Oleh: Inggar Saputra
KEKERANGAN yang diperankan Myanmar (Burma) kepada Muslim Rohingya terus bergulir belakangan ini. Dengan berdalih imigran gelap, negeri Asia Tenggara yang dikuasai militer ini terus berusaha membumihanguskan kelompok minoritas tersebut. Tanpa belas kasihan, kelompok militer dibantu biksu Buddha berjiwa ekstrimis membunuh, mengusir dan membiarkan etnis Rohingya kelaparan dan kehilangan hak hidupnya. Sungguh menyedihkan negeri yang pernah mendapatkan kepercayaan sebagai pemimpin ASEAN gagal membendung konflik kemanusiaan di negaranya.
Jika mengacu kepada nilai Hak Asasi Manusia yang berkembang secara umum, kita melihat bahwa pengusiran dan kekerasan pemerintah Myanmar terhadap warganya termasuk pelanggaran terhadap hak seseorang untuk mendapatkan kebebasan dan hak untuk hidup. Ketika demokrasi mengguncang hampir banyak negara, Myanmar justru masih terjebak praktek pola kepemimpinan otoriter dengan penguasaan dominan negara kepada rakyatnya. Ada hak hidup manusia yang dirampas dengan dilarangnya pedagang Myanmar melakukan kegiatan jual beli kepada etnis Rohingya sehingga menyebabkan bencana kelaparan.
Selain memboikot secara ekonomi, kekejaman pemerintah Myanmar juga tampak dengan terbunuhnya jutaan Muslim Rohingya selama 30 tahun terakhir. Mereka dibunuh karena mereka Muslim. Padahal, hak beragama menjadi pilihan hidup setiap manusia sehingga sangat kontradiktif ketika negara merenggutnya secara paksa. Tak ada satupun pembenaran yang dapat dipakai, ketika perbedaan agama menjadikan negara memberlakukan hukum rimba kepada warganya.
Ironisnya, kekejaman pemerintah mendapatkan dukungan kelompok biksu sebagai pemuka agama Buddha di Myanmar. Salah seorang Biksu asal Mandalay, Ashin Wirathu dengan dalih populasi Muslim yang semakin tinggi membuat gerakan “969”, sebuah gerakan ekstrimis anti Muslim yang bertujuan menebarkan kebencian kepada Muslim Rohingya. Dalam setiap ceramahnya, pria yang dijuluki majalah Time sebagai ‘The Face Of Buddhist Terror’ mengajak setiap warga Myanmar mengusir Muslim Rohinya. Tak berhenti dalam ceramah, dirinya juga memimpin demonstrasi agar Rohingya direlokasi ke negara dunia ketiga dan menyalahkan Rohingya atas kekerasan yang sering terjadi di Myanmar. [Baca: Biksu Budda Pembenci Muslim Rohingya Jadi Sorotan Dunia]
Sekarang, Muslim Rohingya yang dizalimi, berusaha berjuang menyelamatkan diri dengan menyeberang ke negara lain. Mereka berharap ada kehidupan yang lebih baik, mengingat sulit sekali bertahan melawan rezim militer yang keras kepala ini. Beberapa ribu diantaranya kini sudah memasuki wilayah Indonesia khususnya Aceh. Sambutan rakyat Aceh sungguh dapat diacungi jempol, dimana mereka menilai Rohingya adalah saudara seiman dan seaqidah sehingga perlu mendapatkan bantuan semaksimal mungkin. Tanpa disekat batas geografis, suku dan etnis, mereka sepenuhnya siap menampung manusia yang terusir dari negaranya karena mengatakan “Saya adalah seorang Muslim.”
Penerimaan positif masyarakat Aceh kepada Muslim Rohingya bagaikan penawar dahaga ketika hampir semua negara Asia Tenggara sibuk mengangkat tangan atas derita Muslim Rohingya. Dengan berdalih “bukan urusan saya” mereka sibuk membela kebobrokan junta militer dan mengabaikan nilai kemanusiaan, keadilan, persamaan, demokrasi dan keimanan yang seharusnya hadir dalam kehidupan sebuah negara. Secara lebih jauh, mereka sudah memberikan proses keteladanan yang buruk, sebab ketika masyarakat negara itu menerima baik Muslim Rohingya, pemerintahnya justru menolaknya.
Sementara itu, sikap lebih memalukan dipraktekkan Indonesia sebagai pemimpin kawasan regional Asia Tenggara (ASEAN) yang bersikap pasif. Ketika pemerintah provinsi dan rakyat Aceh habis-habisan membela kelompok tertindas ini, justru pemerintah pusat tak mampu berperan aktif dalam menghentikan kekerasan yang dilakukan negara anggotanya ini .
Tak ada satupun perkataan Jokowi yang mengecam perilaku buruk militer dan kelompok Buddha. Sebagai pemimpin ASEAN, Jokowi agaknya lebih sibuk dengan kegiatan seremonial ASEAN dibandingkan memikirkan upaya meminimalisir konflik di kawasan regional yang membutuhkan partisipasi Indonesia di dalamnya.
Tak jauh berbeda, komunikasi antar pejabat negara juga berjalan dengan buruk. Presiden Jokowi dan Menlu Retno memang berjanji akan menolong dan mengurus kebutuhan warga Rohingya yang terdampar di Indonesia. Di tempat lain, TNI pun menjamin akan memberikan bantuan maksimal kepada pengungsi Rohingya baik makanan, obat-obatan dan lainnya. Tetapi pasca menerima bantuan, mereka diminta kembali ke negaranya dan tidak diperkenankan masuk wilayah Indonesia. Belakangan, tanpa rasa malu, Wakil Presiden Jusuf Kalla sempat memperkeruh suasana dengan menilai Muslim Rohingya sebagai pencari suaka yang hanya mencari kerja di Indonesia. Tak ada pembelaan secara utuh di kalangan pejabat negeri ini, semua sibuk memikirkan kepentingannya sendiri.
Menghadapi bencana kemanusiaan atas Muslim Rohingya, umat Islam perlu bangkit untuk bersama-sama menguatkan barisan sehingga mampu bergerak menyelamatkan saudara seimannya. Bantuan finansial sangat diperlukan untuk membeli segala kebutuhan makanan, selimut, pakaian dan lainnya. Selain itu, penyebaran opini untuk melawan pemberitaan buruk harus dilakukan para pejuang media Islam.
Terpenting, jangan pernah berhenti mendoakan agar Muslim Rohingya diberikan kesabaran, ketabahan dan tetap bersemangat menjalani kehidupannya meski ancaman terus berdatangan. Muslim Indonesia juga wajib mendorong pemerintah Indonesia khususnya Presiden Jokowi untuk memainkan peran aktifnya dengan mendesak Myanmar menghentikan genosida di negaranya. *
Ketua Humas dan Informasi Himpunan Mahasiswa Muslim Pasca Sarjana (HIMMPAS) UI