Oleh: Ady Amar
Hidayatullah.com | Satu kata dari narasi panjang yang disampaikan Anies Baswedan, Gubernur DKI Jakarta, itu menyentakkan kesadaran, bahwa manusia itu lemah di hadapan-Nya. Sebuah pengakuan diri yang tulus.
Anies menyampaikan itu di hadapan warga yang didatanginya, karena di daerahnya banjir bisa diatasi dengan waktu tidak kurang dari 24 jam. Biasanya di daerah itu, kawasan Rawa Buaya, banjir pada tahun-tahun sebelumnya akan surut dalam 4-5 hari.
Ikhtiar memang diupayakan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk menanggulangi banjir, atau setidaknya menangani banjir jika datang dengan langkah cepat dan meminimalisir dampak yang ditimbulkan. Itulah yang disebut kerja terukur.
Satu kata yang diucap Anies itu sungguh menyentakkan kesadaran, bahwa ikhtiar yang diupayakan dengan sungguh-sungguh, bahkan dengan basic sains segala, itu tidak pasti akan berhasil jika tidak atas izin Allah.
Baca: Rasisme, Anies Baswedan, dan Jejak Darah Kepahlawanan
Anies menyampaikan itu dengan bahasa agama, biidznillah, yang bermakna izin Allah. Lalu kata biidznillah itu menjadi pembahasan ramai. Satu pihak mayoritas senang mendengar kata itu diucapkan oleh pejabat yang masih menjabat.
Karena memang jarang kata itu dipilih untuk menyatakan sebuah pengakuan bahwa sejatinya manusia itu lemah, jika tanpa izin-Nya. Kata biidznillah itu sungguh berarti, jika kata itu diucap dari mulut pejabat atau pemimpin, dalam strata apa pun itu.
Kata biidznillah, itu pengakuan dari yang bersangkutan, bahwa sejatinya kata itu yang dibutuhkan dalam kerja-kerjanya. Tanpa biidznillah, mustahil keberhasilan itu bisa dicapai. Itulah bagian dari penyerahan diri total atas-Nya.
Kata biidznillah diucap Anies itu dengan rasa kesyukuran, bahwa ikhtiar yang selama ini diupayakan bersama jajaran pemerintah daerah, menemukan hasilnya dengan biidznillah. Itulah ucap syukur sekaligus pernyataan yang menekan ego manusiawi.
Tidak banyak yang bisa mengucap kata biidznillah itu, saat keberhasilan dicapai. Yang ada biasanya Tuhan dikesampingkan saat menuai keberhasilan. Maka, kata biidznillah yang diucap Anies, itu bentuk penyadaran diri, pengakuan diri yang serba terbatas.
Kata biidznillah ini, seharusnya diyakini, setidaknya bagi manusia beriman, dan itu tentu lintas agama, tidak monopoli agama tertentu. Tapi bagi mereka yang beragama sekadar beragama, agama cuma sampiran saja, maka kata biidznillah ini lalu jadi bahan olok-olok.
Bahan Olok-olok Kaum Intoleran
Saat Anies menyampaikan kata “biidznillah”, televisi menyiarkan itu, terbersit dalam pikiran pastilah kata itu akan digoreng mereka yang selama ini memilih berhadapan dengan Anies Baswedan. Mereka biasa disebut dengan buzzer, atau manusia berangka, karena semuanya dinilai dengan uang.
Mereka diupah dengan tugas untuk menyerang Anies dengan segala cara. Menyerang apa saja yang bisa diserang, bahkan jika tidak ada yang bisa diserang, karena tidak ditemukan kesalahan, maka menjadi “halal” menyerang pada unsur SARA sekalipun.
Baca: Tidak Sekadar Banjir Jakarta, Tapi Upaya Pembusukan Sistemik
Maka sikap intoleran buat mereka menjadi kelaziman. Memprihatinkan memang. Bangunan suasana inilah yang muncul seolah difasilitasi, sehingga apa yang dilakukan itu bisa menimbulkan gesekan keras di tengah masyarakat.
Andi Sinulingga, Aktivis Kolaborasi Warga Jakarta, yang prihatin melihatnya. Dan lalu menegur Ferdinand Hutahaean, yang bicara di luar batas kepatutan, dan itu menurutnya laku intoleran.
Ferdinand Hutahaean, lagi-lagi mencoba menghantam Anies, seperti petinju yang bertanding beda kelas. Lalu ia menyasar hal intoleran yang tabu untuk diusik. Ferdinand mengusik bukan saja pribadi Anies Baswedan, tapi umat Islam. Ferdinand mencoba menaikkan “tawaran” serangannya, melihat sejauh mana soliditas umat Islam itu ada. Ini sih gaya intelejen.
Tentu semua lalu bisa menilai, siapa Ferdinand Hutahaean itu, dan mustahil ia berani bicara nekat menyentuh hal-hal dasar keberagamaan, dan itu intoleran. Satu sikap yang dihindari diusik manusia beradab. Umat Islam pastilah akan sabar “dijuliti” manusia semacam Ferdinand ini, karena tahu muaranya akan ke mana.
Ferdinand mengomentari pemberitaan, dengan judul: “Atas Izin Allah Banjir 99,9% Surut pada Minggu, Hari Ini 100% Surut”. Judul itu merujuk pada sambutan Anies di hadapan warga.
“Atas izin Allah juga banjir itu terjadi. Makanya lu ga usah kerja, semua sudah diatur oleh Allah,” cuit Fedinand, seperti bicara tanpa nalar.
Baca: Anies Presiden, Jakarta Bebas Banjir, In Syaa Allah
Andi Sinulingga, yang lalu memperingatkan Ferdinand agar tidak sembarangan bicara, dalam hal ini bicara tentang Islam. Dalam prinsip Islam, istilah “insha Allah” itu dipakai ketika manusia ingin menundukkan kesombongan diri sendiri dan jauh dari perasaan takabur (23/2).
Tambahnya dengan geram, “Lalu kenapa ditafsirkan yang aneh-aneh sekehendak diri anda bung? Anda kan katanya toleran pada agama lain? Sehat bung? Lu bukan lagi mengkritik Anies, tapi sudah masuk menyinggung pada hal-hal yang prinsip di dalam Islam,” tegasnya.
Melihat Ferdinand itu tidaklah pas jika dilihat dari aspek manusia normal, yang jauh dari sikap rasisme dan intoleran, itu agar kita tidak terlalu nelangsa. Kata tanya dari Andi Sinulingga, “Sehat bung?”, itu tersirat karena kata intoleran tidak boleh keluar dari mulut orang waras.
RomPol Benny
Manusia macam Ferdinand Hutahaean ini akan terus menyemburkan kata-kata yang tidak saja akan melukai Anies Baswedan, tapi juga umat Islam dalam intensitas tinggi.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Jika umat terpancing, lalu terprovokasi, maka hancurlah bangunan kebangsaan ini jadi berkeping-keping. Ingin demikian?
Mestinya peran Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) itu hadir dalam suasana negeri dalam kondisi masyarakat yang cenderung terbelah. Bukan hadir semacam Romo Benny Soesetyo, Staf Khusus Ketua Dewan Pengarah BPIP, yang lalu ngocol bak buzzer menyerang Anies soal banjir Jakarta.
Tapi sayang ia diam membisu lihat fenomena buzzer yang cenderung merusak demokrasi, dan juga korupsi Bansos, yang semua itu menggerogoti sila-sila dalam Pancasila.
Baca: Anies Penghibur Jokowi yang Baik
Memangnya Romo Benny apa sih kepakarannya, apa pakar dalam hal penanggulangan banjir? Bicara semestinya dalam konteks kepakaran. Apa Romo Benny juga bicara lantang tentang banjir Jawa Tengah, yang hingga sebulan tidak kunjung bisa diatasi. Bicara cuma pada banjir Jakarta, itu sama saja Romo Benny bagian dari gerombolan para buzzer.
Pantas saja lalu gelaran Romo, itu lalu dipelesetkan ekonom Rizal Ramli dengan RomPol = Romo Politik. Memang tampak nyata, bahwa Romo Benny sedang memainkan agenda lain dengan memframing, bahwa Ahok lebih baik dari Anies. Romo kok main politik, apalagi punya jabatan prestisius di BPIP, gak nyadar?
Soal banjir Jakarta yang biidznillah dapat teratasi dengan cepat dibanding tahun-tahun sebelumnya, menjadi aneh kok malah Pak Anies diminta untuk mencontoh Pak Ahok saat menangani banjir Jakarta. Memangnya zaman Ahok memimpin DKI Jakarta, banjir bisa diatasi lebih baik saat Jakarta dipimpin Anies Baswedan? Romo Benny, sehat?! (*)
Kolumnis, tinggal di Surabaya