ilmu politik memiliki hak suara yang sama dengan pemabuk dan penzina. Seorang yang taat beragama disamakan hak suaranya dengan seorang preman, pengangguran dan oportunis, sebab yang diambil adalah suara terbanyak.
Namun meski demikian, ternyata banyak ketidakkonsistenan dalam penerapan suara terbanyak ini.
Kita ambil contoh pada tahun 2011 di Indonesia, ”Hasil jajak pendapat Lingkaran Survei Indonesia, sebanyak 86,6 persen responden menyatakan menolak jika harga bahan bakar minyak bersubsidi dinaikkan pemerintah. Hanya 11,26 persen setuju kenaikan dan sisanya, yakni 2,14 persen, tidak menjawab”.
Hasil survei itu disampaikan oleh peneliti LSI, saat jumpa pers di Jakarta. Dan begitulah demokrasi? Saat itu pemerintah tetap menaikkan BBM. Tipuan belaka, dari dulu demokrasi adalah alat untuk mengambil hak Allah dalam menentukan halal-haram berdasar suara terbanyak, tapi bila berhadapan dengan kedzaliman penguasa, suara terbanyak hanya mimpi. Yang ada adalah suara penguasa dan pengusaha.
Kasus FIS di Aljazair atau Refah di Turki. Pada tahun 1991, FIS memenangkan 188 dari 231 kursi parlemen Aljazair, tetapi kemudian militer yang direstui Prancis menganulir Pemilu dan menangkapi para pemimpin FIS. Tahun 1996 partai Refah yang memenangkan Pemilu di Turki bahkan telah memerintah dengan Najmudin Erbakan sebagai perdana menteri.
Namun, pada 1997 terjadi kudeta militer dengan alasan Refah memiliki agenda Islam yang bertentangan dengan konstitusi. Pada 1998, Mahkamah Agung Turki menyatakan Refah menjadi partai terlarang. Dan yang terakhir di Mesir saat Presiden Mohammad Mursy yang meraih jabatan itu melalui Pemilu kemudian secara keji dikudeta oleh pihak militer dengan dukungan negara Barat. Bukan hanya mengkudeta Mursi, militer Mesir juga membubarkan Al Ikhwan al Muslimun setelah sebelumnya membantai ribuan pendukung Mursy.
Sebenarnya kita tidak perlu menyerang sistem demokrasi, terlebih lagi di usianya sudah cukup tua, tidak perlu pula mencacinya dan menuduhnya sebagai sistem yang rusak. Sebab tanpa harus dituduh pun, demokrasi memang sudah rusak sejak dari awal diterapkannya.
Plato (429-347 SM) seorang Filsuf Yunani Kuno, telah mengingatkan mengenai kelemahan dan bahaya internal demokrasi, salah satunya pemimpin biasanya dipilih dan diikuti karena faktor-faktor non-esensial seperti kepintaran pidato, kekayaan, dan latar belakang keluarga.
Aristoteles (384-322 SM) murid Plato, juga menyebutkan demokrasi sebagai bentuk pemerintahan buruk, seperti tirani dan oligarkhi. Sebelum abad 18, demokrasi bukanlah sistem yang dipilih umat manusia. Sistem ini ditolak di era Yunani dan Romawi dan hampir semua filosof politik menolaknya.
Dari sini, masihkah mahasiswa sebagai kaum pemikir masih berpikiran untuk mempertahankan sistem ini? Bahkan pada kenyataannya demokrasi juga telah merampas hak politik para mahasiswa dengan jadwal perkualiahan yang padat sehingga mengakibatkan mahasiswa cuek terhadap permasalahan bangsa, kemudian pada saat pemilu mereka pun tidak mengerti tentang arah perubahan yang ditawarkan partai politik peserta Pemilu.
Akibatnya, mahasiswi pun jadi ikut-ikutan memilih atau golput karena apatis. Demokrasi telah mengakibatkan mahasiswa tidak mampu melihat adanya jalan yang shahih menuju perubahan.
Inilah saatnya mahasiswa harus mulai melek politik dan keluar dari kungkungan demokrasi yang telah membius ini. Perubahan ini tidak bisa tidak kecuali secara bersama-sama dalam sebuah jejaring (network).
Inilah dakwah berjama’ah, para intelektual akan saling mengisi, saling memperkuat dan saling mengoreksi. Kaum intelektual harus menyerukan kepada masyarakat untuk kembali pada sistem Islam yang berasal dari Dzat Yang Maha Pengatur.
Karenanya, gagasan sebagaian kalangan akan syariat Islam atau juga Kekhilafahan Islam bukanlah suatu yang utopis. Allah Subhanahu Wata’ala telah menjanjikan dan Rasulullah telah memberikan kabar gembira akan tegaknya sistem yang membawa berkah ini.
Sistem ini pulalah yang telah mampu mencetak para ilmuwan peninggi peradaban dunia. Saatnya mahasiswa berada di garda terdepan dalam memperjuangakan perubahan yang hakiki. Waallahu a’lam bish showaab.*
Mahasiswa Program Pascasarjana IAIN Tulungagung semester IV