Oleh: Ainuddin Chalik
KENDATI telah mereda, pemblokiran situs Islam yang dilakukan Menkominfo akhir bulan Maret lalu masih menyisakan tanya besar menyangkut motif, serta soal kesimpangsiuran definisi radikal yang menjadi dalih pemblokiran.
Sikap sangat bijaksana justru ditunjukkan situs-situs Islam yang segera melakukan langkah-langkah komunikatif. Upaya verifkasi dan klarifikasi ini tentu layak mendapat apresiasi. Mereka bersepakat menempuh cara kekeluargaan walaupun tetap tidak menutup kemungkinan dilakukan langkah-langkah hukum jika diperlukan.
Sehari setelah inforrmasi pemblokiran situs Islam beredar di sosial media, Senin (30/03/2015), berupa gambar scan “surat” dari Kemenkominfo yang ditujukan kepada Internet Service Provider (ISP), perwakilan situs segera melakukan persuasi dengan mendatangi Kantor Kemkominfo pada esok paginya, Selasa (31/03/2015).
Rombongan perwakilan portal Islam meminta penjelasan dan mengajukan keberatan telah dikategorikan sebagai situs berbahaya. Mereka secara terbuka juga meminta Menkominfo khususnya kepada BNPT untuk menunjukkan berita mana yang dianggap berkonten “radikal” agar dapat dilakukan koreksi bahkan penutupan artikel yang dimaksud.
Sayangnya, penjelasan yang disampaikan Menkominfo dan BNPT pada pertemuan pertama tidak menyimpulkan apa-apa selain ketimpangan pendapat keduanya soal alasan pemblokiran. Merasa belum cukup puas, pada hari selanjutnya, Rabu, (01/04/2015) perwakilan redaksi situs Islam bertandang ke DPR untuk melakukan dengar pendapat terkait alasan pemblokiran situs mereka.
Namun hingga sejauh ini, baru sebatas normalisasi situs yang dilakukan. Adapun janji untuk rehabilitasi nama baik situs yang telah terlanjur tertuding sebagai “radikal”, belum ada tanda-tanda yang pasti. Rudiantara justru mengatakan isu pemblokiran situs media Islam yang dilakukan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika yang dipimpinya itu sudah lewat dan tidak menjadi isu lagi. [Baca: Ditanya Rehabilitasi, Rudiantara Sebut Isu Pemblokiran Sudah Lewat]
Soal Citra?
Belakangan mencuat dugaan pemblokiran situs Islam dinilai sebagai upaya Menkominfo menaikkan citranya yang sedang terpuruk. Namun, bukannya menuai simpati, langkah prematur ini malah memperlebar persepsi negatif.
Diketahui, dalam salah satu survei popularitas dengan perspektif politik dan media yang dilakukan Lembaga Klimatologi Politik (LKP) belum lama ini merilis rapor menteri Kabinet Kerja Jokowi–JK, dan Menkominfo termasuk kementerian yang terburuk di hadapan publik.
Anjloknya citra presiden Jokowi di hadapan pers dianggap menjadi salah satu pemicu Menkominfo mendapati sentimen negatif publik. Selain posisi sekertaris kabinet dan staf kepresidenan yang gagap di hadapan publik, Kominfo yang dianggap payah membuat Jokowi terlihat seperti karakter protagonis yang membosankan dan kehilangan imajinasi.
Menurut Muhidin M Dahlan (Tempo, 15/05), sebagai lembaga yang hidup dari nisan Kementerian Penerangan RI yang bubar pada 1999, mestinya kementerian ini menunjukkan karakternya sebagai kementerian komunikasi. Ketimbang mengeluarkan kebijakan-kebijakan kontraproduktif saat berhadapan langsung dengan publik, Kemkominfo semestinya bekerja lebih keras untuk mencari solusi cepat guna menambal lubang-lubang komunikasi pemerintah yang kian lama kian runyam.
Normalisasi 7 situs Islam dari 22 yang diblokir memang sudah dilakukan, adapun situs lainnya diduga anonim sehingga tidak mengajukan keberatan pemblokiran. Namun pemblokiran ini apalagi dengan pemberitaan yang massif (blowup) di berbagai kanal media telah memberi dampak yang tidak sederhana khususnya bagi media Islam yang sudah punya repitasi bagus.
Perhimpunan Al-Irsyad, misalnya, adalah organisasi besar bergerak dalam bidang pendidikan dan sosial yang membawahi situs gemaislam.com. Al-Irsyad telah berdiri sebelum Indonesia merdeka (1914). Tokoh pendirinya Syeikh Ahmad Surkati disebut oleh sejarawan Belanda G.F. Pijper sebagai “seorang pembaharu Islam di Indonesia”.
Al Irsyad juga tercatat berandil dalam pergerakan melawan imperalis penjajah. Adanya tuduhan situs mereka radikal, jelas ini menciptakan ekses yang buruk bagi kelangsungan kiprah Al Irsyad sebagai sebuah organisasi Islam nasional yang memiliki kiprah tak sedikit bagi bangsa ini khususnya di bidang pendidikan.
Pun demikian situs Hidayatullah yang sudah hadir 19 tahun dan melewati beberapa pergantian presiden. Meski mandiri, situs ini awalnya dilahirkan dari organisasi Hidayatullah yang berdiri pada 7 Januari 1973 di Balikpapan dan kini berkembang dengan berbagai amal usaha di bidang sosial, dakwah, pendidikan dan ekonomi serta menyebar hampir 350 kota di seluruh provinsi di Indonesia.
Atas perhatiannya yang tinggi terhadap masalah lingkungan hidup, pendiri Hidayatullah, Abdullah Said, meraih penghargaan Kalpataru dari pemerintah RI pada tahun 1984.
Nama Hidayatullah tentu tidak berdiri sendiri. Sebagai ormas nasional yang terus mendedikasikan diri dalam pelayanan keummatan dengan 2 mainstream gerakan yakni dakwah dan pendidikan. Pemblokiran hidayatullah.com jelas berdampak kepada aktifitas Hidayatullah lainnya. Tidak saja terhadap konsumen media Hidayatullah secara khusus tetapi juga layanan sosial lain yang menjadi ujung tombak dakwah, pelayanan sosial dan pendidikan yang dikelola Hidayatullah seluruh Nusantara.
Padahal, sejauh pengalaman kami sebagai bagian dari keluarga besar hidayatullah.com, tidak pernah sekalipun ada arahan bernuansa radikal, subversif, dan semacamnya bahkan kepada pihak-pihak yang dianggap berlawanan.
Sebaliknya, kami acap diingatkan di setiap kesempatan pentingnya etika jurnalistik yang bertanggungjawab dan memahami keberagaman. Karena prinsip kehati-hatian, kami diajarkan pedoman “fikih jurnalistik’, yang (mungkin) tidak semua media memiliki. Bagaimana seharusnya Islam menawarkan solusi terhadap segala problem kehidupan, hatta, dalam mengelola dan menyampaikan informasi.
Kita sepakat, bahwa terorisme –dalam arti sebenarnya- adalah kejahatan barbar yang harus dienyahkan. Sehingga diplomasi Menkominfo bahwa akan terus dilakukan pengawasan terhadap situs Islam yang sudah dinormalisai, rasanya tidak adil. Seolah-olah ingin menyebut situs lain (mainstream) tidak berbahaya.
Mestinya, pemerintah juga dengan tegas menyatakan melakukan pengawasan terhadap semua situs. Sebab, situs situs besar yang selama ini kerap menjadi lalu lintas distribusi konten amoral, ketelanjangan, dan wadah prostitusi boleh saja terkategori radikal dalam bentuk lain. Itu kalau kita boleh bebas mendefinisikan radikal sendiri-sendiri.
Kalau Menkominfo bijak dan adil, situs-situs yang selama ini membicarakan kemesuman dengan sedikit penerapan skip self-censorship dengan cukup memverifikasi usia dan sebagainya, seharusnya sama diblokir. Sebab itu juga sebetulnya bentuk “radikalisme” moral bahkan bisa lebih berbahaya.
Pendek kata, alangkah eloknya harmoni bangsa ini ketika semua pihak mau melucuti ego sektoral, tak malu mengaku salah, dan siap dikoreksi, serta mengedepankan sikap tabayyun sebagaimana telah dicontohkan situs-situs Islam. Dan, semoga Menkominfo mau berbesar hati melakukan rehabilitasi nama baik situs Islam. *
Penulis adalah wartawan hidayatullah.com