SEJAK ditangkap oleh pasukan gabungan Polda Jawa Timur dan Polres Probolinggo, Kamis (22/09/2016), atas tuduhan sebagai dalang pembunuhan dua anak buahnya, Ismail Hidayat dan Abdul Gani, nama Dimas Kanjeng menjadi pembicaraan di warung-warung kopi, di resto-resto, di kantor-kantor, serta menjadi viral di media sosial.
Bukan hanya tuduhan pembunuhan. Dimas Kanjeng, warga Desa Wangkal, Kecamatan Gading, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur, itu juga disangka telah menipu ribuan pengikutnya dengan modus penggandaan uang.
Pihak kepolisian sedang memproses tuduhan pembunuhan dan penipuan. Tentang pembunuhan, proses hukum yang akan membuktikannya. Sedangkan tuduhan penipuan, tidak hanya hukum yang akan memprosesnya, tapi juga menjadi perhatian banyak pihak. Pasalnya, Dimas Kanjeng, oleh para pengikutnya, dianggap sebagai orang “terpilih” dan bisa menggandakan uang. Karena itu, tidak sedikit orang yang datang ke padepokannya untuk setor uang agar bisa dilipatgandakan.
Diduga Membunuh dan Menipu Modus Gandakan Uang, Taat Pribadi Ditangkap Polisi
Ketua yayasan Dimas Kanjeng Taat Pribadi, Marwah Daud Ibrahim, menolak jika guru spiritualnya itu dituduh bisa menggandakan uang. Tapi ia membenarkan jika bisa melakukan pengadaan uang. Kedua istilah tersebut, penggandaan dan pengadaan, secara hukum, punya makna sama: kriminal.
Penggandaan, dari satu menjadi sepuluh, ini adalah perbuatan kriminal. Karena yang boleh menggandakan uang adalah Bank Indonesia, atas nama negara, bukan perorangan. Sedangkan pengadaan, dari tidak ada menjadi ada, itu juga kriminal, karena telah mencuri uang atau benda, dari satu tempat ke tempat lainnya.
Penggandaan uang atau pengadaan uang, itu adalah tipuan belaka. Ini telah terbukti dengan banyaknya orang yang telah menyetor uang dan ternyata tidak juga bisa digandakan. Dari ratusan ribu sampai 200 milyar rupiah. Fantastis! Yang miskin ingin menjadi kaya, yang kaya ingin bertambah kaya alias tamak. Tapi, jangankan uang tersebut bisa digandakan, modalnya saja nggak bisa kembali.
Belum lagi Mahfudh MD, mantan ketua Mahkamah Konstitusi, yang pernah mampir ke padepokan, lalu di depan ribuan pengunjung si Dimas Kanjeng mengatakan bahwa Mahfudh MD itu adalah salah seorang santrinya. Mahfudh pun membantah. Ini adalah salah satu indikasi bahwa akhlak si Dimas Kanjeng itu tidak baik.
Ketika dia diminta penyidik untuk mempraktekkan penggandaan uang, Dimas Kanjeng tidak bisa melakukannya. Karena, menurut pengakuannya kepada penyidik, jin-nya lari ketika kena gas airmata yang disemprotkan polisi pada saat hari penangkapannya.
Begitu juga tatkala anggota DPR RI Komisi III, Akbar Faisal dan Benny K. Harman, memintanya untuk mendemokan penggandaan uang, Dimas Kanjeng bilang tidak bisa. Alasannya? “Karena saya sedang stres.”
Meskipun begitu, Marwah Daud Ibrahim, tetap bersikukuh bahwa Dimas Kanjeng itu tidak sesat, dia adalah orang yang punya karomah sebagaimana para wali Allah yang lain. Para ulama telah menasihati, handaitaulan mengajaknya kembali pulang, tapi si Marwah tak juga bergeming. Ia bahkan bela habis-habisan si Dimas Kanjeng itu.
Untuk menilai seseorang itu wali Allah yang punya karamah, dua pendekatan ini mesti jadi rujukan utama: Al-Qur’an dan as-Sunnah. Jika Mahfudh MD saja dibohongi, dan ribuan pengikutnya dikibuli, bagaimana mungkin si Dimas Kanjeng tersebut seorang wali yang punya karamah?
Jika kita melihat “kehebatan” seseorang, bisa berjalan diatas air, bisa mengubah buah apel jadi bongkahan emas, bisa menggandakan (atau mengadakan) uang, maka tolok ukurnya adalah Al-Qur’an dan as-Sunnah. Apakah seseorang itu perilaku dan ucapannya sesuai dengan Kitab Allah dan Sunnah Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa Sallam? Jika tidak sesuai dengan pedoman dasar umat Islam itu, tinggalkan.
Karena itu, harus dibedakan antara karamah yang datangnya dari Allah dengan kejadian “luar biasa” yang terjadi karena bantuan setan atau jin. Untuk itu, pihak aparat jangan hanya menggunakan pendekatan hukum formal. Tapi juga menggunakan pendekatan spiritual Islami. Caranya? Undang orang-orang sholeh dan sholehah untuk meruqyah Dimas Kanjeng dan Marwah Daud Ibrahim. In-syaa Allah mereka akan kembali normal, dan menyadari apa yang telah mereka lakukan itu salah. Tanpa proses ruqyah, mereka akan tetap bertahan dengan pendiriannya, karena begitulah karakter setan dan jin dalam menyesatkan manusia.
Sungguh memprihatinkan, seorang doktor komunikasi lulusan The American University, Washington DC, punya pendirian bahwa apa yang dilakukan oleh Dimas Kanjeng itu bisa dijelaskan secara sains. Dengan berbagai argumentasi –meskipun secara teori lemah, dan secara verbal tidak meyakinkan– ia mencoba bertahan dan menantang diadakan debat terbuka yang disaksikan oleh masyarakat Indonesia.
Marwah itu nama salah satu bukit di dekat Ka’bah. Di dekat Ka’bah itu ada dua bukit, Shafa dan Marwah, yang menjadi salah satu rukun haji dan umrah, untuk melaksanakan ibadah Sa’i. Ibadah Sa’i –-berjalan dan berlari-lari kecil sebanyak 7 kali bolak-balik antara Safa dan Marwah-– yang berjarak 450 meter, itu. Dalam bahasa Arab, marwah punya arti “berhati-hati dalam pemikiran”. Dalam kasus pembelaannya yang membabi-buta terhadap Dimas Kanjeng tersebut, Marwah Daud Ibrahim secara meyakinkan telah kehilangan marwahnya.
Pejalan menuju Allah