oleh: Ummu Ghiyas Faris
KASUS dugaan pelecehan seksual yang dilakukan oleh seorang guru yang juga Wakil Kepala Sekolah Bidang Kesiswaan Sekolah Menengah Atas Negeri di Jakarta Timur berinisial T (46) terhadap siswinya sendiri berinisial MA (17) beberapa waktu lalu, berkembang. Korban bercerita, Pelecehan seksual (oral seks) ini terjadi berkali-kali pelaku pertama kali memaksanya melakukan oral seks seusai kegiatan studi tur ke Bali. Saat korban berada di rumah, menelepon untuk menemuinya tidak jauh dari sekolah. Setelah bertemu, korban diajak jalan-jalan ke kawasan Ancol sekaligus menjadi tempat pertama kali pelaku memaksa korban untuk melakukan oral seks.
Setelah dari Ancol, korban diturunkan di Cempaka Putih dan memberikan uang Rp50.000,- untuk ongkos pulang ke rumah. Perlakuan bejat sang wakil Kepala Sekolah itu belum berakhir. Aksi pemaksaan kedua terjadi lagi di tempat yang sama. Sedangkan pelecehan ketiga terjadi di Sentul, Bogor, dan aksi pemaksaan keempat di rumah pelaku saat sedang kosong.
Menurut korban, pelaku selalu mengajak dirinya dengan alasan kegiatan sekolah, apalagi korban selalu dilibatkan dalam setiap kegiatan sekolah. Pelaku juga sering mengancam tidak akan mengeluarkan nilai dan ijazah korban jika kasus tersebut bocor. Mendengarkan pengakuan korban, Arist Merdeka Sirait menegaskan akan melakukan pendampingan kepada korban. Pihaknya juga akan melakukan tindakan aksi sosial dengan menyebarkan foto-foto pelaku di setiap sekolah. (dikutip dari http://www. metrotvnews.com/metronews/read/2013/03/01/5/134819/Wakil-Kepala-Sekolah-Paksa-Murid-Melakukan-Oral-Seks)
Sekilas Tentang Pelecehan Seksual
Secara umum pelecehan seksual adalah perilaku pendekatan-pendekatan yang terkait dengan seks yang tidak diinginkan, termasuk permintaan untuk melakukan seks, dan perilaku lainnya yang secara verbal ataupun fisik merujuk pada seks. Pelecehan seksual dapat terjadi di mana saja baik tempat umum seperti bis, pasar, sekolah, kantor, maupun di tempat pribadi seperti rumah.
Walaupun secara umum wanita sering mendapat sorotan sebagai korban pelecehan seksual, namun pelecehan seksual dapat menimpa siapa saja. Korban pelecehan seksual bisa jadi adalah laki-laki ataupun perempuan. Korban bisa jadi adalah lawan jenis dari pelaku pelecehan ataupun berjenis kelamin yang sama. Pelaku pelecehan seksual bisa siapa saja terlepas dari jenis kelamin, umur, pendidikan, nilai-nilai budaya, nilai-nilai agama, warga negara, latar belakang, maupun status sosial. Korban dari perilaku pelecehan sosial dianjurkan untuk mencatat setiap insiden termasuk identitas pelaku, lokasi, waktu, tempat, saksi, dan perilaku yang dilakukan yang dianggap tidak menyenangkan. Serta melaporkannya ke pihak yang berwenang.
Adapun pelecehan seksual dalam pendidikan adalah perilaku yang tidak diinginkan yang bersifat seksual yang mengganggu kemampuan siswa untuk mempelajari, belajar, bekerja, atau berpartisipasi dalam kegiatan sekolah. Pelecehan seksual melibatkan berbagai perilaku dari gangguan ringan sampai kekerasan seksual dan perkosaan. Efek kekerasan seksual terhadap si korban, antara lain depresi, gangguan stres pascatrauma, kegelisahan, kecenderungan untuk menjadi korban lebih lanjut pada masa dewasa, dan dan cedera fisik untuk anak di antara masalah lainnya.
Mari kita lihat dengan kacamata lebih jernih. Logikanya, jika memang benar ini kasus pelecehan, maka kita bisa asumsikan bahwa kondisi Si Guru ini melakukan pemaksaan kepada siswa perempuannya. Akan tetapi bisa juga, barangkali Si Siswi ini juga sebenarnya memiliki perasaan ‘suka’ sebagaimana seorang perempuan dewasa kepada laki-laki dewasa. Dengan kata lain, mereka berdua suka sama suka. Mengingat, kepergian mereka dalam kondisi berdua sudah terjadi berkali-kali. Karena, jika merupakan pemaksaan, kalaupun Si Siswi tersebut menolak untuk diajak pergi, menilik usianya yang sudah baligh, tentu agak janggal jika ia tidak bisa menyatakan penolakan tersebut.
Berdasarkan hal ini, tentu kita bisa ricek, sebenarnya bagaimana kondisi pergaulan di antara keduanya? Apakah masih dalam batas wajar antara guru dengan murid, ataukah sudah dihiasi bunga-bunga asmara terlarang? Oleh karenanya, kasus ini tidak cukup melihat siapa yang salah. Tapi kasus ini bisa saja terjadi karena tidak memperhatikan aspek ijtima’iy sekalipun itu antara guru dan muridnya. Padahal, seharusnya sekolah menjadi lembaga untuk membina diri murid. Di dalamnya dilakukan proses pendidikan dan pembelajaran. Ternyata tindak asusila juga tetap saja terjadi di sekolah, lembaga pendidik generasi itu. Guru seharusnya menjadi contoh yang baik, sedangkan murid seharusnya menjadi generasi yang baik dan berakhlak mulia.
Pengaturan interaksi pria dan wanita dalam kehidupan publik menurut syariah Islam sudah banyak dibahas seperti perintah menundukkan pandangan (ghadhdhul bashar), perintah atas wanita mengenakan jilbab dan kerudung, larangan atas wanita bepergian selama sehari semalam, kecuali disertai mahramnya, larangan khalwat antara pria dan wanita, kecuali wanita itu disertai mahramnya, larangan atas wanita keluar rumah, kecuali dengan seizin suaminya, perintah pemisahan (infishal) antara pria dan wanita, Interaksi pria wanita hendaknya merupakan interaksi umum, bukan interaksi khusus.
Pengaturan tersebut sebenarnya bukan persoalan yang mudah, pengaturan yang ada hendaknya dapat mengakomodir dua faktor berikut ini; Pertama, bahwa potensi hasrat seksual pada pria dan wanita dapat bangkit jika keduanya berinteraksi, misalnya ketika bertemu di jalan, kantor, sekolah, pasar, dan lain-lain.
Kedua, bahwa pria dan wanita harus saling tolong menolong (ta’aawun) demi kemaslahatan masyarakat, misalnya di bidang perdagangan, pendidikan, pertanian, dan sebagainya.
Bagaimana mempertemukan dua faktor tersebut? Memang tidak mudah. Dengan maksud agar hasrat seksual tidak bangkit, bisa jadi muncul pandangan bahwa pria dan wanita harus dipisahkan secara total, tanpa peluang berinteraksi sedikit pun. Namun jika demikian, tolong-menolong di antara keduanya terpaksa dikorbankan alias tidak terwujud. Sebaliknya, dengan maksud agar pria dan wanita dapat tolong menolong secara optimal, boleh jadi interaksi di antara keduanya dilonggarkan tanpa mengenal batasan. Tapi, dengan begitu akibatnya adalah bangkitnya hasrat seksual secara liar, seperti pelecehan seksual terhadap wanita, sehingga malah menghilangkan kehormatan (al-fadhilah) dan moralitas (akhlaq).
Hanya syari’ah Islam, yang dapat mengakomodasi dua realitas yang seakan paradoksal itu dengan pengaturan yang canggih dan berhasil. Di satu sisi syari’ah mencegah potensi bangkitnya hasrat seksual ketika pria dan wanita berinteraksi. Jadi pria dan wanita tidaklah dipisahkan secara total, melainkan dibolehkan berinteraksi dalam koridor yang dibenarkan syari’ah. Sementara di sisi lain, syari’ah menjaga dengan hati-hati agar tolong menolong antara pria dan wanita tetap berjalan demi kemaslahatan masyarakat. Wallahu A’lam Bis-Shawaab.*
Penulis adalah karyawati sebuah perusahaan swasta, aktiv di MHTI. Email: [email protected]