Oleh: Gilig Pradhana
Hidayatullah.com | MASJID adalah langkah pertama dan utama menjadi tolok ukur kebangkitan. Kenapa langkah pertama, karena hijrahnya Nabi Muhammad ﷺ ditandai dengan membangun Masjid Nabawi.
Masjid hanyalah milik Allah. Maka dari itu aturannya langsung dari Al-Qur’an. Sampai-sampai Allah subhanahu wa ta’ala sendiri merinci kategori siapa yang berhak memakmurkannya dalam surat At-Taubah ayat 18.
Aya Sofia selama ini dimakmurkan, tapi oleh sekulerisme. Tamu-tamunya hanya memperlakukannya sebagai museum, bukan untuk meninggikan kalimat Allah. Sumbangsih mereka hanya sebatas harta, bukan taqwa.
Aya Sofia bukan sekedar masjid bagi Muslimin, karena penaklukan Konstantinopel adalah pembuktian kebenaran janji Nabi kami, Muhammad ﷺ.
Aya Sofia: Kiblat Peradaban
Jatuhnya Konstantinopel juga menandakan redupnya Bizantium, berakhirlah Kekaisaran Romawi Timur setelah berdiri 1500 tahunan. Maka Hagia Sophia tidak bisa dianggap gereja biasa. Melainkan pusat budaya dan politik Kekaisaran Bizantium. Setara dengan White House di AS, House of Parliament di Inggris, atau Reichstag di Jerman.
Kalau sebuah pasukan menguasai ibukota dan istananya, maka sudah lazim kalau negara itu dianggap telah kalah. Kiblatnya berbalik kepada Islam. Itulah kenapa beberapa negara non-Islam yang berbagi sejarah dengan Romawi sekarang kebakaran jenggotnya.
Ingat peristiwa perubahan kiblat kaum Muslimin, yang semula menghadap masjid Al-Aqsha, kemudian beralih ke Masjidil Haram? Saat itu Kaum Yahudi yang selama ini mengejek dan acuh tak acuh kepada ajaran Islam berubah protes penuh kemarahan. Apa pasal? Yahudi sepanjang sejarah merupakan bangsa yang congkak dan bebal. Mereka merasa sholatnya umat Islam menghadap Baitul Maqdis adalah bentuk pembenaran keyakinan bangsa Israil ini dan itu disahkan oleh Tuhan. Namun ketika kiblatnya dirubah, maka mereka sadar, umat Islam tidak akan bisa diajak masuk ke agama mereka. Otoritas mereka hilang. Mereka akan menjadi bangsa yang ditinggalkan.
Jadi bisa disimpulkan bahwa keputusan memanfaatkan Aya Sofia sebagai masjid berdampak selain budaya dan politik juga tentunya adalah dakwah.
Sebagaimana Nabi Muhammad ﷺ dan para khalifah pada umumnya, masjid biasa digunakan sebagai pusat pemerintahan. Seorang Amirul Mukminin, Khalifah, atau Sultan yang merupakan pucuk pimpinan sebuah negara Islam sekaligus juga menjabat sebagai imam masjid jami di ibukota. Itulah juga sebabnya Kemal Pasha mencoba menghapus simbol Islam ini agar kekhalifahan terkubur sedalam-dalamnya.
Anda perlu tahu, perubahan masjid ini menjadi museum oleh Kemal Pasha bukan karena kecintaannya pada museum, melainkan kebenciannya pada Islam.
Serangan Sekulerisme
Mustafa Kemal melarang azan kecuali dengan bahasa lokal (Turki), penutupan ribuan masjid di seluruh negeri, pelarangan busana Muslimah yang digencarkan sebagai busana memalukan, kementrian wakaf dihapus (maka sebagai akibatnya status wakaf pun menjadi dianulir), pengerdilan kalender Hijriyah, dan masih banyak lainnya membuktikan bahwa sekulerisasi Kemal sejatinya adalah perang terhadap agama Islam.
Bahkan usaha untuk mengembalikan identitas Islam seperti yang diupayakan oleh perdana menteri Turki ke-10 Adnan Menderes berakhir di tiang gantungan. Padahal partainya meraih kemenangan mutlak yang sah pada tahun 1950. Maka Adnan pun menepati janjinya untuk mengembalikan shalat dan adzan kembali dalam bahasa Arab, mengaktifkan kembali sekolah dan lembaga Agama juga membangun Pusat Pendidikan Tinggi Agama yang terbuka bagi Kaum Religius Turki.
Sikap islamophobia terus dipersekusikan bahkan oleh militer melalui kudeta, bahkan terhadap Recep Tayyip Erdogan dalam dasawarsa ini. Padahal dia adalah presiden yang sah. Perhatikanlah sikap negara-negara non-Muslim yang justru lebih berpihak kepada militer yang sekuler. Ralph Peter berbicara melalui Fox News bahwa pemerintahan Erdogan sedang menuju “kediktatoran islamis” yang menghancurkan konstitusi sekuler warisan Atatuk. Apalagi yang menjelaskan sikap seperti ini selain anti-islam?
Dalam usia 96 tahun dalam jurang sekulerisme, tidak sedikit yang telah jatuh menjadi korban. Memasjidkan kembali Aya Sofia adalah satu batu loncatan kemenangan dalam perang panjang ini.
Memang belum selesai, tapi sepertinya Erdogan memang belum berniat berhenti. Dan dia tidak sendiri.*
Salah satu pengelola perpustakaan Kampoeng Batja, Jember