Oleh: Wildan Hasan
Hidayatullah.com | AJIP Rosidi merupakan salah seorang sastrawan besar tanah air sezaman dengan Taufik Ismail, Pramoedya Ananta Toer dan lainnya. Telah wafat belum lama ini. Dikenalkan oleh Endang Saifudin Anshari kepada para tokoh pergerakan Islam seperti M. Natsir, M. Roem, Sjafruddin Prawiranegara dan banyak lainnya. Ajip lalu menulis biografi pak Natsir dan pak Sjaf. Ajip dikenal sebagai sastrawan yang religius dan sangat peduli terhadap nasib pendidikan bangsa.
Saya tergerak menulis artikel ini karena tantangan dari guru saya, Dr. Jeje Zainudin. Beliau mengajukan satu soalan tentang problem mendasar pendidikan kita. Dimana kerusakan dunia pendidikan kita saat ini? Apa penyebabnya? Apa solusinya? Bagaimana seharusnya menurut UUD dan UU Sisdiknas? Soalan yang bertubi-tubi yang membutuhkan perenungan dan kajian mendalam.
Mendapat soalan itu saya malah teringat -tepatnya selalu terngiang- oleh ungkapan Ajip Rosidi pada salah satu bukunya. Buku itu berjudul “Korupsi dan Kebudayaan”. Buku yang akan saya coba telaah untuk mengkaji semacam pemikiran pendidikan Ajip Rosidi, berikut satu buku lain karyanya, “LEKRA Bagian Dari PKI” yang juga ada bicara soal pendidikan.
Dalam tulisannya “Negara dan Kebudayaan” di buku pertama, Ajip mengeluhkan kebudayaan yang selalu ditempatkan dalam satu kementerian dengan pendidikan. Anggaran untuk memajukan kebudayaan jauh lebih rendah dibanding untuk pendidikan. Padahal, menurutnya, pendidikan itu hanyalah bagian dari kebudayaan. Pendidikan adalah usaha mewariskan kebudayaan terhadap generasi yang lebih kemudian. Ajip heran tidak ada pelajaran tentang kebudayaan yang benar dan tepat di kurikulum pendidikan dari TK sampai Perguruan Tinggi.
Bahkan di masa Gus Dur, Ditjen kebudayaan sempat dihapuskan. Namun karena menuai protes, kebudayaan lalu ditumpangkan pada Departemen Pariwisata. Ajip mengatakan, hal itu menunjukkan bahwa pemerintah menganggap kebudayaan hanya sebagai komoditas yang dapat dijual. Padahal, Gus Dur dianggap dan dikenal sebagai seorang budayawan. Artinya negara, tegas Ajip, selama ini memandang kebudayaan bukan sebagai sesuatu yang penting.
Dalam tulisan lainnya, “Perkembangan Budaya Bangsa”, Ajip menuliskan kekesalannya kepada budaya korup para pejabat, pejabat negara menjadikan Indonesia menjadi bangsa pengemis dan culasnya pejabat yang mendahulukan kepentingan diri daripada kepentingan bangsa. Kalau kita mau belajar dari sejarah, kata Ajip, bapak-bapak pendiri negara dan bangsa kita paling tidak melakukan dua kekeliruan pada awal pembentukan negara.
Pertama, melanjutkan sistem persekolahan untuk golongan pribumi sebagai sistem sekolah nasional. Kedua, memilih sistem hukum untuk golongan pribumi sebagai sistem hukum nasional.
Kalimat “Melanjutkan sistem persekolahan untuk golongan pribumi sebagai sistem sekolah nasional” inilah yang saya tulis di atas selalu terngiang di pikiran saya. Ajip mengungkapkan, pada masa penjajahan, pemerintah Hindia Belanda mempunyai dua macam sekolah; yang menggunakan pengantar bahasa Belanda seperti HIS, ELS, MULO, AMS, HBS, Gymnasium. Lulusan sekolah ini sudah menjadi ahli waris kebudayaan Eropa yang matang dengan kurikulum sekolahnya yang dibuat sedemikian rupa yang menghubungkan anak didik dengan budayanya.
Jenis sekolah kedua ialah sekolah untuk kaum pribumi -si terjajah- yang didirikan hanya untuk memenuhi kebutuhan penjajah akan tenaga murah guna eksploitasi kolonialnya. Juga, hanya sekadar basa-basi ungkapan balas jasa yang dituntut oleh politik etis saat itu, pen. Di sekolah pribumi yang berpengantar bahasa Melayu ini hanya diajarkan membaca, menulis, berhitung, dengan sedikit ilmu bumi dan ilmu alam sekadarnya.
Di sekolah untuk pribumi sama sekali tidak ada pelajaran yang menghubungkan si murid dengan sumber budayanya sendiri. Karena pendirian sekolah untuk pribumi ini tujuannya memenuhi kebutuhan rezim kolonial akan tenaga murah, maka lulusan sekolah tersebut disiapkan dan diserap sebagai pegawai rendah.
Ajip menyimpulkan, akibatnya tumbuhlah mentalitas mengharap menjadi pegawai (buruh, karyawan) setelah lulus yang melekat pada sistemnya sehingga sampai sekarang masih tetap dimiliki oleh murid-murid yang belajar di sekolah kita. Bahwa masih melekat mental bobrok pengaruh dari didikan penjajah; yaitu mendirikan sekolah demi mendapatkan keuntungan materi semata, menyekolahkan anak agar meraih kedudukan dan pangkat, dan niat belajar agar dapat bekerja di pabrik, kantor dan tempat lainnya.
Celakanya, kata Ajip, sistem sekolah untuk pribumi inilah yang dipilih oleh pemerintah Republik Indonesia untuk dilanjutkan dalam negara yang baru diproklamirkan. Namun Ajip memahami bahwa kenapa sistem sekolah untuk pribumi diambil karena meluapnya semangat anti penjajahan waktu itu. Sehingga anti terhadap segala sesuatu yang berbau Belanda. Tetapi pilihan itu mempunyai akibat yang fatal dan merugikan bagi pendidikan dan perkembangan bangsa kita.
Para pendiri bangsa seharusnya mampu melihat yang lebih inti, terang Ajip. Yaitu sistem sekolah dengan bahasa pengantar Belanda merupakan lembaga pendidikan yang mewariskan kebudayaan kepada anak didiknya. Tentu saja, kata Ajip, kalau kita melanjutkan sistem tersebut kita jangan mewariskan budaya Belanda dan Eropa melainkan mewariskan budaya kita sendiri.
Sistemnya diambil, isinya diubah. Di mana pun di dunia ini, Ajip menegaskan, lembaga pendidikan itu menjadi agen pewarisan budaya bangsa.
Tentang kurikulum pendidikan, Ajip tak sungkan mengatakan, kurikulum pendidikan nasional amburadul. Kurikulum yang lebih mengarah kepada kebutuhan pasar. Sehingga tujuan pendidikan menjadi usaha memenuhi kebutuhan lapangan kerja. Pendidikan sebagai bagian dari usaha pembentukan bangsa dan manusia paripurna dilupakan. Sementara ada lembaga pendidikan yang berkembang di masyarakat selama berabad-abad seperti Pondok Pesantren para lulusannya dapat mencukupi kebutuhan masyarakat, sehingga tidak ada cerita lulusan Pesantren yang menganggur.
Sayangnya, pesantren berubah sejak masa Orde Baru karena pemerintah ingin mengatur pula kehidupan kelompok Islam dalam masyarakat. Pesantren yang tadinya berkembang sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya, dibuat menjadi lembaga pendidikan formal pemerintah yang kurikulumnya disesuaikan dengan keinginan pemerintah, sehingga hasilnya setiap tahun melahirkan lulusan-lulusan yang tidak dapat ditampung oleh pasaran tenaga kerja.
Kalau dulu lulusan Pesantren bersedia dan bisa menjadi apa saja -asal halal-, sekarang mereka menjadi pencari kerja yang kecewa karena tidak mendapat pekerjaan. Dulu lulusan Pesantren bisa mandiri dalam hidup, sekarang menjadi sama dengan lulusan lembaga pendidikan lainnya yang setelah lulus mendatangi satu pabrik ke pabrik lainnya untuk mencari pekerjaan.
Demikian Ajip. Ia menyarankan untuk meninjau ulang kurikulum sekolah sejak sekolah dasar agar anak didik kenal dengan akar budayanya. Akar budaya bagi anak dan pelajar muslim Indonesia adalah Islam dengan segala aspeknya, pen.
Ajip memang tidak mengulas sangat dalam apa yang dimaksud budaya bangsa yang harus diwariskan kepada anak didik. Akan tetapi membaca sikap dalam perilaku dan tulisan-tulisannya dapat ditangkap bahwa budaya bangsa yang dimaksud adalah budaya yang berbasis agama dan berdasar atas nilai Ketuhanan Yang Maha Esa. Entah, apakah tulisan ini menjawab soalan dari guru saya atau tidak, seperti saya singgung di awal. Tetapi setidaknya, tulisan ini boleh lah dijadikan bahan renungan kita bersama dalam niat dan gerak yang sama untuk memperbaiki nasib pendidikan bangsa kita ke depan.*
Peneliti An Nahla Institute