Oleh: Susiyanto, M.Ag
SABDA RAJA dikeluarkan oleh Sri Sultan Hamengkubuwana X pada 30 April 2015 tak urung memicu polemik. Pembacaan ketetapan raja yang berlangsung dalam waktu kurang dari lima menit itu dinilai sebagian kalangan telah melanggar sejumlah adat istiadat di lingkungan keraton Yogyakarta. Giliran berikutnya, silang sengketa pada akhirnya membagi kubu Keraton menjadi dua kelompok besar, antara yang pro dan kontra.
Dalam tradisi kerajaan di Jawa, sabda seorang raja merupakan sebuah hukum bagi wilayah kekuasaannya. Dalam hal ini masyarakat Jawa berpedoman pada sebuah filosofi “Sabda brahmana raja tan kena wola-wali pindha we kresna tumetes ing dalancang seta” yang artinya pernyataan seorang ulama dan raja hendaknya tidak mencla-mencle ibarat tinta hitam yang menetes di atas kertas putih. Sebab mereka menjadi “pandoming bebrayan” atau tauladan dalam kehidupan masyarakat. Jika mereka tidak memiliki sifat teguh pendirian maka dipastikan masyarakat akan kehilangan kiblat kepemimpinan. Di sinilah filosofi orang jawa mengajarkan agar pemimpin umat selalu berhati-hati dan menimbang-timbang terlebih dahulu semua ucapannya sehingga tidak menyesatkan atau merugikan dikemudian hari.
Melalui rentetan Sabda Tama dan Sabda Raja yang telah dikeluarkan, nampaknya Sri Sultan HB X ingin menegaskan posisinya tersebut. Meski demikian kekuasaan Sri Sultan tak lagi seleluasa seperti pada jaman dahulu. Kini, ia merupakan pejabat publik yang mengemban amanah sebagai seorang gubernur dalam bingkai NKRI dan sekaligus menjadi orang nomor satu yang dipercaya sebagai penjaga tradisi dan kebudayaan di lingkungan istananya. Dengan posisi semacam ini, nampaknya sultan harus mempertimbangkan aspirasi dari berbagai pihak sehingga langkah dan kebijakannya tidak akan dinilai sebagai bentuk arogansi di jaman yang lebih terbuka ini.
Persoalan Khalifatullah
Setidaknya ada dua persoalan krusial yang memancing pertanyaan publik dalam isi Sabda Raja tersebut.
Pertama, tentang penghapusan gelar sebagai pemimpin agama atau khalifatullah dan kedua, berkaitan dengan perjanjian pendiri Kerajaan Mataram, Ki Ageng Giring dengan Ki Ageng Pamanahan. Diantara kedua masalah tersebut, penghapusan gelar khalifatullah nampaknya merupakan persolan yang paling banyak disorot. Muncul dugaan di kalangan masyarakat bahwa kebijakan Sultan ini merupakan indikasi bahwa Keraton secara perlahan mulai hendak melepaskan simbol Islam.
Pandangan semacam ini tentu saja wajar, sebab gelar khalifatullah di Tanah Jawa sejak awal selalu disematkan bagi raja-raja kerajaan yang bercorak Islam. Melalui gelar ini seorang sultan akan ditahbiskan sebagai wakil Allah yang mengatur umat manusia berdasarkan hukum-hukum-Nya. Gelar ini selanjutnya ditegaskan dengan tambahan atribut “sayidin panatagama” yang artinya seorang pemimpin yang memiliki kewajiban untuk mengatur hal-hal yang berkaitan dengan urusan agama. Gelar resmi Sri Sultan sendiri secara lengkap adalah “Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem ingkang Sinuwun Kangjeng Sultan Hamengku Buwana Senapati-ing-Ngalaga Abdurrahman Sayidin Panatagama Khalifatullah ingkang Jumeneng Kaping Sadasa ing Ngayogyakarta Hadiningrat”.
Bukan hanya sekali dua kali Kraton berupaya menjelaskan kedudukannya sebagai bagian dari umat Islam. Pasca Perang Jawa (1825-1830), pihak Keraton banyak mendapatkan sorotan negatif dan mosi tidak percaya dari sejumlah kalangan pesantren. Keraton dinilai terlalu tunduk kepada hegemoni penjajah Belanda dan melupakan posisinya sebagai negara yang berasas Islam. Untuk menghadapi gelombang ketidakpercayaan dan sekaligus menyakinkan sejumlah pihak bahkan Keraton akhirnya harus menempuh berbagai upaya. Salah satunya dengan memproduksi sejumlah karya tulis bernafas Islam termasuk diantaranya adalah Serat Surya Raja.
Kedekatan Keraton Yogyakarta dengan Islam ini bahkan ditegaskan kembali ketika Sri Sultan HB X mengeluarkan Dhawuh Dhalem No. 1/ DD/ HBX/ Ehe -1932 pada tanggal 8 November 1999 yang menyatakan bahwa visi keraton adalah untuk mengembangkan dan melestarikan ajaran budaya berdasarkan Al Quran dan Hadits. Kerajaan ini merupakan kelanjutan mataram Islam yang juga berkaca pada sumber-sumber ajaran Islam tersebut. Kini pengakuan bahwa Yogyakarta merupakan sebuah kesultanan Islam tersebut masih hidup di masyarakat. Jadi, sudah semestinya hal semacam ini tidak di-“aborsi” sedemikian rupa, sehingga pada giliran selanjutnya justru mengalami keterputusan sejarah dan budaya dari masa lampau.
Ada sebagian kalangan yang berargumentasi bahwa penghapusan kata “khalifatullah” dari gelar raja Yogyakarta ini dilakukan untuk menegaskan hubungan antara pihak Keraton dengan NKRI. Menurut kalangan ini, dahulu gelar “khalifatullah” tersebut merupakan legislasi kekuasaan berdasarkan agama yang diperoleh dari kekhilafahan Turki Utsmani. Bukan hanya Yogyakarta, namun sejak era Demak, Pajang, hingga era Mataram gelar ini telah digunakan. Padahal hari ini, eksistensi Turki Utsmani sudah tidak ada sehingga dengan sendirinya hubungan yang bersifat pengukuhan itu dengan sendirinya menjadi tidak relevan. (Kedaulatan Rakyat, 5 Mei 2015). Peran Turki Utsmani telah digantikan oleh pemerintah Republik Indonesia. Maka, menurut kalangan ini sejumlah hal harus turut berubah termasuk pemberian gelar bagi raja.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Sejumlah pihak di kalangan istana nampaknya menganggap bahwa argumentasi semacam ini sebagai sebuah kekeliruan. Ketika Sultan mengungkapkan bahwa keputusan ini dikeluarkan berdasarkan dhawuh (perintah) Gusti Allah dan leluhur, beberapa adik Sultan berupaya untuk meluruskan. Menurut mereka gelar khalifatullah justru digunakan sebagai manifestasi bahwa raja merupakan wakil Allah di muka bumi. Raja mengemban tugas untuk memakmurkan dunia (buwana) dengan berpegang pada ketetapan hukum-hukum-Nya. Gelar semacam ini mestinya tetap berlaku meski tanpa harus ada eksistensi Turki Utsmani sekalipun.
Tak hanya mengkritik, beberapa putra Sri Sultan HB IX terdiri dari GBPH Prabukusuma, GBPH Yudhaningrat, GBPH Condroningrat, dan GBPH Cakraningrat bahkan meminta maaf kepada leluhur atas “salang langkah” yang dilakukan rajanya dengan berziarah ke makam raja-raja di Imogiri. Tidak lupa mereka mengunjungi makam Ki Ageng Giring, salah satu inisiator awal berdirinya Dinasti Mataram. Dalam kaca mata Jawa, langkah yang diambil oleh para putra HB IX ini sebenarnya menyiratkan sebuah kritik dan sekaligus sindiran yang keras. Mereka seolah-olah telah berlepas diri atas kebijakan rajanya dengan menyerahkan “urusan” kepada para leluhur yang telah mati.* (bersambung)
Susiyanto adalah penulis buku “Strategi Misi Kristen Memisahkan Islam dan Jawa” (2010)