Sambungan artikel PERTAMA
Oleh: Ahmad Kholili Hasib
Jika ingin belajar fikih, datang kepada syaikh ahli fikih. Untuk mendalami ilmu tafsir, ber-mulazamah dengan ulama yang mengerti ilmu tafsir. Begitu pula ilmu-ilmu yang lainnya. Jika keliru guru, maka agama kita bisa keliru pula. Pengajar di fakultas kedokteran misalnya, adalah orang-orang yang ahli di bidang kedokteran, bukan dukun. Jika mahasiswa diajar ilmu kedokteran oleh dukun, maka mereka setelah lulus bukan menjadi dokter tetapi bisa menjadi dukun.
Selama beberapa dekade ini, ada kecenderungan di kalangan akademisi muslim belajar ilmu syariah ke orang non-Muslim di negara-negara Barat. Mereka mulazamah dengan para orientalis karena terpikat dengan metode pengkajian. Ilmuan non-Muslim (orientalis) itu boleh jadi memiliki pengetahuan banyak tentang ilmu tafsir, misalnya. Akan tetapi cara memandang kitab suci al-Qur’an, nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wassallam dan Allah Subhanahu Wata’ala berbeda dengan cara pandang kita sebagai Muslim.
Seluas apapun ilmuan non-Muslim tersebut mengetahui al-Qur’an dan sejarah Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassallam, mereka tetap tidak percaya bahwa al-Qur’an itu wahyu Allah Subhanahu Wata’ala. Mereka juga ingkar bahwa Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wassallam adalah utusan-Nya. Lalu apa yang kita dapatkan dari belajar ilmu al-Qur’an kepada orang yang tidak percaya atau ingkar kepada al-Qur’an? Islam meyakini bahwa al-Qur’an itu petunjuk (hudan), bukan buku biasa. Maka banyak akademisi yang belajar ilmu al-Qur’an tapi tidak mendapatkan petunjuk. Sama halnya, seseorang belajar membuat pesawat kepada orang yang tidak percaya bahwa pesawat itu bisa terbang.
Tetapi, setelah kita mendapatkan guru yang baik dan ahli, tidak boleh ada perasaan aman dan memastikan kita akan menjadi baik seperti guru itu. Perasaan ini merupakan bentuk kesombongan. Sebab yang memberi petunjuk adalah Allah Subhanahu Wata’ala, guru dan kitab merupakan alat untuk mendapatkan hidayah Allah Subhanahu Wata’ala. Ibnu Athoillah al-Sakandari berkata: “Tidak semua orang yang berguru kepada seseorang akan mendapatkan petunjuk. Jangan merasa aman karena kau telah berguru kepada beberapa Syaikh” (Ibnu Athoillah al-Sakandari,Tajul Arus,hal. 421).
Menurut Ibnu Athoillah, semestinya seseorang yang belajar kepada guru harus bertambah rasa takutnya kepada Allah Swt, dan berkurang kesombongannya. Karena para Syaikh itu merupakan orang-orang yang takut kepada-Nya. Artinya, selama kita berguru dengan seorang Syaikh tidak boleh membanggakan diri bahwa ‘saya murid fulan bin fulan”. Seorang murid yang bertambah rasa takutnya, berarti ia mendapatkan petunjuk. Sebaliknya murid yang bertambah kesombongannya berarti sedang menjauh dari petunjuk Allah Subhanahu Wata’ala.
Ahli ilmu yang takut kepada Allah Subuhanahu Wata’ala itulah yang patut dipilih untuk membimbing kita. Luqman al-Hakim pernah menasihati anaknya:
“Hai anakku, duduklah bersama para ulama dan dekatilah mereka. Sebab Allah Subhanahu Wata’ala menghidupkan hati yang mati dengan cahaya hikmah sebagaimana Dia menghidupkan tanah yang mati dengan air hujan.” (Muhammad bin Ibrahim Al-Randi,Ghaits al-Mawahib al-Aliyyah Syarh al-Hikam al-Athoiyyah, hal. 42).*
Penulis adalah peneliti InPAS Surabaya