Oleh: Herry Mohammad
ISLAMIC State in Iraq and Suriah (sejak Juni 2014, ketika Abu Bakar Al-Baghdadi menjadi khalifah, ISIS menjadi Islamic State/Daulah Islamiyah) tiada henti menjadi perbincangan dan pembahasan di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Meski sudah menjadi IS, tapi nama ISIS sudah terlanjur kondang. Maka, pembahasan kali ini kita gunakan nama singkatannya ISIS, dan para pendukungnya disebut ISISer.
Bebarapa kali ber-interaksi dengan mereka, para pendukung ISIS, nampak bahwa mereka hanya euforia tanpa mau memperdalam ilmu-ilmu ke-Islaman sebagai bekal berhujajah. Jamak terjadi, apa yang mereka sampaikan, tidak sama dengan perilaku dalam berinteraksi, baik secara verbal maupun melalui media sosial. Mengkafirkan para ustadz yang mengkritisinya, dan menghalalkan darah mereka. Mereka menolak fihaknya disebut sebagai khawarij modern. Tapi perilaku mereka yang yang suka mengkafir-kafirkan –perilaku khawarij– para pengkritiknya, tak bisa terbantahkan.
Hujjah-hujjah mereka, termasuk baiat terhadap Abu Bakar Al-Baghdadi sebagai Khalifah di muka bumi ini, lemah. Ketika kekhalifahan ini disoal, mereka bukan berhujjah, tapi malah marah dan menghujat para pengkritiknya, dengan caci-maki dan penghalalan darahnya. Sungguh diluar adab perilaku muslim.
Ada seorang rekan mengatakan, mengapa para ISISer di Iraq dan di Suriah begitu kejam dan main bunuh kepada mereka yang tidak sejalan? Jawab rekan tadi, karena tidak ada ulama yang ada di tengah-tengah mereka untuk mencegahnya. Argumen ini mudah dimentahkan, karena bila ada ulama yang mengingatkan, mereka main tebas. Lagi pula, sampai saat ini, belum ada wartawan yang bisa masuk ke wilayah yang dikuasai oleh ISIS dan keluar dengan leluasa, lalu membuat berita tentang apa sesungguhnya yang terjadi di dalam?
Jika pun ada wartawan yang berhasil masuk ke wilayah ISIS, kemungkinannya hanya ada dua: si wartawan jadi ISISer, atau, jika menolak, akan dihabisi. Belum ada wartawan yang netral bisa masuk dan keluar dengan membawa berita yang sebenarnya terjadi di dalam. Yang ada selama ini adalah informasi berupa propaganda ISIS yang dibuat oleh mereka.
Untuk membendung –setidaknya mengurangi– faham ISIS, maka diperlukan upaya terus menerus untuk mengingatkan kepada masyarakat bahwa faham mereka tidak sejalan dengan Islam yang kaffah. Proses ini bisa dilakukan dengan berbagai cara dan media, diantaranya adalah dengan cara dialog dengan mereka. Untuk pertamakalinya di Indonesia dialog terbuka dengan para pendukung ISIS dilaksanakan pada 1 Maret lalu di Masjid Al-Muhajirin, Grogol, Jakarta Barat. Dari para pendukung ISIS, tampil dua pembicara: Ustadz Syamsuddin Uba dan Ustadz Abu Nusaybah. Sementara dari pihak yang mengkritisi, hadir sebagai pembicara Ustadz Abu Tholut, Ustadz Harits Abu Ulya, dan Ustadz Fual Al-Hazimi.
Para pendukung Khalifah, tentu saja, mendukung penuh kekhalifahan Abu bakar Al-Baghdadi dan berusaha menampilkan yang baik-baik tentang kondisi di wilayah yang diduduki oleh ISIS. Sementara para pengkritiknya, menilai keabsahan khalifah Al-Baghdadi tidak memenuhi syarat secara syar’i. Dialog sempat panas, teriakan takbir menggema, bahkan tidak sedikit yang histeris. Sampai akhir dialog menjelang shalat Dhuhur, tidak ada titik temu antara mereka yang mendukung dengan mereka yang mengkritisinya.
Rupanya, dialog yang terjadi di Masjid Al-Muhajirin itu tidak berhenti hanya di forum dialog tersebut. Pasca dialog, melalui media sosial, para ISISer mengeluarkan kata-kata kotor, menghujat, dan menghalalkan darah para pengkritiknya. Bahkan ustadz Abu Tholut, aktifis Jihadis, dibuatkan meme dengan kata-kata yang tidak etis untuk dibaca dan ditampilkan di ruang ini. Dialog di Al-Muhajirin itu adalah dialog ilmiah yang mestinya tidak boleh disikapi dengan cemoohan dan kalimat-kalimat yang tidak beradab.
Atas dasar keprtihatinan itulah, maka mari kita tengok Ibnu Abbas radhiyallahu anhu, ketika melakukan dialog dengan kaum Khawarij yang memusuhi Khalifah Ali bin Abi Thalib radhiyallahu anhu.
Ibnu Abbas radhiyallahu anhu, putra dari paman Rasulullah Shallallahu alaihi wa Shallam, adalah generasi Rabbani yang paling faham terhadap kitabullah, dan yang paling mengetahui takwil serta tafsirnya. Ia lahir pada 3 tahun sebelum Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa Shallam hijrah ke Madinah. Walaupun demikian, karena sejak usia 3 tahun ia sudah hidup bersama Rasulullah Shallallahu alaihi wa Shallam, tidaklah heran jika ia menghafal 1660 hadits Nabi Shallallahu alaihi wa Shallam yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim, dalam kitab shahihnya.
Ketika kaum Khawarij memisahkan diri dari barisan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu anhu, maka Ibnu Abbas Radhiyallahu anhu meminta izin kepada Khalifah Ali bin Abi Thalib radhiyallahu anhu untuk menemui dan berdialog dengan mereka.
Singkat ceritera, sebagaimana diungkapkan oleh Dr. Abdurrahman Ra’fat al-Basya, dalam “Shuwar min Hayati ash-Shahabah”, Ibnu Abbas radhiyallahu anhu mendatangi mereka. Melihat kedatangan Ibnu Abbas radhiyalallahu anhu, sebagian melarang untuk menemui, sebagian lainnya menerimanya. Lalu terjadilah dialog antara Ibnu Abbas radhiyallahu anhu dengan kaum Khawarij.
Apa kesan pertama yang dilihat oleh Ibnu Abbas radhiyallahu anhu tentang kaum Khawarij? “Saya tidak pernah menjumpai satu kaum yang paling bersungguh-sungguh dalam beribadah melebihi ibadah mereka.”
Lalu, dialog pun terjadi. Ibnu Abbas radiyallahu anhu mengatakan, “Sampaikan kepadaku apa kesalahan Kahlifah Ali bin Abi Thalib radhiyallahu anhu sampai kalian memisahkan diri dari sepupu Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Shallam, menantu beliau, sekaligus pemuda yang pertamakali beriman?”
Kaum Khawarij menjawawab, “Pertama, Ali memutuskan perkara agama Allah dengan mengambil pendapat orang-orang; kedua, Ali memerangi Aisyah dan Mu’awiyah namun ia tidak mengambil rampasan perangnya, dan tidak menjadikannya sebagai tawanan perang; dan ketiga, Ali telah menghapuskan sebutan Amirul Mukminin untuk dirinya padahal kaum muslimin telah membaiat dan menjadikannya sebagai amir.”
Giliran Ibnu Abbas radhiyallahu anhu menjawab, satu per satu.
Pertama, pernyataan Ali radhiyallahu anhu bahwa beliau menetapkan hukum dalam agama Allah dengan pendapat orang-orang, sungguh Allah Ta’ala berfirman dalam surah Al-Maidah ayat 95, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu membunuh binatang buruan, ketika kamu sedang ihram. Barangsiapa diantara kamu membunuhnya dengan sengaja, maka dendanya adalah mengganti dengan binatang ternak seimbang dengan buruan bianatang yang dibunuhnya, menurut putusan dua orang yang adil di antara kamu sebagai hakimnya.”
Apakah hukum yang diputuskan orang-orang demi menjaga tertumpahnya darah mereka, keselamatan diri mereka, dan kemaslahatan antar mereka itu lebih tepat dan lebih berhak untuk didahulukan atau keputusan mereka dalam hal kelinci yang harganya seperempat dirham?
Kedua, tentang Ali radhiyallahu anhu tidak menjadikan wanita-wanita yang kalah dalam peperangan sebagai tawanan sebagaimana yang telah dilakukan oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Shallam? Apakah kalian akan menjadikan Ibu kalian, Aisyah, sebagai tawanan dan kalian menghalalkannya sebagaimana dihalalkan pada perempuan-perempuan tawanan? Jika kalian menjawab “Ya”, maka sungguh kalian telah keluar dari Islam.
Ketiga, Ali bin Abi Thalib melepaskan dirinya dari julukan Amirul Mukminin, sesungguhnya Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Shallam telah melakukan hal yang sama ketika kaum musyrikin meminta menghapus sebutan Rasululah dalam “Perjanjian Hudaibiyah” yang telah disepakati bersama “Hadza ma qadha ‘alaihi Muhammad Rasululullah (Ini yang telah diputuskan dan ditetapkan oleh Rasulullah)”. Kaum Musyrikin menjawab, “Jika kami mengimani engkau adalah urtusan Allah niscaya kami tidak menghalangimu untuk menziarahi Baitullah, dan kami tidak akan memerangimu juga, karenanya, tulislah “Muhammad ibnu Abdillah (Muhammad putra Abdillah). Maka beliau, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Shallam bersedia memenuhi permintaan mereka seraya bersabda, “Demi Allah, aku adalah utusan Allah meskipun kalian mendustakan diriku.”
Jawaban-jawaban Ibnu Abbas radhiyallahu anhu atas tiga persoalan yang dituduhkan kepada Khalifah Ali bin Abi Thalib radhiyallahu anhu tersebut rupanya berhasil meyakinkan kaum Khawartij. Seusai dialog, sebanyak 20 ribu kaum Khawarij kembali ke barisan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu anhu, dan 4 ribu orang lainnya tetap bertahan pada pendiriannya.
Inilah tantangan kita saat ini, termasuk para ulama dan ustadz, untuk terus menerus melakukan dialog dengan para ISISer, agar mereka bisa tercerahkan dan tidak semakin jauh keluar dari koridor Islam. Syarat untuk dialog adalah mau mendengar, dan mau menerima kebenaran jika itu datangnya dari Allah dan junjungannya, Nabi Muhammada Shalallahu ‘alaihi wa Shallam.*
Penulis adalah wartawan, pemerhati politik Islam